Senin, 27 Oktober 2014

Hukum dan pmbagiannya

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Ketergantungan hukum Allah pada perbuatan berdasarkan pemahaman akal akan sifatnya ialah setiap perbuatan yang dipahami akal kebaikannya dan dituntut melakukannya karena Allah dengan tuntutat yang pasti atau tidak menurut derajat kebaikannya dan keperluan masyarakat padanya demi kebaiakan masyarakat mereka.
Demikian pula perbuatan yang dipahami akal keburukannya dituntut meninggalkanya karena Allah secara pasti atau tidak menurut derajat keburukannya dan keperluan masyarakat untuk meninggalkannya demi kebaikan urusan mereka. Masalah ini terbagi dua bagian:
Pertama – Hukum Allah tetap semacam itusebelum turunnya hukum syari’at sehingga manusia diberi pahala atau dihukum berdasarkan apa yang dipahami oleh akal mereka.
Kedua – Hukum Allah diturunkan pada saat turunnya syari;at sesuai dengan apa yang dipahami perbuatan sehingga syari’at tidak dating menuntut yang buruk dan tidak pula menolak yang baik.
            Maka akal memutuskan bahwa tak ada hukuman atas orang yang memahami kebaikan dan keburukan suatu perbuatan.

B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimana maksud dari hukum?
2.      Bagaimana pembagian dari hukum?
C.    Tujuan Penelitian.
1.      Untuk mengetahui maksud dari hukum secara jelas.
2.      Agar mengetahui pembagian dari hokum secara rinci dan jelas.



BAB II
 PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum
Pengertian hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangakan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah tuntutat dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf.
Menurut A. Hanafie Hukum menurut syara’ adalah firman Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain.[1]
Terdapat perbedaan istilah dalam mendefinisikan hukum, maka mzyotitas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:
خِطَابُ اللهِ المُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ المُكَلَّفِيْنَ اِقْتِضَاءً اَوْتَحْيِيْرًا اَوْوَضْع
Artinya: Allah yang menyangkut orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.
Yang dimaksud khitab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentu dalil baik Al-Quran As-Sunnah maupun yang lainnya seperti Ijma’ dan Qiyas. (taqlif)
Yang dimaksud menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa dan berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan.
Yang dimaksud dengan imperatif (i’tiqadha) adalah tuntutat untuk melakukan sesuatu yakni memerintah atau tuntutat untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud fakultatif (tahyir) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama. Dana yang dimaksud mendudukkan sesuatu (wadh’i) adalah memposisikan sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.[2]
B.     Pembagian Hukum.
Hukum syara’ sebagaimana yang telah dijelaskan diatas adalah hukum yang erat hubungannya atau bertalian dengan buatan orang mukallaf, yang terdiri dari tuntutat, pembolehan, dan perbuatan sesuatu terhadap yang lain. Oleh karena itu para ahli ushul fiqh membagi hukum syara; dengan berbagai bagian:
1.      Hukum Taklifi.
1.1.Pengertian Hukum Taklifi.
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu antara berbuat dan meninggalkan. Umpamanya:
a.       Firman allah yang bersifat menuntut untuk melakukan pekerjaan.[3]
 (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# öNà6¯=yès9 tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ
b.      Firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan.
 Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/  È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
c.       Firman Allah yang bersifat memilih.
 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$#
1.2.Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi.
Terdapat dua golongan ulama’ dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi : menurut ushul fiqih dan menurut ulama’ hanafi. Adapun menurut ulama’ ushul fiqih antara lain :
a.       Ijab : khitab yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau dilakukan. Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenakan saksi. Hasil dari ijab dinamakan wujud dan pekerjaan yang dikenai hukum wujud.
b.      Nadab : khitab yang berisi tuntutan yang tidak mesti dituruti, yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya.
c.       Ibahah : khitab yang berisi kebolehan memilih antara terbuat atau tidak terbuat. Hasil ibaha dinamakan ibaha, dan pekerjaan yang dikenai ibaha dinamakan mubah.
d.      Karahah : khitab yang berisi larangan yang tidak mesti dijauhi yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
e.       Tahrim : khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.

Sedangkan bentuk-bentuk hukum taklifi menurut para ulama’ hanafiyah  :
a.       Iftiradh : yaitu tuntutan allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang qath’i.
b.      Ijab : yaitu tuntutan allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf ntuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat zhanni (relative benar).
c.       Nadab
d.      Ibahah
e.       Karahah Tanzihiyyah : yaitu tuntutan allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa.
f.       Karahah Tahrimiyyah : yaitu tuntutan allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan dalil yang dzanni.
g.      Takhrim : yaitu tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dan didasarkan pada dalil yang qath’i.
1.3.Hukum-Hukum menurut Fuqaha.
Seperti telah diterangkan diatas, bahwa hukum-hukum menurut fuqaha adalah dampak dari tuntutan khithab tasyri’, seperti wajib, haram, makruh, sunnah, dan mandub.
a.      Wajib
Para ulama’ ushul fiqih mengemukakan bahwa hukum wajib itu bias dibagi dari beberapa segi, yaitu :
1)      Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas dua macam :
Ø  Wajib al-muthlaq : sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Contohnya: waktu pembayaran kafarat sumpah, hukumnya wajib, tetapi tidak dijelaskan waktu pembayarannya.
Ø  Wajib al-mu’aqqat : kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu. Seperti sholat wajib harus dikerjakan pada waktunya, demikian juga puasa ramadhan.
Wajib al-mu’aqqat terbagi lagi dalam tiga macam, yaitu ;
·         Wajib muwassa’ : waktu yang ditentukan lebih dari yang diperlukan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang diwajibkan. Contoh : waktu untuk sholat zhuhur cukup lama, tapi yang diperlukan tidak berapa lama.
·         Wajib mudhoyyaq : apabila waktu yang disediakan hanya untuk melaksanakan kewajiban itu saja, dan tidak ada tersedia waktu untuk yang lain. Contoh : pulaksanaan puasa dibulan ramadhan hanya disediakan waktu pada bulan ramadhan saja.
·         Wajib dzu-asy-syabihaini : apabila waktu yang disediakan dari satu segi, dia menyerupai wajib muwassa’ (lapang), tetapi kalau ditinjau dari segi lain ia mempunyai mudhayyaq (sempit). Contoh : waktu yang disediakan untuk ibadah haji itu 3 bulan (syawal-zulqaedah-zulhijjah) berarti muwassa’, tetapi waktunya hanya sekali dalam setahun, berarti mudhayyaq.
2)      Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, hukum terbagi atas dua bagian. Yaitu:
Ø  Wajib al-Muhaddad: Suatu kewajiban yang ditentukan ukuran oleh syara’. Contohnya: jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.
Ø  Wajib Ghoiru al-Muhaddad: Sesuatu yang tidak ditentukan oleh syara’ ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan oleh para ulama’ untuk menentukannya. Contohnya: penentuan hukum dalam tindak pidana diluar hudud dan qishash yang diserahkan pada para hakim.
3)      Dilihat dari pelaksanaannya, dibagi menjadi dua. Yaitu:
Ø  Wajib al-‘Aini: kewajiban yang ditunjukkan kepada setiap pribadi orang mukallaf dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Contoh: Kewajiban melaksanakan shalat.
Ø  Wajib al-Kifa’i: kewajiban yang ditintut kepada seluruh mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi. Contoh: pelaksanaan sholat jenazah.
Akan tetapi wajib kifa’i bisa berubah menjadi wajib a’in apabila yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Contoh: menolong orang tenggelam di laut.
4)      Dilihat dari segi kandungan perintah. Dibagi menjadi dua. Yaitu:
Ø  Wajib al-Muayyan: Kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan. Contoh: membaca fatihah dalam shalat.
Ø  Wajib al-Mukhayyar: Kewajiban tertentu yang dipilih orang mukallaf. Contoh: bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin, dll.



b.      Mandub.
Para ulam’ ushul fiqih membagi mandub menjadi tiga bagian. Yaitu:
1)      Sunnah al-Muakkadah. Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala tetapi apabila ditinggal tidak mendapat dosa, tetapi mendapat celaan. Contoh: Tuntutan untuk melaksankan shalat secara berjama’ah.
2)      Sunnah Ghairu Muakkad. Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala apabila ditinggalkan mendapat dosa dan tidak pula mendapatkan celaan dari Syar’i. Contoh puasa setiap hari senin dan kamis.
3)      Sunnah az-Za’idah. Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tida berdosa dan tidak pula dicela. Contoh: melakukan makan, minum, berjalan, dan lain-lain.
c.       Haram.
Haram dapat dibagi menjadi haram li dzatihi dan li ghairihi.
1)      Haram li dzatihi. Yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Contoh: makan bangkai. Minum khomr dll.
2)      Haram, li-ghairihi. Yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tatapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzati. Contoh: melihat aurat peremouan, dapat menimbulakan perbuatan zina, sedang zina diharamkan karena dzatiyahnya sendiri.
d.      Makruh.
Ulama’ Hanafiyah membagi makruh dalam dua bentuk.
1)      Makruh Tanzih. Yaitu sesuatu yang dituntut Syar’i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutat yang tidak pasti.
2)      Makruh Tahrim. Yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil zhanni yang masih mengandung keraguan. Contoh: larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi para laki-laki.

e.       Mubah.
Pembagian Mubah menurut para ulama’ ahli ushul fiqih yang dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, yaitu:
1)      Mubah yang apabila dilakukan ataupun tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti makan, minum, berpakaian, dll.
2)      Mubah yang apabila dilakukan tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini biasanya dilakukan ketika dalam keadaam darurat. Misalnya: makan daging babi, karena tidak ada makanan satu pun yang harus dimakan dan apabila tidak dimakan, maka seseorang akan meninggal dunia. Atau sesuatu yang pada dasarnta wajib dilaksanakan, tetapi karena darurat boleh ditinggalkan, seperti puasa bagi orang hamil, menyusui, musafir, dll.
Tetapi pembagian Mubah menurut Asy-Syathibi yang ditinjau dari segi statusnya yang bersifat juz’i dan kulli ada empat. Yaitu:
1)      Mubah bi al-Juz’i al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat ar-rujub. Hukum mubah yang bisa berubah menjadi wajib. Contoh: makan yang pada dasarnya hukumnya mubah. Akan tetapi, apabila seseorang meninggalkan makan sama sekali. Maka hukumnya makan menjadi wajib baginya.
2)      Mubah bi al-Juz’i li al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat al-mandhub. .Hukum mubah yang secara juz’i menjadi mandhub. Contoh: makan secara berlebihan.
3)      Mubah bi al-juz’i al-muharramah bi al-kulli. Yakni mubah secara juz’i bisa diharamkan. Misalnya mencela anak yang mengakibatkan kerusakan mental anak.
4)      Mubah bi al-Juz’i al-makruh bi al-kulli. Yakni hukum mubah bisa menjadi makruh apabila dilihat dari akibat negative perbuatan itu sendiri secara kulli. Contoh: bernyanyi, apabila bernyanyi itu keterusan sehingga bisa meninggalkan pekerjaan yang lebih bermanfaat atau menurunkan nilai sopan santun, maka hukum bernyanyi itu berubah menjadi makruh.

2.      Hukum Wadh’i.
2.1.Pengertian Hukum Wadh’i.
Hukum Wadh’i adalah firman Allah yang menuntut untuk ,enjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
2.2.Pembagian Hukum Wadh’i.
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditujnjukkan bahwa macam-macam hukum terbagi menjadi tiga.
a.       Sebab. Menurut bahasa yaitu sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Contoh: QS Al-Isro’: 78
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# ...
Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.      Syarat. Yaitu sesuatu yang berada didalam hukum syara’, tetapi hukum syara’ tergantung kepadanya. Apabila hukum syara’ tidak ada, hukum pun tidak ada. Tetapi adanya syara’ tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Contoh:
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ......
                              Ayat tersebut menyebutkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.
c.       Mani’ (penghalang). Yaitu sifat keberadaannya menyebabkan adanya hukum atau tidak ada sebab. Contoh:
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِيْرَاثٌ
Hadits tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d.      Shihhah. Yaitu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Contoh: mengerjakan shalat dzuhur setekah tergelincirnya matahari (sebab) dan telah berwudlu (syarat) dan juga tidak ada halangan bagi yang mengerjakannya (mani’).
e.       Azimah dan Rukhshah.
Azimah adalah hukum asli yang bersifat umum dimana semua manusia diperintahkan untuk melaksanakannya. Misalnya jumlah rakaat shalt dzuhur empat rakaat. Sedangkan Rukhsah adalah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena udzur. Misalnya: seseorang yang dalam keadaan lapar dan dikuatirkan akan mengakibatkan kematian. Sementara itu tidak ada makanan kecuali bangkai, maka diperbolehkan, bahkan diwajibkan makan bangkai tersebut.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara hukum taklif dan hukum wadh’i antara lain yaitu:
1.      Dalam hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, atau syarat.
2.      Hukum at taklif merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum al-wadh’i ditentukan syari’ agar dapat dilaksanakan hukum at-taklif. Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum at-taklif). Akan tetapi, kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan apabila harta tersebut tidak mencapai ukuran satu nishab dan belum haul. Ukuran satu nisab merupakan penyebab (hukum al-wadh’i) wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum al-wadh’i)  wajib zakat.
3.      Hukum at-taklif harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum at-taklif tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum al-wadh’i hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena musyaqqoh dan haraj dalam hukum al-wadh’i adakalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan), dan adakalanya diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya sholat dzuhur)
B.     Daftar Pustaka.
Abdul Wahab Khallaf, Prof, kaidah-kaidah hukum Islam, alih bahasa dan editor Dr. H. Moch Toechah Mansoer SH, Noer Iskandar Al Barsany, Penerbit Risalah Bandung, 1983.
A.Hanafie, ushul Fiqih. Penerbit, wijaya, Jakarta, tahun 1961.
Rosyada, Dede. M.A, 1993, FIQH DAN USHUL FIQH, Jakarta utara 14240, PT Raja Grafindo Persada
Syekh muhammad al khudloro biek, 1982, TERJEMAH USHUL AL FIQIH, pekalongan, Raja Murah
Rachmat Syafe’i, M.A, 1998,  ILMU USHUL FIQIH, Bandung, CV. Pustaka Setia
Muhammad Abu Zahrah, 1994, USHUL FIQIH, Jakarta, PT. Pustaka Firdaus




[1] A. Hanafie , Ushul Fiqh, Wijaya Jakarta, hlm. 12.
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV. Pustaka Setia. Bandung. Hal. 295-296.
[3] H. Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 142-143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar