Senin, 27 Oktober 2014

Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh Masa Rasul Sampai Tabi’in

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Disiplin Ilmu Ushul Fiqh ini merupakan Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan utama dalam metode istinbat hukum Islam (ushul fiqh). Tapi dalam makalah ini akan dibahas lebih khusus lagi tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Ushul Fiqh beserta aliran-aliran dan kitab-kitabnya.
Tuntutan untuk mempelajari Ilmu Ushul Fiqh ini masuk dalam kategori penting. Karena Ilmu ini akan membantu dalam penentuan hukum-hukum Islam yang relevan dengan problematika zaman yang dinamis. Juga akan membantu untuk mengetahui lebih detail tentang bagaimana awal munculnya Ilmu Ushul pada zaman Nabi Muhammad saw sampai seterusnya.
Maka, akan dijelaskan lebih lanjut beberapa uraian yang berhubungan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Ushul Fiqh. Dan akan diperinci lagi tentang karya-karya dari tokoh aliran-aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh. Guna memberi kemudahan bagi pembaca untuk mempelajari dan memahaminya.

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Ushul Fiqh mulai zaman Rasul sampai Tabi’in?
2.    Apa saja aliran-aliran dalam Ushul Fiqh?
3.    Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam aliran Ushul Fiqh dan kitab-kitabnya?

C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui dan memahami tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Ushul Fiqh mulai zaman Rasul sampai Tabi’in.
2.    Untuk mengetahui dan memahami aliran-aliran dalam Ushul Fiqh.
3.    Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam aliran Ushul Fiqh dan kitab-kitabnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh Masa Rasul Sampai Tabi’in
Menurut Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh dalam praktiknya telah muncul berbarengan dengan munculnya fikih. Alasannya, karena secara metodologis, fikih tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbat, dan metode istinbat itulah sebagai dari inti dari Ushul Fiqh.[1] Di antara sahabat yang melakukan istinbat hukum adalah  Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Tholib, Umar bin Khattab, mereka tidak mungkin mengeluarkan hukum (istinbat) tanpa mengetahui dasar-dasar dan batasan-batasan Ushul Fiqh, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.[2]
Fikih sebagai produk ijtihad mulai muncul pada masa sahabat. Dalam melakukan ijtihad, kata Muhammad Abu Zahrah, secara praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh meskipun belum dirumuskan dalam satu displin ilmu. Kemampuan mereka dalam bidang ilmu ini, disamping berakar dari bimbingan Rosulullah SAW juga kemampuan bahasa arab mereka yang masih tinggi dan jernih. Mereka, khusunya yang kemudian terkenal  banyak melakukan ijtihad dibidang hukum islam, mengikuti langsung praktik-prakti tasyri’ (pembentukan hukum) dari Rasulullah SAW. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Rosulullah dan selalu menyertainya dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa hukum  yang dipecahkan Rosulullah, sehingga mereka tahu betul bagaimana cara memahami ayat dan dapat menangkap tujuan hukumnya. Disamping itu, mereka adalah generasi yang masih bersih dan kuat kemampuan bahasa Arabnya sebagai bahasa Al-Qur’an. Hal itu semua membuat mereka mampu memahami teks-teks Al-Qur’an dan melakukan qiyas (analogi)sebagai metode pengembangan hukum lewat subtansinya .[3]
Oleh karena itu, seperti disimpulkan Khudari Bik, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan mesir, begitu Rasulullah wafat mereka sudah siap menghadapi perkembangan sosial yang menghendaki pemecahan hukum dengan melakukan ijtihad meskipun kaidah-kaidah Ushul Fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Dalam melakukan ijtihad, seperti disimpulkan Abd al-Wahhab abu Sulaiman, guru besar Ushul Fiqh Universitas Ummul Qura Mekkah, mula-mula mereka pelajarai teks Al-Qur’an dan kemudian Sunnah Rosulullah SAW. Jika hukumnya tidak ditemukan dalam dua sumber tersebut, mereka melakukan ijtihad, baik perorangan atau dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Hasil ijtihad mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Disamping berijtihad dengan metode qiyas, mereka berijtihad dengan metode istishlah yang didasarkan atas mashlahah mursalah., yaitu kemaslahatan yang tidak adil secara khusus yang mendukung dan tidak pula ada yang menolak, namun mendukung pemeliharaan tujuan syariat. Misalnya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf(naskah al-qur’an).[4]
Dengan demikian, menurut Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, para sahabat telah mempraktikkan  ijma’, qiyas, dan istishlah(          mashlahah mursalah) bilamana hukum suatau masalah tidak ditemukan secara tertulis dalam All-Qur’an dan Sunnah. Praktik ijtihad para sahabat dengan memakai metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru mulai berkembang pada saat itu.
Abdullah bin Mas’ud mengemukakan pendapat tentang wanita hamil yang di tinggal mati suaminya yaitu masa iddahnya setelah melahirkan anaknya. Berdasarkan firman Allah SWT pada surat At-Thalaq ayat (65):4 :
Dan perempuan-perempuan yang tidak lagi haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa iddahnya, maka masa iddah mereka adalah 3 bulan dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Ada juga firman Allah yang menjelaskan bahwa istri yang di tinggal mati suaminya, masa iddahnya 4 bulan 10 hari. Dalam surat Al-baqarah (2) ayat 234:
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) 4 bulan 19 hari. Kemudian apabila habis masa idahnya maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.[5]
Dari tindakan Ibnu Mas’ud terlihat bahwa menetapkan fatwanya itu menggunakan kaidah ushul fiqh Nashk Mansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian menghapus dalil yang datang terdahulu. Artinya, kita harus meyakini ijtihad para sahabat semuanya berdasarkan metodologi, meskipun mereka tidak selalu menjelaskan hal tersebut.
Pada masa tabi’in penggalian hukum syara’ semakin meluas dan banyak para ulama’ tabi’in yang memberikan fatwa seperti Said bin Muayyat, Al-qammah bin Qaiys dan Ibrahim An-Nasyai di Irak sebagai pemberi fatwa mereka menggunakan Al-Quran dan Hadist dan fatwa sahabat. Jika tidak terdapat keterangan dari Naskh maka mereka menetapkan hukum dengan mempertimbangkan kemashlahatan dan dengan jalan Qiyas. Jalan yang ditempuh oleh Ibrahim An-Nakha’i dan Fuqaha’ Irak dalam menetapkan hukum adalah dengan menetapkan illat (titik persamaan) yang digunakan untuk mengkiyaskan permasalahan yang bermacam-macam.
Pada penghujung abad ke-2 dan awal abad ke-3 Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (150-201 H) berperan dalam mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Upaya pembukuan Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Abd. Wahab Abu Sulaiman seperti yang dikutip Prof. Dr. Satria Efendi M. Zein, sejalan dengak ilmu perkembangan pengetahuan keislaman di masa itu. Perkembangan pesat Harun Ar-Rasyid (145-193 H) khalifah kelima dinasti Abbasyiah yang memerintah selama 23 tahun (170-193 H) dan dilanjutkan dengan perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa putranya bernama Al-Makmun (170-218H) khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198-218H).
Imam Syafi’i dalam kitab risalahnya mulai mendekatkannya dengan menjelaskan definisi kemudian mengklasifikasikan pada penjelasan tentang Al-Quran, penjelasan tentang As-Sunnah bagi Al-Quran dan penjelasan tentang ijtihad, yaitu Qiyas. Beliau menjelaskan bahwa di Al-Quran terdapat pengertian umum yang dimaksudkan untuk makna umum dan pengertian umum yang dimaksdkan untuk makna khusus, pengertian umum yan dzahir (eksplisit) yang mencakup makna umum dan khusus serta pengertian umum yang eksplisit dan dimaksudkan untuk makna khusus. Kemudian menjelaskan bahwa As-sunnah merupakan sesuatu yang mengikuti perintah al-Kitab, membicarakan tentang nasikh dan mansukh, kecacatan hadist, berargumentasi dengan riwayah satu orang (hadist ahad), ijma’, qiyas, istihsan dan perbedaan pendapat ulama. Pada masa ini lahir beberapa karya dalam bidang ushul fiqh, antara lain: an-nasihk wa al-mansukh, karya Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri madzhab Hambali dan Ibthal al-Qiyas, karya Daud Azh-Zahiri (200-270H), pendiri madzhab ash-Zahiri.[6]

B.     Aliran-Aliran Dalam Ilmu Ushul Fiqh

Kubu ulama Hijaz dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, yang kemudian juga dianut oleh kalangan Hanabilah, sering berada pada satu pihak , berlainan kadang-kadang berhadap-hadapan dengan kubu ulama irak dari kalangan Hanafiyah. Adanya perbedaan di antara dua kubu tersebut, bukan saja dari segi prinsip dan bentuk kaidah yang digunakan, tetapi juga dalam sistematika penulisan dan pengungkapan Ushul Fiqh. Pada masa ini ada dua aliran dalam penulisan Ushul Fiqh semakin jelas perbedaannya, yang dikenal dengan aliran jumhur(mayoritas) ulama Ushul Fiqh., dan aliran Hanafiyah. Aliran jumhur  ini terdiri dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Aliran ini juga dikenal sebagai aliran mutakallimin karena tokoh-tokoh utamanya dalam pengembangannya terdiri dari tokoh-tokoh ulama ahli ilmu kalam, seperti Qadli Abdul Jabbar, Imam al-Juwaini, dan Imam al-Ghazali. Oleh karena para tokoh aliran ini mayoritas adalah ulama-ulama dari kalangan Syafiiyah seperti halnya tokoh-tokoh tersebut di atas, maka aliran ini juga dikenal sebagai aliran syafiiyah. Sedangkan aliran Hanafiyah, dikenal juga dengan aliran fuqaha.
Ada beberapa aliran dalam penulisan Ushul Fiqh, tidak dapat diartikan bahwa aliran jumhur yang berada pada salah satu pihak,  merupakan aliran yang kompak menyepakati segala segi Ushul Fiqhnya. Sebab, pada kenyataannya diantara kalangan jumhur( kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah), secara Esensial terdapat berbagai perbedaan yang mendasar, yang mengakibatkan adanya pula perbedaan pendapat diantara mereka dibidang fiqh. Oleh karena itu, ulama Ushul Fiqh menguraikan dua aliran itu dalam konteks ini, lebih berat tekanannya pada adanya perbedaan dalam metode penulisan dan pengungkapan Ushul fiqh. Meskipun demikian, antara dua kubu ulama tersebut yaitu kalangan jumhur dan ulama Hanafiyah, secara garis besarnya bisa menggambarkan adanya dua kubu ulama fiqh dalam pengembangan fiqh dalam sejarah. Sebab, kubu kalngan jumhur sering berada pada satu pihak, sedangkan kalangan Hanafiyah berada di pihak lain. Artinya, aliran Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mempunyai banyak kesamaan apabila dibandingkan dengan kalangan Hanafiyah.[7]
Dua aliran ini meskipun telah muncul pada periode sebelumnya, tetapi pada periode ini menjadi lebih jelas perbedaannya. Oleh karena itu, buku-buku Ushul Fiqh yang disusun pada periode ini dianggap sebagai buku-buku standard bagi perkembangan Ushul Fiqh masing-masing aliran itu pada masa berikutnya. Beberapa aliran yang dikenal dalam Ushul Fiqh, seperti banyak diungkapkan dalam kita-kitab Ushul Fiqh dalam bagian sejarahnya. Yaitu aliran jumhur, aliran fuqaha’, dan aliran yang menggabungkan antara keduanya. Pembagian kepada tiga aliran ini lebih benyak terkonotosi pada bagian penulisan Ushul Fiqh, bukan kepada perbedaan-perbedaan secara substansial. Sebab, apa yang disebut aliran jumhur, tidak berarti mereka sepakat dalam prinsip-prinsip Ushul Fiqh secara keseluruhan. Namun adala benar mereka sepakat dalam banyak hal mengenai substansi., disamping secara keseluruhan mereka sepakat dalam cara penyusunan Ushul Fiqh. Lebih jauh tentang masing-masing aliran itu ialah:
a.       Aliran jumhur ulama Ushul Fiqh[8]
Aliran ini juga dikenal dengan alira Syafi’iyah atau aliran Mutakallimin. Aliran ini dengan aliran jumhur ulama karena merupakan aliran yang di anut oleh mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah terutama dalam cara penulisan Ushul Fiqh. Disebut aliran Syafi’iyah karena orang paling pertama mewujudkan cara penulisan Ushul seperti ini adalah Imam Syafi’I, yang dikenal sebagai Mutakallimin karena para pakar dibidang ini setelah Imam Syafi’I adalah dari kalangan Mutakallimin (para ahli ilmu kalam), misalnya, Imam al-Juwaini, al-Qadli Abdul Jabbar dan Imam al-Ghazali.
Cara penulisan Ushul Fiqh aliran ini telah dirintis oleh Imam Syafi’I, kemudian dikembangkan oleh para murid dan para pengikutnya (Syafi’iyah) sehingga disebut sebagai aliran Syafi’iyah. Dalam perkembangan metode penyusunan Ushul Fiqh aliran ini diikuti oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, metode ini juga dikenal dengan metode jumhur ulama. Ushul Fiqh. Dan oleh karena para tokohnya umumnya dari ahli ilmu kalam  sehingga dalam penyusunannya sedikit banyaknya dipengaruhi oleh metode ilmu kalam, maka aliran ini juga disebut sebagai aliran Mutakallimin (para ahli ilmu kalam).
Beberapa irri dari aliran ini diantara lain adalah bahwa pembahasan Ushul Fiqh disajikan secara rasional, filosofis, teoritis, tanpa disetai contoh, dan murni tanpa mengacu kepada madzhab fikih tertentu yang sudah ada. Kaida-kaidah Ushul Fiqh mereka rumuskan tanpa peduli apakah mendukung madzhab fikih yang mereka anut atau justru berbeda, bahkan berujuan untuk dijadikan timbangan bagi kebenaran madzhab fikih yang sudah terbentuk.
Buku-buku standard dalam aliran ini yang disusun ketika itu adalah kitab al-‘Amd  oleh qadi Abdul Jabbar al-Mu’tazili (w.415 H), kitab al-Mu’tamad fi ushul al-fiqh oleh Abu al-Husein Al-Bashri al-Mu’tazili (w.436 H), kitab al-Burhan fi ushul al fiqh  oleh Imam Al-Haramain(w.478 H), kitab Al Mustashfa fi ‘lm al-Ushul oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H). Pada periode selanjutnya empat buah buku tersebut secara ringkas telah dirangkum oleh al-Fakhr al-Razi(544H-607H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah dalam bukunya yang terkenal Al-Mahsuf fi ‘lm al-Ushul. Dari empat buah buku di atas, yang paling popular adalah kitab Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali.
b.      Aliran Fuqaha atau Aliran Hanafiyah[9]
Aliran Fuqaha, adalah aliran yang dikembangkan oleh ka;;angan ulama Hanafiyah. Disebut aliran fuqaha (ahli-ahli fikih) karena dalam system penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fikih. Dalam merumuskan kaidah Ushul Fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fikih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Penyusunan seperti ini dilakukan oleh kalangan Hanafiyah karena, seperti  telah disebutkan di atas, Abu Hanifah tidak meninggalkan buku Ushul Fiqh. Ushul Fiqh madzhabnya disimpulkan kemudian oleh pengikutnya dari hasil-hasil fatwanya dan hasil-hasil fatwa para muridnya. Setiap kaidah diuji kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah terbentuk, bukan sebaliknya dimana hasil ijtihad yang sudah terbentuk diuji kebenarannya dengan kaida-kaidah Ushul Fiqh seperti dalam aliran pertama di atas.
Kita-kitab standar yang disusun dalam aliran ini pada periode ini adalah antara lain kitab Ta’sis al-Nazhar oleh Abu Zaid al-Dabbusi(w.430 H), kitab Ushul al-Bazdawi oleh ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawi(w.483 H), dan kitab Ushul al-Syarakhsi oleh Abu Bakr Syams al-Aimmah al-Syarakhshi(w.483 H).
c.       Aliran yang menggabungkan antara Dua aliran di atas
Dalam perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh Muhammad abu zahrah, muncul aliran ketiga yang dalam penulisan ushul fiqh menggabungkan antara dua aliran tersebut.  Misalnya buku Badi’ al-Nizam karya Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati(w694 w) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah, yang menggabungkan dua bbuah buku, yaitu Ushul al-Bazdawi oleh ali ibn Muhammad al-Bazdawi dari aliran hanafiyah dan  al ihkam fi ushul al-Ahkam oleh al-Amidi(w.631 H) dari aliran Syafi’iyah.

C.    Aliran Ushul Fiqh dan Kitab-Kitabnya

a)      Kitab-kitab yang disusun oleh aliran Jumhur:[10]
1.      Al-risalah disusun oleh Muhammad bin Idris al Syafi’I (150-204H).
2.      Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd al Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang bergelar Imam Haramain (419-478 H)
3.      Al-Mughni fi Abwab al-tawhid wa al-‘adl disusun oleh al-Qadli Abdul Jabbar(w415 H)
4.      Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh disusun oleh Abu al-Husein al-Bashri (w.436 H)
5.      Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul disusun oleh abu hamid al-Ghazali (w.505-1111 M
6.      Dan lain sebagainya
b)      Kitab-kitab yang disusun oleh ulama Hanafiyah:
1.      Taqwim al-adillah karya abu zaid al-dabbusi (w.432 H)
2.      Ushul al syarakhshi oleh Imam Muhammad ibnu ahmad syams al immah al syarakhshi (w.483 H)
3.      Kanz al wushul ila ma’rifat al ushul disusun oleh Fakhr al-islam al bazdawi (400-482 H).
c)      Kitab-kitab yang disusun oleh aliran gabungan antara Jumhur dan Hanafiyah:
1.      Jamu’ al jawami’ karya Taj al-Dien Ibnu al-sibki (727-771 H)
2.      Al-tahrir fi Ushul al-Fiqh karya Kamal al-dien ibn al-humam (w.861 H)
3.      Musallam al-subut karya Muhibullah ibn Abd al-‘Ali Muhammad ibn Nizam al-dien al Al-anshari.
d)     Kitab-kitab yang disusun pada abad modern:
1.      Irsyad al-Fuhul karya Imam Muhammad ibn’Ali al Syukani
(117-1225 H)
2.      ‘ilmu Ushul fiqh karya abdul wahhab khallaf
3.      Ushul al-fiqh disusun oleh syeikh Muhammad abu Zahrah
4.      Dan lain-lain


























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan bahwa, Ushul Fiqh dalam praktiknya telah muncul berbarengan dengan munculnya fikih. Alasannya, karena secara metodologis, fikih tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbat, dan metode istinbat itulah sebagai dari inti dari Ushul Fiqh.
Ada 3 aliran dalam Ushul Fiqh yaitu, Aliran jumhur ulama Ushul Fiqh, Aliran Fuqaha atau Aliran Hanafiyah, Aliran yang menggabungkan antara Dua aliran tersebut. Dan kitab-kitab karya dari tokoh-tokoh dalam aliran-aliran Ushul Fiqh yang telah disebutkan dalam bab pembahasan.















DAFTAR PUSTAKA

Satria, Effendi. Ushul Fiqh. Kencana Prenada Mediea Grup. Jakarta:2005.
Mardani. Ushul Fiqh. PT Raja Grafindo. Jakarta:2013.



[1]Mardani,Ushul Fiqh, Jakarta:PT Raja Grafindo, 2013.
[2]Effendi Satria,Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Mediea Grup, 2005.  
[3]Mardani,Ushul Fiqh, Jakarta:PT Raja Grafindo, 2013.
[4] Effendi Satria,Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Mediea Grup, 2005.
[5]Effendi Satria,Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Mediea Grup, 2005.
[6]Mardani,Ushul Fiqh, Jakarta:PT Raja Grafindo, 2013.
[7]Mardani,Ushul Fiqh, Jakarta:PT Raja Grafindo, 2013.
[8]Effendi Satria,Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Mediea Grup, 2005.
[9]Effendi Satria,Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Mediea Grup, 2005.
[10]Effendi Satria,Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana Prenada Mediea Grup, 2005.

2 komentar:

  1. beberapa motode ushul sudah dipraktekkan pada masa nabi, seperti nasakh, qiyas yang dilakukan oleh nabi, dan pembenaran qiyas sahabat. By: Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW

    BalasHapus
  2. artikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah..tanks ya

    BalasHapus