BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Nash-nash
al-Qur’an dan as-Sunnah memakai bahasa Arab. Pemahaman hukum dari nash-nash
tersebut hanya akan benar apabila diindahkan ketentuan-ketentuan yang berlaku
bagi bahasa Arab baik mengenai susunan bahasanya, bentuk-bentuk lafadhnya
maupun makna-makna yang ditunjuki oleh lafadh-lafadhnya dan lain-lainnya.
Oleh
sebab itulah, ulama Ushul Fiqh mengadakan penelitian secara sistematis mengenai
susunan bahasa Arab.Kita tidak dapat mengetahui pemahaman makna dan hukum-hukum
dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali dengan mengetahui dan memahami
cara-cara orang Arab dalam memahami kalimat, kata dan susunan bahasa Arab.
Oleh
karena itu, berikut ini diuraikan tentang qaidah-qaidah yang dapat dipergunakan
untuk memahami hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash-nash al-Qur’an dan
as-Sunnah, yang diantaranya adalah pembahasan tentang muthlaq, muqayyad,
dzahir, khafi, dan dalalah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud
tentang Muthlaq dan Muqayyad ?
2.
Apa yang dimaksud
tentang Dzahir dan Khafi ?
3.
Bagaimana pembagian
lafadh jika ditinjau dari kejelasan makna ?
4.
Apa yang dimaksud
tentang Dalalah ?
C.
TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1.
Untuk mengetahui
pembahasan tentang Muthlaq dan Muqayyad.
2.
Untuk mengetahui
pembahasan tentang Dzahir dan Khafi.
3.
Untuk menjelaskan
pembagian lafadh jika ditinjau dari kejelasan makna.
4.
Untuk mengetahui
pembahasan tentang Dalalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
1.
Pengertian
Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq menurut bahasa adalah yang terlepas/ yang dilepaskan.Sedangkan
menurut istilah, Muthlaq adalah lafadh yang menunujukkan kepada obyeknya
tanpa memperhatikan kepada satuan, jumlah atau sifatnya.[1]Akan
tetapi menunjukkan kepada hakekatnya.Bisa juga didefinisikan bahwa muthlaq
ialah lafadh yang menunjukkan sesuatu hal atau barang atau orang yang tidak
tertentu tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti
dalam firman Allah :
فَكُّ رَقَبَةٍ ( البلد : ١٣ )
“ (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan “ ( QS. Al-Balad : 13)
Kata “budak” pada ayat diatas adalah muthlaq, artiya baik
budak mukmin atau budak kafir.
Muqayyad menurut bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan
kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah, Muqayyad adalah lafadh yang
menunjukkan kepada hakekat sesuatu yang dibatasi dengan sifat, keadaan, syarat
atau ungkapan umum yang dibatasi dengan batasan apa saja tanpa dihubungkan
dengan bilangan.Bisa juga didefinisikan bahwa muqayyad adalah suatu
lafadh yang menunjukkan sesuatu hal atau barang atau orang yang tidak tertentu
dengan ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti dalam
firman Allah :
فَتَحْرِيْرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ( النساء : ٩٢)
“Hendaklah ia memerdakakan seorang
hamba sahaya yang beriman” (An-Nisa : 92)
Ayat diatas menjelaskan bahwa yang
harus dimerdekakan adalah hamba sahaya yang beriman.Jadi muqayyadnya
adalah dengan sifat.
2.
Hukum
dan Contoh Lafadh Muthlaq dan Muqayyad
a.
Jika
hukum dan sebabnya sama, maka yang muthlaq dibawa kepada yang muqayyad.
Artinya, muqayyad menjadi penjelasan terhadap muthlaq.
Ayat
Muthlaq :
ôMtBÌhãmãNä3øn=tæèptGøyJø9$#P¤$!$#ur ..... {المائدة:۳ }
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah“. (Al-Maidah : 3)
Ayat Muqayyad :
@è%HwßÉ`r&Îû!$tBzÓÇrré&¥n<Î)$·B§ptèC4n?tã5OÏã$sÛÿ¼çmßJyèôÜtHwÎ)br&cqä3tºptGøtB
÷rr&$YBy%·nqàÿó¡¨B................ {الانعام:١٤٥}
“katakanlah :
tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai atau darah yang mengalir” (Al-An’am :145)
Lafadh الدَّمُ pada ayat pertama adalah muthlaq dan
lafadh دَماً
مَسْفُوْحاً pada ayat yang kedua adalah muqayyad. Hukum disini ialah “haramnya
darah” dan sebabnya ialah “hendak makan”. Karena
kedua-duanya sama, maka yang muthlaq dibawa kepada yang muqayyad.
Jadi yang diharamkan adalah “darah yang mengalir”. Sedangkan hati dan limpa
tidak haran dimakan.
b.
Jika
hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini masing-masing muthlaq dan muqayyad
tetap pada tempatnya sendiri. Muqayyad tidak menjadi penjelasan muthlaq.
Ayat Muthlaq
:
ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtÏ÷r& .............. {المائدة:۳۸}
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri
potonglah kedua tangannya” (Al-Maidah : 38)
Ayat Muqayyad :
$pkr'¯»túïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä#sÎ)óOçFôJè%n<Î)Ío4qn=¢Á9$#(#qè=Å¡øî$$sùöNä3ydqã_ãröNä3tÏ÷r&ur
n<Î)È,Ïù#tyJø9$#
................ {المائدة:٦}
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku”(Al-Maidah : 6)
Lafadh أَيْدِيَهُماَ pada ayat pertama adalah muthlaq dan
lafadh وَأَيْدِيَكُمْ
اِلىَ المَرَافِقِ pada ayat kedua
adalah muqayyad. Ayat yang pertama menerangkan hukum potong tangan
karena mencuri, sedangkan ayat kedua menerangkan hukum membasuh tangan karena
berwudhu.Jadi dalam hal ini masing-masing tetap pada tempatnya, yang muthlaq
tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap muqayyad.
c.
Jika
hukum sama, tapi sebab berbeda. Maka yang muthlaq tidak bisa dipahami
dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Ayat Muthlaq
:
ãÌóstGsù7pt7s%u7..........
{المجادلة : ۳}
“maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak” (Al-Mujadalah:3)
Lafadh “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini
berbentuk muthlaq karena tidak ada lafadh yang mengikatnya. Sehingga
seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik
ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekakan hamba sahaya atau
budak.
Ayat Muqayyad :
ãÌóstGsù7pt7s%u7poYÏB÷sB
............... { النساء : ۹۳}
“(hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...” (An-Nisa’ : 93)
Lafadh “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad
dengan diikat lafadh“mukminah” (beriman) maka hukumnya ialah keharusan
untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu
masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun
hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai
dengan ketentuannya masing-masing.
d.
Jika
berbeda hukum, tapi sebabnya sama. Dalam hal ini masing-masing muthlaq
dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Ayat Muthlaq
:
(#qßs|¡øB$$sùöNä3Ïdqã_âqÎ/öNä3Ï÷r&ur3 ............... {النساء
: ٤۳}
“sapulah mukamu dan tanganmu...” (An-Nisa’ : 43)
Lafadh “yad”
(tangan) dalam ayat diatas berbentuk muthlaq, karena tidak ada
lafadh lain yang mengikatnya. Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini adalah
keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga
pergelangan tangan atau sampai siku. Kecuali ada dalil lain seperi hadits yang
menerangkan tata cara tayamum oleh Nabi.
Ayat Muqayyad
:
$pkr'¯»túïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä#sÎ)óOçFôJè%n<Î)Ío4qn=¢Á9$#(#qè=Å¡øî$$sùöNä3ydqã_ãröNä3tÏ÷r&ur
n<Î)È,Ïù#tyJø9$# ............. {المائدة : ٦ }
“ hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat,
maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku...” (Al-Maidah : 6)
Lafadh “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad,
karena ada lafadh yang mengikatnya yaitu “ilal maraafiqi” (sampai dengan
siku). Sebab dari ayat diatas adalah sama dengan ayat muthlaq yang
sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi
hukumnya berbeda. Ayat muthlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu
dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan tentang keharusan mencuci
dengan air.Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat muthlaq tidak bisa
ditarik kepada yang muqayyad.Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan
tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu yang
mengharuskan membasuh tangan sampai siku.Dengan demikian ayat muthlaq
dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri
tidak bisa dijadikan satu.[2]
B.
DZAHIR DAN KHAFI
1.
Pengertian
Dzahir
Dzahir menurut bahasa adalah jelas.
Sedangkan dzahir menurut istilah adalah apa yang menunjukan maksud daripadanya
itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap
urusan luar.[3]
Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia
mengandung takwil.Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan
qarinah.Tidak ada maksud asli dari pembicaraan.Kata-katanya itu di’itibarkan
dengan jelas.
Contoh
dari lafadh dzahir adalah QS. Al-Baqarah ayat 275 :
¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#
“Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah: 275)
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya
halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat
ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya. Meskipun demikian, ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk
menyatakan hal tersebut. Akan tetapi, untuk menafikan apa yang dibayangkan
orang tentang jual beli dan riba, dan menolak apa yang dikatakan orang bahwa
jual beli itu adalah seperti riba, bukan untuk menyatakan hukum kedua hal ini.
2.
Pengertian
Khafi
Khafi menurut bahasa artinya samar.
Sedangkan khafi menurut istilah adalah lafadh yang dari segi penunjukannya
kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika menerapkan
pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan itu disebabkan karena
bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukan oleh suatu
dalil.
Lafadh khafi itu sebenarnya dari
segi lafaz-nya menunjukkan arti jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap
sebagian lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan
kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Adapun cara untuk menghilangkan
kesamaran tersebut adalah melalui penelitian, mengetahui tujuan umum dan tujuan
khusus ditetapkannya hukum atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan lafadh atau
“penyempitan” dalam penerapannya. Kemaslahatan umum harus diperhatikan dalam
perluasan dan penyempitan tersebut, selama suatu lafadh dapat digunakan untuk
kemaslahatan umum.
Contoh dari lafadh khafi ini adalah
lafadhالسَّارِقُ (pencuri) pada QS. Al-Maidah ayat 38 :
ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtÏ÷r&
“dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah
tangannya” (Al-Maidah : 38)
Lafadh السَّارِقُ pada ayat di
atas artinya jelas, yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara
tersembunyi dari tempat penyimpanannya. Tapi
untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan merupakan suatu
bentuk yang samar dan tidak jelas. Sepertiالنَّشَالُ (pencopet) dan النَّبَاشُ (pencuri barang-barang
di dalam kuburan) lafaz tersebut dikatakan khafi (samar).
Menurut pendapat Imam Syafi’i dan
Imam Abu Yusuf keduanya tergolong pencuri, maka harus dipotong
tangannya.Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah pencopet digolongkan kepada
pencuri, sehingga hukumannya potong tangan, tapi pencuri barang-barang di dalam
kuburan tidak digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya cukup dengan
ta’zir.[4]
C.
LAFADH
DITINJAU DARI KEJELASAN MAKNA
Kalangan Hanafiyah sebagaimana dijelaskan oleh Adib
Sholih yang dikutip oleh Satria Effendi mengelompokkan lafad dari kejelasan
maknanya (dalalahnya) menjadi dua macam. Pertama lafadh yang artinya jelas,
meliputi empat tingkatan, yaitu: dzahir, nash, mufassar, dan muhkam. Kedua lafadh yang maknanya tidak jelas yang meliputi
empat tingkatan juga, yaitu: khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.[5]
1.
Lafadh yang Jelas Maknanya
a)
Dzahir
Dzahir secara bahasa berarti al-wuduh (jelas), sedangkan secara istilah
adalah lafadh yang mengandung arti secara langsung dari nas itu, tanpa
memerlukan penyerta lainyang datang dari luar untuk memahami maksud nas itu,
akan tetapi bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari pengucapannya.[6] Contohnya dalam Al-Qur’an
surat Al-baqarah ayat 275
وَأَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِبَوا....(٢٧٥)
“..Allah
menghalalkan jual beli dan mengharakan riba..”(QS.Al-Baqarah: 275)
Makna Dzahir dari ayat diatas sesuai dengan
pemahaman yang cepat adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba.kata halal
dan haram ini sudah jelas, sehingga tidak memerlukan penyerta lain dari luar.
Tetapi tujuan utama dari ayat ini bukanlah seperti itu. Tetapi tujuan atau
makna nasnya adlah perbedaan antara jual beli dan riba, karena ayat ini turun
sebagai bantahan kepada orang musyrik yang mengatakan bahwa antara jual beli
dan riba adalah sama.
Lafadh Dzahir terkadang harus ditakwil untuk
mencari makna yang dapat dipahami. Yang dimasud ta’wil adalah
memalingkan arti Dzahir kepada mana lain yang memungkinkan berdasarkan
dalil/ bukti. Contohnya dalam surat Al-Fath kata “اليد” pada ayat tersebut secara Dzahir
berarti tangan dan arti ta’wil adalah kekuasaan.
b)
Nash
Secara bahasa Nash adalah al-dzuhur (jelas). Secara istilah Nash memiliki dua pengertian yaitu pengrtian
secara umum dan pengertian secara khusus. Pengertian secara umum adalah
sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafi’i, nas adalah teks Al-Qur’an dan Hadits
baik yang tegas maupun yang tidak tegas.[7] Dari pengertian tersebut,
maka nas diperuntukkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan pengertian secara
khusus, Nash adalah lafadh yang menunjukkan arti yang asli yang muncul
dari lafadh itu secara jelas, yang tidak mungkin mengandung arti lain.[8] Contohnya dalam surat
Al-Baqarah ayat 196 berikut:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةُ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَ سَبْعَةٍ اِذَا
رَجَعْتُمْ. تِلْكَ عَشْرَة كَامِلَة. ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ
يَكُنْ اَهْلُه حَاضِر ى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ...(١٩٦).
“tetapi jika ia
tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna demikian itu (kewajiban membayar fidya) bagi
orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) masjidil haram...”(QS. Al-Baqarah:196).
Kata “asyaratun”
dalam ayat tersebut adalah Nash karena maknanya jelas dan pasti tidak
mungkin sembilan atau sebelas.
Perbedaan
antara Dzahir dan Nash adalah:
1.
Dalalah Nash lebih jelas dibanding dengan Dzahir
2.
Makna Nash adalah makna asli yang dikehendaki dari
lafadh, sedangkan Dzahir bukan makna yang dikehendaki.
3.
Kemungkinan untuk dita’wil, Nash lebih jauh
dibandingkan dengan Dzahir.
4.
Ketika terjadi pertentangan antara Nash dan Dzahir,
maka harus kembali kepada makna Nash.[9]
5.
Nash tidak menerima kemungkinan makna lain, sedangkan Dzahir masih
menerima kemungkinan makna lain.[10]
c)
Mufassar
Mufassar menurut ulama ushul fiqh adalah lafadh yang menunjukkan kepada maknanya secara
jelas dan terperinciyang tidak mungkin menerima ta’wil (dipalingkan
maknanya) atau ditakhsis, tapi pada masa Rosulullah masih bisa diNashakh.[11] Jika dibandingkan dengan
nas, mafassar lebih jelas karena pada mufassar tidak berlaku takhsis. Lafadh mufassar
terbagi dua:
1)
Menunjukkan maknanya secara jelas dan terperinci tanpa
memerlukan lagi penjelasan dari luar. Contohnya dalam surat Al-Nur ayat 4
وَ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنت ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا
بِأَرْبَعَةٍ شُهَدَاء فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلَا
تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًا وَاُولئِكَ هُمُ الْفسِقُوْنَ
(٤)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanit
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itual orang-orang
fasik.” (QS. Al-Nur : 4).
Jumlah delapan puluh dera adalah mufassar karena maknanya
sudah jelas tanpa perlu ada penambahan dan pengurangan dan tak perlu dita’wil.
2)
Berupa mujmal (global), tidak jelas dan tidak
terperinci, yang kemudian datang penjelasan dari syari’at sehingga menjadi
jelas dan pasti dan tidak lagi menerima ta’wil.seoerti perintah sholat,
perintah zakat, dan perintah haji.
Jika terjadi pertentangan antara Nash dan
mufassar, maka mufassar didahulukan dan dimenangkan karena mufassar
dilihat dari dalalahnya lebih jelas dibanding dengan nas, serta mufassar tidak
menerima ta’wilkarena sudah jelas.
d)
Muhkam
Menurut Abu Zahra muhkam adalah kalimat yang menunjukkan
maknanya dengan jelas yang tidak menerima kemungkinan ta’wil dan tidak menerima
takhsis dan juga tidak menerima nasakh.[12]
Abdul Wahab Khallaf menegaskan bahwa lafadh muhkam tidak
bisa dibatalkan hukumnya, tidak dapat diganti karena maknanya yang sudah jelas
dan juga tidak dapat menerima nasakh karena lafadh muhkam berisi, antara lain:
1)
Tentang ajaran-ajaran pokok agama yang tidak menerima
nasakh (penggantian), seperti ibadah kepada Allah dan beriman kepada
kitab-kitab dan rosul.
2)
Tentang perbuatan-perbuatan utama yang tidak
diperselisihkan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua dan sebagainya.
3)
Tentang hukum cabang (fiqh) yang diabadikan oleh
syari’at. Seperti hukum jual beli.
Jika terjadi pertentangan antara muhkam dan mufassar,
maka yang dimenangkan adalah muhkam karena dalalah muhkam lebih jelas dan pasti
dibandingkan dengan mufassar.
2.
Lafadh yang Tidak Jelas Maknanya
a)
Khafi
Khafi adalah lafadh yang maknanya jelas akan tetapi ketika diterapkan pada suatu
kasus menimbulkan ketidak jelasan.[13]
Ketidak jelasan itu dapat dimungkinkan karena bentuk
kasus-kasus itu tidak sama persis dengan kasus yang ditunjukan oleh satu dalil.
Contohnya lafadh “saariq” dalam surat Al-Maidah ayat 38.
السَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيْدِيَهُمَا جَزَاءً
بِمَا كَسَبَا نَكَا لًا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (٣٨)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Makna “saariq” pada ayat diatas sudah jelas adalah
pencuri yang mengambil harta orang lain secara sembunyi ditempat yang layak.
Namun ketika diterapkan pada pencopet, maka muncullah ketidak jelasan, apakah
pencopet dapat dimasukkan dalam istilah pencuri yang harus dipotong tangannya
atau tidak. Maka, untuk memecahkan masalah ini dibutuhkan ijtihad. Menurut
Abdul Wahab Khallaf, berdasarkan ijtihad yang didasari oleh dalalah nas
disepakati bahwa hukum mencopet adalah sama dengan pencuri.
b)
Musykil
Musykil adalah lafadh yang tidak mrnunjukkan makna yang jelas maka diperlukan
qarinah (indikator) dari luar untuk menjelaskan maksudnya.
Penyebab ketidak jelasannya karena lafadh itu mengandung
beberapa pengertian yang tidak menunjukkan makna tertentu. Sehingga untuk
mengetahui pengertian mana yang dimaksud diperlukan indikator atau dalil dari
luar. Contohnya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 223 :
....فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ أنّى شِئْتُمْ ....(٢٢٣)
“....maka
datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu menghendaki....”
Lafadh anna dalam bahasa arab bisa berarti: kaifa, aina,
dan mata. Maka dari sini timbullah kemusykilan, untuk menentukan makna yang
lebih cocok. Para ulama’ dalam mengambil pengertian ada yang mengambil arti
kaifa, seperti Ibnu Abbas. Yang artinya, bahwa boleh menggauli istri, kecuali
pada duburnya pada waktu haid. Dan ada yang mengartikan selagi ia menghendaki.
Perbedaan antara khafi dan musykil terletak
pada dzatiah lafadh itu sendiri. Oleh sebab itu, musykil lebih tinggi
kadar kemubhamannya dari pada khafi.[14]
c)
Mujmal
Mujmal adalah lafadh yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum yang
terkandung didalamnya yang mana tidak bisa diketahui secara jelas tanpa adanya
mubayyan (penjelas).[15]
Jika terdapat lafadh mujmal pada Al-Qur’an maka sunnah
berfungsi untuk menjelaskannya. Contohnya perintah sholat dalam Al-Qur’an yang
masih mujmal, kemudian dijelaskan oleh Nabi tentang rukun, syarat, dan cara
pelaksanaannya sebagaimana hadits beliau, artinya “sholatlah kamu seperti kamu
melihat aku shalat.”
Abdul wahab khallaf menambahkan, bahwa diantara lafadh
yang dimasukkan ke dalam lafadh mujmal antara lain:
1)
Lafadh yang disebut secara bahasa tetapi yang dikehendaki
adalah makna syari’at secara khusus, misalnya perintah sholat dalam Al-Qur’an
yang masih membutuhkan penjelasan terkait rukun, syarat dan caranya.
2)
Lafadh yang gharib (asing), seperti kata “al-Qaari’ah”.
Dalam surat Al-Qaari’ah ayat 1 yang kemudian dijelaskan sendiri oleh Allah pada
ayat selanjutnya. Yang menjelaskan lafadh mujmal pada surat Al-Qaari’ah adalah
ayat kedua sapai lima yang disebut mubayyan.
Macam-macam penjelas bagi lafadh mujmal
a)
Penjelasan dengan perkataan, seperti penjelasan denda
haji tamattu’.
b)
Penjelasan dengan perbuatan, seperti hadits Nabi yang
menjelaskan tentang sholat dan haji.
c)
Penjelasan dengan tulisan, seperti ketentuan zakat dan
diyat.
d)
Penjelasan dengan isyarat, contohnya hadits Nabi yang
artinya, “aku dan orang yang menanggung anak yatim seperti ini.” Ketika
mengucapkankan hadits ini sambil menunjukkan jari telunjuk dan tengah.
Mujmal itu lebih tinggi kadar khafanya dari pada musykil, sebab penjelasan
mujmal diperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad.
d)
Mutasyabih
Mutasyabih adalah lafadh yang tidak jelas maknanya dan tidak ada dalil dari luar yang
menjelaskan maknanya. Yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah SWT.
Terjadi perselisihan antara para ulama’ mengenai
penentuan kriteria mutasyabih, diantaranya:
1)
Menurut ibnu Hazm yang dikutip oleh Imam Abu Zahra, bahwa
tidak ada lafadh mutasyabih dalam Al-Qur’an kecuali huruf-huruf tertentu,
seperti “alif lam mim” sumpah (qasam) Allah.
2)
Pendapat kedua tidak hanya lafadh mutasyabih saja, tetapi
ada ayat-ayat yang mengandung keserupaan antara makhluk dan Allah SWT.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat mutasyabih
terdapat pada huruf-huruf yang ada diawal surat, sumpah Allah dalam Al-Qur’an,
serta ayat-ayat yang arti secara zahir mengandung keserupaan antara makhluk dan
Tuhan.
Tentang kehujjaan lafadh mutasyabihat terdapat dua
pendapat ulama dalam menghadapi ayat mutasyabihat, yaitu:
1)
Menurut ulama salaf, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah
SWT, mengimani dan tidak membahasnya dengan ta’wil.
2)
Menurut ulama khalaf, diperbolehkan untuk menta’wil yang
sejalan dengan makna bahasa dengan tetap menjaga sifat kesucian Allah SWT.
D.
DALALAH
1.
Pengertian Dalalah
Dalalah menurut bahasa berarti tertentu. Dan dalam ilmu ushul fiqh dalalah adalah
pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh atau bisa disebut dengan petunjuk
suatu lafadh kepada makna tertentu.[16]
Contohnya: (sholat). Ini dinamakan al-dal dan madlulnya
adalah do’a (makna bahasa) atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam (makna istilah). Makna penunjukkan makna sholat pada do’a
atau perbuatan yang diawali dengan tabir dan diakhiri dengan salam namanya dalalah.
2.
Macam-macam Dalalah
Mengenai macam-macam dalalah terdapat dua
pendapat, yaitu: pendapat Imam Hanafi yang menyebutkan dua macam dalalah,
yaitu: dalalah ghoiru lafdhiyah dan dalalah lafdhiyah.Serta pendapat Imam Syafi’i dalalah terbagi menjadi dua, yaitu: dalalah
mantuq dan dalalah mafhum.[17]
a) Dalalah menurut Imam Hanafi
1) Dalalah
ghoiru lafdhiyah, yaitu
dalalah yang tidak diungkapkan dengan lafadh, yaitu dalil yang digunakan bukan
dalam bentuk suara, bukan lafadh, dan juga tidak dalam bentuk kata. Contohnya
dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang artinya:
“Dan untuk dua orang tua bapak dan ibu, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak,
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu
bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”.
Ayat ini menjelaskan bahwa, ahli waris hanya ibu dan
bapak, maka ibu mendapat sepertiga. Walaupun dalam ayat ini tidak dijelaskan
bagian bapak, maka tetap dapat dipahami bahwa hak dari bapak adalah sisia dari
sepertiga, yaitu dua pertiga.
2) Dalalah
lafdhiyah, Imam Hanafi
membagi dalalah ini menjadi 4 macam, yaitu:
a)
Ungkapan Nash/ Ibaratun Nashh
Ungkapan nash adalah makna yang segera dapat dipahami
dari bentuk nash itu sendiri, baik yang maksud asli maupun tidak. Contohnya
dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya:
“Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat”
Maksud yang sebenarnya dalam ayat ini adalah pembatasan
jumlah wanita yang boleh dinikahi. Sedangkan makna lain adalah boleh menikahi
wanita yang disenangi.
b)
Isyarat Nash/ Isyaratun Nashh
Isyarat nash adalah makna yang tidak dapat dipahami
secara langsung dari lafadhnya dan tidak dimaksukan oleh susunan katanya.
Contohnya dalam surat al-Hasyr ayat 8 yang artinya:
“(yaitu) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka”.
Isyarat nashnya adalah bahwa harta muhajirin yang
ditinggalkan di Makkah, bukanlah menjadi harta mereka lagi.
c)
Petunjuk Nash/ Dalalatun Nashh
Petunuk nash adalah mana yang dapat dipahami dari
kerasionalannya. Contohnya dalam surat an-Nisa’ ayat 10 yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara dholim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”.
Maksudnya adalah menggunakan harta anak yatim, memberikan
harta itu kepada orang lain, membakar harta anak yatim tanpa seizin dari anak
yatim tersebut adalah melanggar hukum serta dilarang.
d)
Kehendak Nash/ Iqtidlaun Nashh
Kehendak nash adalah suatu makna/pengertian, yang mana
kalimat itu tidak dapat dimengerti, kecuali dengan memperkirakan adanya pengertian
tersebut.jadi lafadhnya tidak ada, tetapi kebenaran kalimat dan maknanya
membutuhkan pengertian itu. Contonya dalam surat al-Maidah ayat 3 yang artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah...”.
Iqtidlaun Nashh pada ayat ini adalah “memakannya” karena menyandarkan
keharaman, makatidak tepat. Sehingga diperkirakanlah lafadh yang sesuai denga
apa yang dikehendaki oleh Nashh yaitu kata “memakan”.
b) Dalalah menurut Imam Syafi’i
1)
Manthuq
Manthuq adalah lafadh yang kandungan hukumnya dapat dipahami dari apa yang
diucapkan atau telah terkandung dalam lafadh itu sendiri.[18] Dengan kata lain mantuq
adalah makna yang tersurat (terbaca). Contohnya dalam surat al-Maaidah ayat 3,
yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ ....
“diharamkan bagi kamu bangkai dan darah....”
Mantuq dari ayat ini adalah bahwa bangkai hukumnya haram.
2)
Mafhum
Mafhum adalah lafadh yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang terdapat
dibalik mantuq-nya.[19] Dengan kata lain mafhum
adalah makna yang tersirat.
Mafhum terbagi menjadi dua macam,[20] yaitu:
ü Mafhum
muwafaqah, yaitu
menetapkam hukum dari makna yang sejalan dengan makna mantuq- nya.
Contohnya dalam surat al-Isra’ ayat 23
وَلَا تَقْرَبُوْاالزِّنٰى ....
“Dan
janganlah kamu mendekati zina...”
Mafhum muwafaqah dari ayat ini adalah haram mendekati zina dan hal-hal
yang dapat mengarahkan pada zina, seperti berpacaran.
ü Mafhum
mukhalafah, yaitu
menetapkan hukum yang berkebalikan dengan hukum mantuq-nya.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi lima,[21] yaitu:
a.
Mafhum dengan sifat, contohnya dalam hadits Nabi yaitu “pada binatang yang
digembalakan direrumputan yang bebas, maka ada zakatnya”, mafhum-nya
adalah binatang yang dikandang (diberi makan dengan mengeluarkan biaya) tidak
wajib zakat sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi yang artinya: “zakat
kambing yang digembalakan apabila ada 40 sampai 120 kambing maka zakatnya satu
kambing....(HR.Ahmad, Bukhari, Nasa’i).
b.
Mafhum dengan ghayah, cotohnya dalam surat al-Baqarah ayat 187
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّى يَتَبَيَّنُ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ...
“... makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar...”
Mafhum mukhalafa-nya adalah apabila telah teranh benang putih dari benang
hitam amaka hentikan makan dan minum yang artinya berpuasa.
c.
Mafhum dengan syarat. Contohnya dalam
al-Qur’an surat at-Talak ayat 6 yang artinya: “...dan jika mereka (istri-istri
yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya. Mafhum
mukhalafah-nya adalah jika istri-istri itu tidak dalam keadaan hamil, maka
tidak harus memberi nafkah.
d.
Mafhum dengan bilangan. Contohnya dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 4 yang
artinya: “orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh) delapan puluh dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” Mafhum
mukhalafah-nya adalah tidak boleh menderanya kurang atau lebih dari delapan
puluh.
e.
Mafhum dengan gelar (laqab) contohnya: Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Mafhum
mukhalafah-nya adalah selain Muhammad.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Muthlaq adalah lafadh yang menunujukkan kepada
obyeknya tanpa memperhatikan kepada satuan, jumlah atau sifatnya. Sedangkan Muqayyad
adalah lafadh yang menunjukkan kepada hakekat sesuatu yang dibatasi dengan
sifat, keadaan, syarat atau ungkapan umum yang dibatasi dengan batasan apa saja
tanpa dihubungkan dengan bilangan.
Ditinjau dari kejelasan maknanya, lafad dibagi
menjadi 2, yaitu lafadh yang jelas maknanya dan lafadh yang tidak jelas
maknanya. Lafadh yang jelas maknanya diantara
lain :dzahir, Nash, mufassar dan muhkam. Dan lafadh yang tidak
jelas maknanya antara lain :khafi, musykil, mujmal,dan mutasyabih.
Pembahasan tentang dalalah terbagi menjadi 2, yakni :dalalah
ghoiru lafdhiyah dan dalalah lafdhiyah. Menurut Hanafiyah, dilalah
lafdhiyah terbagi menjadi 4 macam, yakni : Ungkapan nash, Isyarat nash,
Petunjuk nash, dan Kehendak nash. Sedangkan menurut Syafi’iyah dilalah
lafdhiyah terbagi menjadi 2 macam, yaitu :manthuq dan mafhum.
B.
SARAN
Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh
dari sempurna.Oleh karena itu, Penulis dengan senang hati menerima segala
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.Penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan tentang
ilmu-ilmu yang terdapat dalam Ushul Fiqh, terlebih utama dalam
materi/pembahasan al-Qawaid al-Ushuliyah al-Lughawiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie,
Ahmad. 1988. Ushul Fiqh. Jakarta : Widjaya.
Arifin, Miftahul. 1997. Ushul Fiqh. Surabaya:
Citra Media.
SA, Romli. 1999. Muqaranah Mazahib fil Ushul.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:
Pustaka Setia.
[2]Miftahul Arifin, Ushul Fiqh, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm.
230-233.
[3]Ibid, 192.
[4]Ibid, 197.
[5]Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.
195
[6]Ibid.
[9]Khalid
Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh,(Al-Raudhah, 1998), hlm. 312.
[10]Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hlm.
199
[11]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 155.
[12]Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hlm.
201.
[14]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 165.
[15]Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hlm.
204.
[16]Miftahul
Arifin, Ushul Fiqh, (Surabaya: Citra Media, 1997), hlm. 171.
[18]Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm 225
[19]Ibid.
[20]Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hlm.
195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar