BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Ketergantungan
hukum Allah pada perbuatan berdasarkan pemahaman akal akan sifatnya ialah
setiap perbuatan yang dipahami akal kebaikannya dan dituntut melakukannya
karena Allah dengan tuntutat yang pasti atau tidak menurut derajat kebaikannya
dan keperluan masyarakat padanya demi kebaiakan masyarakat mereka.
Demikian pula
perbuatan yang dipahami akal keburukannya dituntut meninggalkanya karena Allah
secara pasti atau tidak menurut derajat keburukannya dan keperluan masyarakat
untuk meninggalkannya demi kebaikan urusan mereka. Masalah ini terbagi dua
bagian:
Pertama – Hukum Allah tetap semacam itusebelum turunnya hukum
syari’at sehingga manusia diberi pahala atau dihukum berdasarkan apa yang
dipahami oleh akal mereka.
Kedua – Hukum Allah diturunkan pada saat turunnya syari;at sesuai
dengan apa yang dipahami perbuatan sehingga syari’at tidak dating menuntut yang
buruk dan tidak pula menolak yang baik.
Maka akal
memutuskan bahwa tak ada hukuman atas orang yang memahami kebaikan dan
keburukan suatu perbuatan.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimana maksud dari hukum?
2.
Bagaimana pembagian dari hukum?
C.
Tujuan Penelitian.
1.
Untuk mengetahui maksud dari hukum secara jelas.
2.
Agar mengetahui pembagian dari hokum secara rinci dan jelas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum
Pengertian
hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangakan hukum
menurut istilah agama (syara’) adalah tuntutat dari Allah yang berhubungan
dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf.
Menurut A.
Hanafie Hukum menurut syara’ adalah firman Allah atau sabda Nabi yang
berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana mengandung
tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang
lain.[1]
Terdapat
perbedaan istilah dalam mendefinisikan hukum, maka mzyotitas ulama ushul
mendefinisikan hukum sebagai berikut:
خِطَابُ اللهِ المُتَعَلِّقُ
بِأَفْعَالِ المُكَلَّفِيْنَ اِقْتِضَاءً اَوْتَحْيِيْرًا اَوْوَضْع
Artinya: Allah yang menyangkut orang
dewasa dan berakal sehat, baik
bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
dan penghalang.
Yang dimaksud khitab
Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentu dalil baik Al-Quran
As-Sunnah maupun yang lainnya seperti Ijma’ dan Qiyas. (taqlif)
Yang dimaksud
menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia
dewasa dan berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan
ucapan.
Yang dimaksud
dengan imperatif (i’tiqadha) adalah tuntutat untuk melakukan sesuatu yakni
memerintah atau tuntutat untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan
itu bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud fakultatif (tahyir)
adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan
posisi yang sama. Dana yang dimaksud mendudukkan sesuatu (wadh’i) adalah
memposisikan sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat,
maupun penghalang.[2]
B.
Pembagian Hukum.
Hukum syara’
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas adalah hukum yang erat hubungannya
atau bertalian dengan buatan orang mukallaf, yang terdiri dari tuntutat,
pembolehan, dan perbuatan sesuatu terhadap yang lain. Oleh karena itu para ahli
ushul fiqh membagi hukum syara; dengan berbagai bagian:
1.
Hukum Taklifi.
1.1.Pengertian Hukum
Taklifi.
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu antara berbuat dan meninggalkan. Umpamanya:
a.
Firman allah yang bersifat menuntut untuk melakukan pekerjaan.[3]
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# öNà6¯=yès9 tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ
b.
Firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan.
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
c.
Firman Allah yang bersifat memilih.
(#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$#
1.2.Bentuk-Bentuk
Hukum Taklifi.
Terdapat dua golongan ulama’ dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum
taklifi : menurut ushul fiqih dan menurut ulama’ hanafi. Adapun menurut ulama’
ushul fiqih antara lain :
a.
Ijab : khitab yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau
dilakukan. Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan
tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenakan saksi. Hasil
dari ijab dinamakan wujud dan pekerjaan yang dikenai hukum wujud.
b.
Nadab : khitab yang berisi tuntutan yang tidak mesti dituruti,
yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,
melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya.
c.
Ibahah : khitab yang berisi kebolehan memilih antara terbuat atau
tidak terbuat. Hasil ibaha dinamakan ibaha, dan pekerjaan yang dikenai ibaha
dinamakan mubah.
d.
Karahah : khitab yang berisi larangan yang tidak mesti dijauhi
yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
e.
Tahrim : khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan, yaitu
tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.
Sedangkan bentuk-bentuk hukum taklifi menurut para ulama’
hanafiyah :
a.
Iftiradh : yaitu tuntutan allah kepada mukallaf yang bersifat
memaksa dengan berdasarkan dalil yang qath’i.
b.
Ijab : yaitu tuntutan allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf
ntuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat zhanni
(relative benar).
c.
Nadab
d.
Ibahah
e.
Karahah Tanzihiyyah : yaitu tuntutan allah kepada mukallaf untuk
meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa.
f.
Karahah Tahrimiyyah : yaitu tuntutan allah kepada mukallaf untuk
meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan dalil yang
dzanni.
g.
Takhrim : yaitu tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu
pekerjaan secara memaksa dan didasarkan pada dalil yang qath’i.
1.3.Hukum-Hukum
menurut Fuqaha.
Seperti telah diterangkan diatas, bahwa hukum-hukum menurut fuqaha
adalah dampak dari tuntutan khithab tasyri’, seperti wajib, haram, makruh, sunnah,
dan mandub.
a.
Wajib
Para
ulama’ ushul fiqih mengemukakan bahwa hukum wajib itu bias dibagi dari beberapa
segi, yaitu :
1)
Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas dua macam :
Ø Wajib
al-muthlaq : sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf
tanpa ditentukan waktunya. Contohnya: waktu pembayaran kafarat sumpah, hukumnya
wajib, tetapi tidak dijelaskan waktu pembayarannya.
Ø Wajib
al-mu’aqqat : kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu
tertentu. Seperti sholat wajib harus dikerjakan pada waktunya, demikian juga
puasa ramadhan.
Wajib
al-mu’aqqat terbagi lagi dalam tiga macam, yaitu ;
·
Wajib muwassa’ : waktu yang ditentukan lebih dari yang diperlukan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang diwajibkan. Contoh : waktu untuk sholat
zhuhur cukup lama, tapi yang diperlukan tidak berapa lama.
·
Wajib mudhoyyaq : apabila waktu yang disediakan hanya untuk
melaksanakan kewajiban itu saja, dan tidak ada tersedia waktu untuk yang lain.
Contoh : pulaksanaan puasa dibulan ramadhan hanya disediakan waktu pada bulan
ramadhan saja.
·
Wajib dzu-asy-syabihaini : apabila waktu yang disediakan dari satu
segi, dia menyerupai wajib muwassa’ (lapang), tetapi kalau ditinjau dari segi
lain ia mempunyai mudhayyaq (sempit). Contoh : waktu yang disediakan untuk
ibadah haji itu 3 bulan (syawal-zulqaedah-zulhijjah) berarti muwassa’, tetapi
waktunya hanya sekali dalam setahun, berarti mudhayyaq.
2)
Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, hukum terbagi atas dua
bagian. Yaitu:
Ø Wajib
al-Muhaddad: Suatu kewajiban yang ditentukan ukuran oleh syara’. Contohnya:
jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.
Ø Wajib Ghoiru
al-Muhaddad: Sesuatu yang tidak ditentukan oleh syara’ ukuran dan jumlahnya,
tetapi diserahkan oleh para ulama’ untuk menentukannya. Contohnya: penentuan
hukum dalam tindak pidana diluar hudud dan qishash yang diserahkan pada para
hakim.
3)
Dilihat dari pelaksanaannya, dibagi menjadi dua. Yaitu:
Ø Wajib al-‘Aini:
kewajiban yang ditunjukkan kepada setiap pribadi orang mukallaf dan tidak dapat
diwakilkan kepada orang lain. Contoh: Kewajiban melaksanakan shalat.
Ø Wajib
al-Kifa’i: kewajiban yang ditintut kepada seluruh mukallaf, tetapi apabila
telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi.
Contoh: pelaksanaan sholat jenazah.
Akan
tetapi wajib kifa’i bisa berubah menjadi wajib a’in apabila yang bertanggung
jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Contoh: menolong orang
tenggelam di laut.
4)
Dilihat dari segi kandungan perintah. Dibagi menjadi dua. Yaitu:
Ø Wajib
al-Muayyan: Kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan. Contoh:
membaca fatihah dalam shalat.
Ø Wajib al-Mukhayyar:
Kewajiban tertentu yang dipilih orang mukallaf. Contoh: bahwa kafarat sumpah
itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin, dll.
b.
Mandub.
Para
ulam’ ushul fiqih membagi mandub menjadi tiga bagian. Yaitu:
1)
Sunnah al-Muakkadah. Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan
mendapat pahala tetapi apabila ditinggal tidak mendapat dosa, tetapi mendapat
celaan. Contoh: Tuntutan untuk melaksankan shalat secara berjama’ah.
2)
Sunnah Ghairu Muakkad. Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan
mendapat pahala apabila ditinggalkan mendapat dosa dan tidak pula mendapatkan
celaan dari Syar’i. Contoh puasa setiap hari senin dan kamis.
3)
Sunnah az-Za’idah. Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang
dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila
tidak dikerjakan tida berdosa dan tidak pula dicela. Contoh: melakukan makan,
minum, berjalan, dan lain-lain.
c.
Haram.
Haram
dapat dibagi menjadi haram li dzatihi dan li ghairihi.
1)
Haram li dzatihi. Yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena
bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Contoh: makan bangkai.
Minum khomr dll.
2)
Haram, li-ghairihi. Yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’,
dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri,
tatapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzati. Contoh: melihat
aurat peremouan, dapat menimbulakan perbuatan zina, sedang zina diharamkan
karena dzatiyahnya sendiri.
d.
Makruh.
Ulama’
Hanafiyah membagi makruh dalam dua bentuk.
1)
Makruh Tanzih. Yaitu sesuatu yang dituntut Syar’i untuk
ditinggalkan, tetapi dengan tuntutat yang tidak pasti.
2)
Makruh Tahrim. Yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil
zhanni yang masih mengandung keraguan. Contoh: larangan memakai sutera dan
perhiasan emas bagi para laki-laki.
e.
Mubah.
Pembagian Mubah menurut para ulama’ ahli ushul fiqih yang dilihat
dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, yaitu:
1)
Mubah yang apabila dilakukan ataupun tidak dilakukan, tidak
mengandung mudarat, seperti makan, minum, berpakaian, dll.
2)
Mubah yang apabila dilakukan tidak ada mudaratnya, sedangkan
perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini biasanya
dilakukan ketika dalam keadaam darurat. Misalnya: makan daging babi, karena
tidak ada makanan satu pun yang harus dimakan dan apabila tidak dimakan, maka
seseorang akan meninggal dunia. Atau sesuatu yang pada dasarnta wajib
dilaksanakan, tetapi karena darurat boleh ditinggalkan, seperti puasa bagi
orang hamil, menyusui, musafir, dll.
Tetapi
pembagian Mubah menurut Asy-Syathibi yang ditinjau dari segi statusnya yang
bersifat juz’i dan kulli ada empat. Yaitu:
1)
Mubah bi al-Juz’i al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat ar-rujub. Hukum
mubah yang bisa berubah menjadi wajib. Contoh: makan yang pada dasarnya hukumnya
mubah. Akan tetapi, apabila seseorang meninggalkan makan sama sekali. Maka
hukumnya makan menjadi wajib baginya.
2)
Mubah bi al-Juz’i li al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat al-mandhub.
.Hukum mubah yang secara juz’i menjadi mandhub. Contoh: makan secara
berlebihan.
3)
Mubah bi al-juz’i al-muharramah bi al-kulli. Yakni mubah secara
juz’i bisa diharamkan. Misalnya mencela anak yang mengakibatkan kerusakan
mental anak.
4)
Mubah bi al-Juz’i al-makruh bi al-kulli. Yakni hukum mubah bisa
menjadi makruh apabila dilihat dari akibat negative perbuatan itu sendiri
secara kulli. Contoh: bernyanyi, apabila bernyanyi itu keterusan sehingga bisa
meninggalkan pekerjaan yang lebih bermanfaat atau menurunkan nilai sopan
santun, maka hukum bernyanyi itu berubah menjadi makruh.
2.
Hukum Wadh’i.
2.1.Pengertian
Hukum Wadh’i.
Hukum Wadh’i adalah firman Allah yang menuntut untuk ,enjadikan
sesuatu menjadi sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
2.2.Pembagian Hukum
Wadh’i.
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditujnjukkan bahwa
macam-macam hukum terbagi menjadi tiga.
a.
Sebab. Menurut
bahasa yaitu sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti
jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah
suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Contoh: QS
Al-Isro’: 78
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# ...
Pada ayat
tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.
Syarat.
Yaitu sesuatu yang berada didalam hukum syara’, tetapi hukum syara’ tergantung
kepadanya. Apabila hukum syara’ tidak ada, hukum pun tidak ada. Tetapi adanya
syara’ tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Contoh:
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym #sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ......
Ayat tersebut menyebutkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya
perwalian atas dirinya.
c.
Mani’ (penghalang).
Yaitu sifat keberadaannya menyebabkan adanya hukum atau tidak ada sebab. Contoh:
لَيْسَ
لِلْقَاتِلِ مِيْرَاثٌ
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan
warisan.
d.
Shihhah.
Yaitu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu terpenuhnya sebab, syarat
dan tidak ada mani’. Contoh: mengerjakan shalat dzuhur setekah tergelincirnya
matahari (sebab) dan telah berwudlu (syarat) dan juga tidak ada halangan bagi
yang mengerjakannya (mani’).
e.
Azimah dan Rukhshah.
Azimah adalah hukum asli yang bersifat umum dimana semua manusia diperintahkan
untuk melaksanakannya. Misalnya jumlah rakaat shalt dzuhur empat rakaat.
Sedangkan Rukhsah adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada
karena udzur. Misalnya: seseorang yang dalam keadaan lapar dan dikuatirkan akan
mengakibatkan kematian. Sementara itu tidak ada makanan kecuali bangkai, maka
diperbolehkan, bahkan diwajibkan makan bangkai tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa perbedaan antara hukum taklif dan hukum wadh’i antara lain
yaitu:
1.
Dalam hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan,
meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’i
hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan,
sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, atau
syarat.
2.
Hukum at taklif merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk
dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak
berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan
mukallaf. Hukum al-wadh’i ditentukan syari’ agar dapat dilaksanakan hukum
at-taklif. Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum at-taklif). Akan tetapi,
kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan apabila harta tersebut tidak mencapai
ukuran satu nishab dan belum haul. Ukuran satu nisab merupakan penyebab (hukum
al-wadh’i) wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum al-wadh’i) wajib zakat.
3.
Hukum at-taklif harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk
melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum at-taklif tidak boleh ada
kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh
mukallaf. Sedangkan dalam hukum al-wadh’i hal seperti ini tidak dipersoalkan,
karena musyaqqoh dan haraj dalam hukum al-wadh’i adakalanya dapat dipikul
mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan), dan
adakalanya diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi
wajibnya sholat dzuhur)
B.
Daftar Pustaka.
Abdul Wahab Khallaf, Prof, kaidah-kaidah hukum Islam, alih
bahasa dan editor Dr. H. Moch Toechah Mansoer SH, Noer Iskandar Al Barsany,
Penerbit Risalah Bandung, 1983.
A.Hanafie, ushul Fiqih. Penerbit, wijaya, Jakarta, tahun 1961.
Rosyada, Dede. M.A, 1993, FIQH DAN USHUL FIQH, Jakarta utara
14240, PT Raja Grafindo Persada
Syekh muhammad al khudloro biek, 1982, TERJEMAH USHUL AL FIQIH,
pekalongan, Raja Murah
Rachmat Syafe’i, M.A, 1998, ILMU
USHUL FIQIH, Bandung, CV. Pustaka Setia
Muhammad Abu Zahrah, 1994, USHUL FIQIH, Jakarta, PT. Pustaka
Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar