BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Memahami isi kandungan nash Al-Qur’an dan Hadist dari sudut
teks maupun makna dibutuhkan kunci, metode, dan ilmu khusus, salah satunya
dengan mempelajari kaidah-kaidah ushuliyah yang didalamnya mencakup ‘Aam, Khas,
Amru, Nahyu, dan lain sebagainya.
Nash Al-Qur’an dan
Al-Hadis tersebut bisa berupa lafadz umum atau
khusus. Lafadz yang umum atau al-‘am, ketetapan hukumnya harus
diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang
mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan
hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny).
Al-Qur’an dan
Al-Hadis juga ada yang berupa lafadz khusus (khash), maka hukum bisa
ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau
memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khash ini
terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan
catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz tersebut berbentuk
perintah (‘amar), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk
larangan (nahi) maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila
tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak bolehanya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dijabarkan sebelumtnya maka yang menjadi pokok
pembahasan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian kaidah ushuliyah dan
kaidah fiqhiyah ?
2.
Apa pengertian ‘aam dan khas ?
3.
Apa saja pembagian ‘am dan khas serta
lafadz-lafadznya ?
4.
Bagaimana hukum berhujjah dengan
lafadz ‘am ?
5.
Apa pengertian takhsis dan mukhassis ?
6.
Apa sajakah macam-macam takhsis dan
mukhassis ?
7.
Apa pengertian amar dan nahyu ?
8.
Bagimana bentuk-bentuk amar dan nahyu
?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian kaidah
ushuliyah dan kaidah fiqhiyah
2.
Memahami apa itu ‘aam dan khas serta
dapat membedakannya
3.
Mengetahui hukum berhujjah dengan
lafadz ‘am
4.
Mengetahui takhsis mukhassis dan
macam-macamnya
5.
Menjelaskan pengertian amar dan nahyu
6.
Mengetahui bentuk-bentuk amar dan
nahyu
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian kaidah Ushuliyah dan kaidah Fiqhiyah
A.
Kaidah Ushuliyah
Kaidah Ushuliyah merupakan kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk
memahami hukum-hukum mengenai perbuatan manusia, yang ada dalam nash Al-Qur’an
dan Hadist yang telah dihasilkan oleh ulama’ ushul fiqh berdasarkan penelitian
mereka terhadap ketentuan atas undang-undang bahasa arab.[1]
Menurut Ibnu Taimiyah, kaidah ushuliyah adalah al-adillah
al-‘ammah. Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, kaidah-kaidah ushuliyah
merupakan kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh
bagian dan objeknya, di mana kaidah berfungsi sebagai dzari’ah dalam
mengistinbath hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis.[2]
B.
Kaidah Fiqhiyah
Kaidah Fiqhiyah merupakan dasar-dasar yang berkaitan dengan
hukumsyara’ yang mencakup bentuk teks perundang-undangan yang ringkas (padat)
yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada suatu peristiwa yang dapat
dimasukkan pada permasalahannya.[3]
2.
‘Aam dan Khas
A.
‘Aam
Secara bahasa ‘aam berarti yang umum, merata, dan menyeluruh.
Adapun menurut istilah ‘aam sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim
ialah:
"العام هو اللفظ المستغرق لجميع ما يصلح
له بحسب وضع واحد."
Artinya: “Am adalah lafadz yang menunjukkan pengertian umum yang
mencakup satuan-satuan(afrad) yang ada dalam lafadz itu tanpa pembatasan jumlah
tertentu.”[4]
Lafadz ‘aam merupakan bentuk
dari suatu lafadz yang didalam lafadz itu tersimpul semua jenis kata yang
sesuai dengan lafaz tersebut. Misalnya lafadz “al
insan (manusia)”, dalam lafadz ini termasuk semua manusia didunia, baik manusia
itu kecil, besar, merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.
1.
Pembagian ‘Aam
a.
Umum Syumuliy
Suatu lafadz yang digunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi
seluruh pribadi. Seperti:
يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَّاحِدَةٍ .
“Hai
sekalian manusia bertakwalah kepada tuhanmu yang menciptakan kamu dari satu
diri” (Q.S An Nisa Ayat 1).
Dalam ayat ini seluruh manusia dituntut untuk bertakwa tanpa
terkecuali, jadi lafadz yang seperti ini dinamakan Umum Syumuli.[5]
b.
Umum Badaliy
Suatu lafadz yang digunakan dan dihukumkan serata berlaku untuk
sebagian pribadi. Seperti:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّكُوْنَ.
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana yang telah
diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang
yang bertakwa” (Q.S. Al Baqarah Ayat 183).
Dalam ayat ini terdapat kalimat umum,
tetapi tidak digunakan untuk seluruh manusia, melainkan hanya untuk yang
beriman saja.
2.
Lafadz-lafadz ‘Aam
a.
Kullun, Jami’un, Kaffatun, Ma’syara[6]
Contoh
kullun:
قَالَ النَّبِي ص م : كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ
مَنْ أَبَى مَنْ أَطَا عَنِى دَخَلَ الجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى.
“Tiap-tiap umatku akan
masuk kedalam surga kecuali orang yang enggan, siapa yang menta’atiku masuk dia
kedalam surga, dan barang siapa yang membangkang kepadaku itulah orang yang
enggan” (H.R Bukhory).
Contoh Jami’un:
هُوَالَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الأَرْضِ جَمِيْعًا.
“Dialah(Allah) yang
menjadikan kamu dipermukaan bumi ini seluruhnya” (Q.S Al Baqarah Ayat 29).
Contoh Kaffah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ اِلاَّ كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًاوَّنَذِيْرًا.
“Tidak kami utus engkau
(Muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan peringatan bagi manusia”
(Q.S Saba’ Ayat 28).
Contoh
Ma’syara:
يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رَسُلٌ مِّنْكُمْ
يَقْضُوْنَ عَلَيْكُمْ أيتِهِ وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاءَيَوْمِكُمْ هذَا.
“Hai sekalian jin dan
manusia! Tidakkah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan ayat-Ku
kepadamu? Serta menakuti kamu akan pertemuan hari ini” (Q.S al An’am Ayat 12).
Contoh Saairun:
أمسك اربعا وفارق سائرهن.
“Pegangi yang empat dan
ceraikan selebihnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
b.
Isim Syarat (Man, Maa, dan Ayyun)[8]
Contoh Man (barang siapa):
مَنْ يَعْمَل سُوْءً يُجْزَبِهِ.
“Barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (Q.S
an Nisa’ Ayat 123).
Contoh Maa (apa
saja):
وَمَا تُنْفِقُوْامِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ
“ Apa-apa yang kamu
belanjakan berupa kebaikan, maka bagi dirimu faedahnya” (Q.S al Baqarah Ayat
272).
Contoh Ayyun
(yang mana saja):
اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الأَسْمَآءُ الْحُسْنىَ.
“ Sembarang nama kamu bermohon, maka bagi-Nya nama-nama yang
baik” (Q.S al Isra’ Ayat 110).
c.
Isim-isim istifham (Maa, man, Aina, Mata)[9]
Contoh
Man(siapa):
مَنْ ذَاالَّذِى يُقْرِضُ الله قَرْضًا حَسَنًا.
“Siapakah yang mau
berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik ?” (Q.S al Baqarah Ayat 245).
Contoh
Maa(apa):
مَاسَلَكَكُمْ فِى سَقَرٍ.
“Apa
sebab kamu masuk neraka ?” (Q.S al Mudatsir Ayat 42).
Contoh
Aina(dimana):
اَيْنَ تَسْكُنْ ؟
Contoh
Mata(kapan):
مَتَى نَصْرُاللهِ ؟
d.
Isim maushul[10]
Seperti: الذى، التى، الذين، اللائ،اؤلائ
Contoh:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ.
“dan orang-orang yang
menuduh wanita baik-baik”
e.
Isim nakirah dalam susunan nafi (inkar)
Contoh:
لاَيُقَادُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ.
“Orang tua tidak boleh
diQisas karena anaknya” (H.R Ibnu Majah dan Ahmad).
f.
Lafadz mufrad dan jama’ yang dima’rifatkan dengan idhafah
Contoh mufrad:
وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ
Contoh
jama’:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
g.
Lafadz mufrad dan jama’ yang dima’rifatkan dengan al ta’rif jinsi
Contoh mufrad:
اَلزّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ.
Contoh
jama’:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءٍ.
B.
Khas
Secara
bahasa khas berarti tertentu.[11]
Sedangkan menurut istilah:
الخاص هو لفظ وضع للدلالة على فرد واحد بالشخص مثل محمد اوواحد بالنوع
مثل رجل او على افراد متعددة محصورة مثل ثلاثة وعشرة ومائة وقوم ورهط وجمع وفريق
وغير ذالك من الالفاظ التي تدل على عدد من الافراد ولا تدل على استغراق جميع
الافراد.
“Al-Khas adalah lafadz
yang dibuat untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti: Muhammad,
atau satu jenis: seorang laki-laki, atau beberapa person yang terbatas seperti:
tiga, sepuluh, seratus, satu kaum, satu masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan
lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa person tetapi tidak
mencakup semua person. (Abdul Wahab Khallaf, 1972: 1991).[12]
Kekhususan itu ada kalanya mutlak, muqayyad,
perintah, dan larangan.[13]
Apabila dalam nash terdapat lafadz yang khas, maka pengertiannya dapat
menetapkan hukum secara pasti/ qath’i, selama tidak terdapat dalil yang
mentakwilkannya dan menghendaki arti lain.
Contoh Mutlak:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَتَمَاسَّا.
“Maka wajib atasnya memerdekakan
budak sebelum kedua suami istri itu bercampur” (Q.S al Mujadalah (56): 3).
Ayat ini
memberi pengertian bahwa orang yang mendhihar istrinya kemudian ingin menarik
kembali apa yang telah diucapkannya, maka wajib memerdekakan budak, baik
mukminah maupun bukan.
Contoh
muqayyad:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ.
“maka kaffarat sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin” (Q.S al Maidah (5): 89).
Ayat ini
menerangkan bahwa orang yang melanggar sumpah dengan sengajaja, maka wajib
baginya memberi makan sepuluh oraang miskin. Kata “sepuluh” disini tidak dapat
diartikan dengan kurang atau lebih darinya (pas).
Contoh
perintah:
وَأَقِيْمُ الصَّلَاةَ وَاتُواالزَّكَاةَ.
“dan dirikanlah sholat,
tunaikanlah zakat” (Q.S al Baqarah (2): 43).
Ayat ini
memberi peringatan bahwa sholat dan zakat itu wajib, selama tidak terdapat
dalil yang memalingkan perintah itu dari pengertian wajib.
Contoh
larangan:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا.
“dan janganlah kamu
mendekati zina” (Q.S al Isra’ (17): 32).
Ayat ini
memberi peringatan bahwazina itu haram, selama tidak terdapat dalil yang
memalingkan dari keharaman itu.
Jumhur ulama’ sepakat bahwa ‘am itu
dibangun dari khas, oleh karna itu, khas itu lebih kuat dari ‘aam dalam
penggunaannya. Maka, penggunaan ‘aam dapat gugur jika ditemukan khas. Adapun
khas tidak dapat digugurkan oleh ‘aam.[14]
3.
Takhsis dan Mukhasis
A.
Pengertian Takhsis dan Mukhassis
Menurut ulama’ ushul fiqih Takhsis ialah mengeluarkan sebagian
satuan-satuan lafadz ‘aam dari ketentuan lafadz ‘aam, dan lafadz ‘aam tersebut
hanya berlaku bagi satuan-satuan yang lain( yang tidak di
takhsis(dikeluarkan)).[15]
Sedangkan mukhassis merupakan dalil yang menjadi dasar adanya
pengeluaran tersebut.
Pada ayat 32 surat al A’raf misalnya diterangkan, bahwa semua
perhiasan boleh dipakai. Perhiasan itu meliputi cincin mas, pakaian, intan,
kalung, dan lain-lain. Masing-masing disebut satuan umum (aam). Cincin emas
kemudian dikeluarkan(ditakhsis) dari ketentuan ayat tersebut, sebab cincin emas
tidak boleh dipakai oleh laki-laki, inilah yang dinamakan Takhsis.
Pengeluaran itu berdasarkan hadis. Karna membatasi keumuman ayat tersebut
dengan mengeluarkan cincin mas, maka hadisnya disebut Mukhassis.
B.
Pembagian Mukhassis
1.
Mukhassis Muttashil, yaitu mukhassis yang tidak dapat berdiri
sendiri (berhubungan dengan Nash ‘aam atau merupakan bagian daripadanya).[16]
Yang
termasuk mukhassis muttashil:
a.
Istitsna’
Mengeluarkan sesuatu daripada lainnya (pengecualian) dalam lafadz
dengan memakai adat-adat istisna’
Contoh istisna’ dalam firman Allah:
.....اِلّآَ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً
حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ
تَكْتُبًوْهَا......الخ
“.....kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa lagi bagi kamu (jika) kamu tidak
menulisnya.....” (Q.S al baqarah (2): 282).
Yang menjadi istisna’ dalam ayat ini adalah jual beli secara tunai,
sebab pada awal ayat Allah memerintahkan mencatat jual beli secara hutang.
Ø Syarat-syarat
sahnya istisna’ ada tiga:
1.
Mustatsna[17]
dan mustatsna minhu[18]
saling berhubungan (ittishol). Seperti, semua orang pergi kemasjid kecuali
Ahmad. Ahmad disini dikeluarkan dari keadaan pergi. Tidak boleh mengucapkan
“semua orang pergi kemasjid” kemudian berkata setelah sesaat”kecuali Ahmad”.
Para ahli bahasa sepakat untuk menolaknya, sebab apabila terputus tidaklah
terjadi penyempurna pengecualian. Jika berniat mengecualikan pada mulanya, maka
tampakkanlah niatnya sesudah itu, jangan ada jeda.[19]
2.
Mustatsna tidak menghabiskan mustatsna minhunya. Jika menghabiskan,
mak istisna’ dianggap tidak sah, karena bermain-main. Contoh: Saya mempunyai
uang Rp 1000, kecuali Rp 1000. Istisna’ seperti ini tidak sah.
3.
Mustatsna dan mustatsna minhu tidak memakai huruf ‘atof. Jika
kalimat itu memakai huruf ‘atof maka batallah syarat istisna’. Seperti: saya
punya uang Rp 500, dan tidak Rp 100. Istisna’ seperti ini tidak sah.
Ø Istisna’ dari
kalimat negative dan positif
الإستثناء من النفى إثبات
Istisna’ dari kalimat negatif menjadi positif. Contoh: “Tidak ada
tuhan, kecuali Allah”. Tidak ada tuhan adalah kalimat negatif, maka
pengecualiannya menetapkan adanya Tuhan, yaitu Allah (positif).
الإستثناء من اللإثبات نفى
Istisna’ dari kalimat positif menjadi negatif. Contoh: dalam firman
Allah surat al ‘Ashr. Mula-mula Allah mempositifkan (menetapkan) bahwa manusia
itu keseluruhannya dalam keadaan merugi, kemudian Allah menegatifkan sebagian
(yang beruntung) yaitu orang-orang yang beriman dan juga orang-orang yang beramal
sholeh, “dengan pengertian orang-orang ini tidak merugi”, bahkan mereka
mendapat keuntungan di sisi Allah SWT.[20]
Ø Istisna’
sesudah jumlah yang bersambung-sambung
Menurut pendapt Imam Syafi’i, Maliki, Ahmad, dan Imam Syaukani,
jika ada istisna’ sesudah jumlah yang bersambung-sambung, maka istisna’ itu
kembali kepada semua jumlah.
Golongan Hanafiyah mengatakan” bahwa istisna’ itu kembali kepada
jumlah yang terakhir.
Contoh:
Mereka menuduh (berbuat zina) terhadap
orang-orang perempuan yang baik, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, maka deralah mereka 80 kali dan janganlah kamu terima persaksian mereka
selamanya dan mereka adalah orang-orang fasiq, kecuali orang-orang yang taubat
sesudah itu dan berlaku baik.(an Nur 4-5)
Pengecualian pada ayat tersebut bisa
kembali kepada orang-orang fasiq saja (jumlah terakhir). Bisa juga kembali
kepada orang-orang fasiq dan persaksian mereka (seluruh jumlah). Kalau kembali
kepada jumlah yang terakhir, maka meskipun sudah taubat dan berlaku baik, orang
yang menuduh itu tetap tidak bias menjadi saksi.[21]
b.
Sifat
Kalimat umum dapat juga ditakhsiskan dengan pengertian kalimat yang
mengiringinya, seperti: kafarat membunuh, memerdekakan budak yang mukmin.
Sifat adakalanya terletak setelah satu lafadz dan ada pula yang
terletak setelah jumlah.
Contoh sifat setelah satu lafadz:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً*
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ....
“dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
yang lain, kecuali karena salah (tidak sengaja), dan barangsiapa yang membunuh
orang mukmin karena salah, maka hendaklah ia memerdekakan budak yang mukmin”
(Q.S an Nisa’ Ayat 92).
Lafadz“Raqabah” adalah lafadz umum yang meliputi sekaalian budak,
dengan adanya lafadz “mukminah” sebagai sifat dari raqabah, maka tidak termasuk
didalamnya budak yang tidak beriman.[22]
Contoh sifat setelah jumlah:
“Aku berwakaf kepada anakku dan aku berwakaf kepada temanku yang
‘alim keduanya”. Lafadz anak dan teman adalah umum, sedangkan lafadz ‘alim
sebagai sifat keduanya merupakan pengkhususan, maka termasuk didalamnya yang
‘alim saja.
c.
Ghayah
(batas maksimalitas), adakalanya ghayah dengan (ila) dan (hatta).
Yang dimaksud ghayah dengan (ila) ialah kesudahan-kesudahan sesuatu sampai
(masuk) pada batas yang telah ditentukan (batas akhir).
Contoh ghayah dengan ila:
اِذَاكُنْتُمْ اِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَاَيْدِيْكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ.
“Bila kamu akan melaksanakan sembahyang, maka basuhlah muka kamu
dan tanganmu sampai kedua mata siku” (Q.S al Maidah Ayat 6).
Dalam ayat diatas bahwa mata siku merupakan batas akhir yang harus dibasuh
juga.[23]
Contoh ghayah hatta:
وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ.
“jangan kamu dekati perempuan-perempuan yang dalam keadaan
haidl, hingga ia suci” (Q.S al Baqarah Ayat 222).
Kata hingga pada ayat tersebut mentakhsis kalimat umum sebelumnya,
memberikan pengertian bahwa semua perbuatan (mendekati) dilarang, maka dengan
kalimat ghayah (hatta) tidak berlaku lagi hukum yang umum.
d.
Badal ba’du min kull
(pengganti dari sebagian).[24]
Dari ke empat nacam badal (ilmu nahwu) hanya badal ba’du min kull yang bisa
mentakhsis.
Contoh:
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ السْتَطَاعَ اِلَيْهِ
سَبِيْلًا.
“Allah mewajibkan atas manusia mengerjakan haji, yaitu
orang-orang yang kuasa berjalan kepadanya” (Q.s al Imron Ayat 96).
Kalimat umum adalah Annas (kull: keseluruhan manusia), artinya
siapapun juga terkena kewajiban haji. Manistatha’a adalah bagian (ba’du) dari keseluruhan
manusia, dan menggantikan lafadz annas (kull). Dengan adanya penggantian ini,
maka tidak setian orang wajib haji, tapi hanya bagi yang kuasa saja.
e.
Hall
Lafadz yang menunjukkan suatu keadan tertentu. Seperti:
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوْا
مَأ تَقٌوْلُوْنَ.
“Jangan kamu kerjakan sembahyang, sedangkan kamu dalam keadaan
mabuk, hingga kamu ketahui apa yang kamu ucapkan” (Q.S an Nisa’ Ayat 43).
Kalimat larangan mengerjakan sembayang adalah bentuk kalimat umum
dengan pengertian bahwa manusia dilaraang sembahyang, kemudian ditakhsis dengan
kalimat sesudahnya yang berupa hal “sukara”, sehingga menjadi takhsis.[25]
f.
Zharaf
(keterangan waktu dan tempat). Contoh: tentang masa mengeluarkan
zakat fitrah. Jika dikeluarkan sebelum sholat ied maka diterima. Namun jika
dikeluarkan sesudahnya, maka dianggap sedekah biasa. Berdasarkan hadist nabi
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.[26]
g.
Syarat
Syarat dibagi menjadi dua, yaitu syarat tunggal dan syarat
berbilang.
Contoh syarat tunggal: “Bila telah bekerja, kamu dapat
bebas”.
Contoh syarat berbilang: “Bila kamu telah belajar dan lulus
ujian, maka kamu akan mendapat hadiah”.
Dalam contoh yang dicetak tebal adalah syarat, sedangkan yang tercetak
biasa adalah masyrut.[27]
2.
Mukhassis Munfashil, yaitu mukhassis yang dapat berdiri sendiri
(terlepas dari nash ‘aam dan terpisah daripadanya).
Yang
termasuk mukhassis munfashil:
a.
Akal
Firman Allah (Q.S ali Imran (3): 97)
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ.
“Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap
Allah”.
Akal dapat mentakhsis keumuman “anNas”, yaitu bagi anak kecil dan
orang gila tidak wajib mengerjakanhaji karena bukan orang mukallaf.
b.
‘Urf
(adat kebiasaan). Contoh:
أَيُّمَا اِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ.
“Tiap-tiap kulit yang disamak menjadi suci” (H.R Muslim)
Hadist tersebut tidak meliputi kulit anjing, Karena menurut adat
kebiasaan, kulit anjing tidak disamak atau dipakai.[28]
c.
Nash (qur’an, hadist, ijma’, qiyas)
Perinciannya adalah:
·
Al-Qur’an ditakhsis dengan Al-Qur’an
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّسْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ
قُرُوْءٍ..........
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru” (Q.S al Baqarah (2): 228).
Ayat ini berlaku untuk semua ‘iddah, baik ‘iddah wafat maupun
‘iddah hamil dan lain-lain. Kemudian ayat ini ditakhsis dengan ‘iddah hamil
yaitu sampai lahir anaknya:
وَأُلَاتُ الأَحْمَالِ اَجَلَهُنَّ اَن ْ يَّضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ.
“Perempuan yang mengandung, ‘iddah mereka sampai lahir anak yang
dikandungnya” (Q.S at Thalaq Ayat 4).[29]
·
Al-Qur’an ditakhsis dengan Hadist
Hadist rasul dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Para
ulama’ sepakat, bahwa hadist mutawatir bias mentajhsis Qur’an, sebab hadist
mutawatir adalah dalil yang qath’i pula.
Terhadap hadist ahad para ulama’ ushul fiqh berbeda pendapat.
Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa hadist ahad tidak dapat mentakhsis Qur’an,
sedangkan jumhur ulama’ mengatakan dapat.[30]
Alasan golongan Hanafiyah adalah karena hadist ahad hanya bersifat
dhanni (dugaan). Sedangkan jumhur ulama’ membolehkan dengan alasan para sahabat
nabi mentakhsis keumuman ayat-ayat Qur’an dengan hadist, sebagaimana contoh di bawah ini:
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِىْ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرٍ مِثْلُ حَظِّ
الأُنْثَيَيْنِ.
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu. Bagi anak
laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan” Q.S an Nisa’ (4): 11).
Kemudian ayat tersebut ditakhsis dengan hadist:
لَا يَرِثُ القَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْأً.
“Orang yang membunuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang
yang terbunuh” (H.Ran Nasa’i)
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ.
“Orang islam tidak berhak mendapatkan warisan dari orang kafir
begitu sebaliknya orang kafir tidak berhak mendapatkan warisan dari umat islam”
(H.R Jamaah).
Dua hadist diatas mentakhsis ayat 11 surat an Nisa’ yang
menghasilkan natijah hukum bahwa anak laki-laki dan perempuan berhak
mendapat warisan dari ayahnya. Namun jika kematian ayahnya disebabkan si anak, maka dia tidak berhak mendapat waris. Begitu juga
dengan yang kafir tidak berhak mendaoat waris dari ayahnya yang muslim atau
sebaliknya.[31]
·
Hadist ditakhsis dengan Al-Qur’an
Seperti mentakhsis wudlu dengan tayammum untuk sembahyang.
Contoh
sabda Nabi SAW:
لَايَقْبَلُ اللهُ صَلَأةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّى
يَتَوَضَّعُ.
“Allah tidak menerima sembahyang seseorang apabila dia berhadas
hingga dia berwudlu terlebih dahulu” (HR. Bukhori dan Muslim).
Ditakhsis hadist ini dengan firman Allah:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضَى اَوْ عَلَى سَفَرٍ اَوْجَآءَ اَحَدٌ
مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَائِطِ اَوْلَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً
فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا.
“Jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu
bercampur dengan istrimu, kemudian tidak kamu dapati air (untuk bersuci), maka
bertayamumlah dengan tanah yang suci” (Q.S an Nisa’: 43).
Menurut hadist
tersebut, dalam keadaan bagaimanapun juga harus berwudlu’ (bersuci dengan air).
Kemudian ayat 43 an Nisa’ membolehkan dalam keadaan tidak mendapat air, boleh
bertayamum sebagai ganti dari berwudlu’.
·
Hadist ditakhsis dengan Hadist
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَآءُ الْعُشُرُ.
“Dalam
tanaman yang disiram air hujan zakatnya sepersepuluh (10%)” (HR. Bukhori dan
Muslim).
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ اَوْ سُقِ صَدَقَةٌ.
“Tidak
ada shadaqah(zakat) dalam tanaman yang kurang dari 5 usuq” (HR. Bukhori dan
Muslim).
Menurut
hadist pertama umum untuk semua tanaman dikenakan zakat, baik banyak atau
sedikit. Hadist kedua membatasinya, yakni hanya terhadap 5 usuq[32]
keatas saja.
·
Takhsis dengan Qiyas
Contoh:
الزَّا نِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهًمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”(Q.S an Nur (24):2).
Budak
perempuan (amah) dikeluarkan dari ketentuan ayat ini. Terhadap amah hanya
dikenakan dera separuhnya, yaitu 50 dera. Berdasarkan ayat:
فَإِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى
الْمثحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ.
“..Apabila mereka budak perempuan melakukan kejahatan (berzina),
maka atasnya seperdua siksa perempuan yang merdeka” (Q.S an Nur (24): 25).
Budak
laki-laki hukumnya diqiyaskan dengan budak perempuan , yaitu 50 dera. Jadi
mentakhsiskan ayat an Nur tentang budak laki-laki, bukan dengan suatu ayat atau
hadist, tapi dengan mengqiyaskannya pada budak perempuan yang telah ada
ketentuannya dalam ayat 25 surat an Nur.[33]
·
Takhsis dengan Ijma’
Takhsis
dengan ijma’ itu disepakati bolehnya. Artinya, dengan perantara ijma’ dapat
diketahui bahwa yang dikehendaki lafadz ‘aam ialah sebagian dari apa yang
termasuk dalam lafadz ‘am tersebut. Contoh:
اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى
ذِكْرِ اللهِ وَذَرثوالبَيْعَ.
“..Jika dipanggil untuk
sholat pada hari jum’at, maka pergilah untuk mengingat Allah dan tinggalkan
jual beli” (Q.S al Jum’ah 9).
Menurut ayat
tersebut siapapun terkena kewajiban sholat jum’at, tetapi para ulama’ telah
sepakat (ijma’) bahwa orang perempuan, anak kecil dan budak tidak diwajibkan.[34]
4.
Berhujjah dengan lafadz ‘Aam
A.
Kehujjahan dalil ‘Aam setelah di Takhsis
Dalil
‘aam sesudah ditakhsis masih berlaku bagi satuan-satuan lain. Lafadz ‘aam
tersebut menunjukkan keseluruhan satuan-satuan yang termasuk didalamnya.
Dikeluarkannya satuan-satuan ‘aam berhubung ada mukhassis, tidak berarti bahwa
lafadz ‘aam tersebut sudah tidak berlaku lagi bagi satuan-satuan lain.
B.
Kehujjahan dalil ‘Aam sebelum di Takhsis
“Tidak
boleh beramal dengan dalil ‘Aam sebelum di Takhsis”
Untuk
beramal dalam suatu perbuatan yang umum tidak diperbolehkan sebelum diselidiki
secara berijtihad, menyelidiki kepada kitab dan sunnah. Hal ini dilakukan agar
menjauhkan diri kita dari taqlid, karena taqlid[35]
menurut agama tidak diperbolehkan (dicela).
5.
Amar dan Nahyu
A.
Amar
Secara bahasa amar berarti perintah. Adapun menurut istilah amar
berarti:
طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
“Menuntut pekerjaan untuk dilakukan dari orang yang derajatnya
lebih tinggi kepada orang yang derajatnya lebih rendah”.[36]
Atau:
هو طلب الفعل على جهة الإستعلاء
“Amar adalah permintaan untuk melakukan suatu pekerjaan dari pihak
yang berkuasa”.[37]
1.
Bentuk-bentuk amar
a.
Fi’il amr ( إقرأ ، ( تهجّد
b.
Fi’il mudlori’ yang didahului lam amr ( ليقرأ ،لينفق )
c.
Isim fi’il amr ( عليكم )
d.
Masdar pengganti fi’il ( إحسانا )
e.
Lafadz-lafadz yang mengandung arti perintah ( كتب ، وجب )
Pengertian yang dapat ditangkap dari lafadz amar adalah “ijab”
tuntunan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan, namun jika ada
qarinah, maka amar dapat dipergunakan untuk makna lain. Makna lain dari amar
bila ada qarinah, yaitu untuk:
a.
Nadeb (sunnah: menyuruh tanpa mewajibkan tetapi baik sekali bila
dikerjakan). Seperti firman allah (Q.S an Nur (24): 33)
b.
Irsyad (memberi petunjuk/bimbingan). Seperti firman Allah (Q.S al
Baqarah (2): 282).
c.
Ta’dib (sopan santun). Seperti hadist nabi yang diriwayatkan oleh
Umar bin Abi Salamah. (HR, Imam Bukhori dan Muslim).[38]
d.
Ibahah (boleh dikerjakan dan ditinggalkan). Seperti firman Allah
(Q.S al Baqarah (2): 60).
e.
Tahdid (menghardik, mengancam). Seperti firman Allah (Q.S Fusshilat
(41): 40).
f.
Ikram (memuliakan). Seperti firman Allah (QS. Al Hijr (15): 46).
g.
Taskhir (penghinaan). Seperti firman Allah (QS. Al Baqarah (2):
65).
h.
Ta’jiz (melemahkan). Seperti firman Allah (QS. Al Baqarah (2): 23).
i.
Taswiyah (menyamakan). Seperti firman Allah (QS. Ath Thur (52): 16)
j.
Tafwidl (penyerahan). Seperti firman Allah (QS. Thaha (20): 72).
k.
Takdzib (mendustakan). Seperti firman Allah (QS. Al Baqarah (2): 111).
l.
Talhif (membuat sedih). Seperti firman Allah (QS. Al Imran (3):
119)
m.
Do’a (memohon). Seperti firman Allah (QS. Al Kahfi (18): 10)
n.
Iltimas (sekedar permintaan biasa, seperti permintaan seseorang
pada temannya”datanglah kerumahku”)
o.
Imtinan (menyatakan kenikmatan). Seperti firman Allah (QS. al An’am
(6): 142)
p.
Takwin (menciptakan). Seperti firman Allah (QS. Yasin (36): 82)
q.
Tamanni (berangan-angan). Seperti:
يَالَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ #
يَاصُبْحُ قِفْ لَا تَطْلَعِ
“wahai malam panjanglah, wahai ngantuk enyahlah, wahai subuh
berhentilah janganlah terbit”.[39]
Amar adakalanya datang sesudah larangan, dan dipertanyakan pula
apakah harus dikerjakan berulang-ulang, apakah harus segera dikerjakan, atau
bila ada perintah mengerjakan sesuatu apakah sarana-sarana untuk pelaksanaan
perintah itu juga wajib dilaksanakan?
Para ulama’ Ushul fiqh memberikan beberapa ketentuan akan hal
tersebut, diantaranya:
1.
Perintah sesudah larangan menunjukkan arti ibahah (boleh)
Seperti
firman Allah (Q.S al Jumu’ah (62): !0)
“Maka
bertebarlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah”
Sesudah
firman Allah (Q.S al Jumu’ah (62): 9)
“dan
tinggalkan jual beli”
Pada
ayat pertama ada perintah bertebaran dibumi, padahal sebelumnya ada larangan
jual beli. Dengan demikian perintah tersebut boleh dikerjakan atau ditinggalkan
(ibahah).
2.
Suatu perintah itu tidak menghendaki segera dikerjakan
Seperti
firman Allah (QS. al Hajj (22): 27)
“dan
serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”
Perintah
mengerjakan haji pada ayat tersebut tidak menuntut untuk segera dilakukan.[40]
3.
Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan
Seperti
firman Allah (QS. al Baqarah (2): 196)
“dan
sempurnakanlah olehmu haji dan umrah itu karena Allah”
Pada
ayat diatas hanya menghendaki (mewajibkan) mengerjakan satu kali.
Kalu
perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang maka ada qarinah yang menyertainya
yang menunjuk pada keharusan mengulanginya itu. Sebagaimana contoh di bawah
ini:
a.
Dihubungkan dengan syarat:
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
“dan jika kamu junub maka mandilah”[41]
b.
Dihubungkan dengan illat:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كًلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ.
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.
c.
Dihubungkan dengan sifat atau keadaan
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir”
4.
Memerintah sesuatu berarti memerintah pula seluruh perantaranya
Perantara-perantara
itu berupa:
a.
Syarat seperti bersuci untuk sahnya sholat
b.
Adat kebiasaan, seperti memakai paying bila ingin terhindar dari
panas atau hujan.
B.
Nahyu
Secara bahasa berarti larangan dan mencegah. Adapun dalam istilah
ushul, nahi berarti: “tuntutan untuk meninggalkan perbuatan”. Jumhur ulamak
sepakat bahwa pada asalnya nahi itu mengandung hukum haram karena semua bentuk
larangan akan mendatangkan kerusakan.contohnya larangan merusak alam, larangan
zina, riba, dan sebagainya.jika larangan tersebut di langgar oleh manusia, maka
akan mengakibatkan kerusakan dan kemusnahan bagi kehidupan manusia.
1.
Bentuk-bentuk nahi
Dalam
bahasa arab bentuk-bentuk larangan dapat dirumuskan sebagai berikut[42]:
a.
Fiil nahi yaitu fiil mudorek yang di dahului oleh lam nahi,
contohnya :
وَلَاتَقْربُ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةًوَسَآ سَبِيْلًا.
“dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. al Isra’/17 :32).
b.
Fiil mudorek yang di dahului oleh lam naïf dalam arti nahi
contohnya :
لَا يَمَسُّهُ اِلَّا مُطَهَّرُوْنَ.
“tidak
menyentuhnya kecuali hamba – hamba yang di sucikan. (QS. al waqi’ah/56: 79)
c.
Lafad – lafad yang mengandung arti larangan seperti: دَعْ ، حرَّمَ ، نَهَى ، ذَرْ
2.
Macam – macam arti nahi
a.
Haram (selama tidak ada dalil yang memalingkannya) seperti meminum
khamr, judi, dan membunuh.
b.
Makruh (seperti larangan nabi untuk sholat di kandang unta(
H.R.Ahmad dan Tirmidzi)).
c.
Harapan (do’a, seperti kita berdoa supaya allah tidak menghukum
karena kekhilafan.(Q.S. Al Baqarah/2: 286)).
d.
Petunjuk (misalnya larangan bertanya yang bila di jawab akan
menjadikan beban(Q.S Al Maidah/4 : 101)).
e.
I’tinas (menghibur, contoh larangan bersedih karena allah selalu
bersama kita.
f.
Tamanni (berangan-angan, contoh: seseorang yang berdosa berharap
dapat hidup kembali kedunia. (Q.S as
sajadah/32 :12).
g.
Iltimas (larangan biasa, misalnya seseorang berkata pada temannya:
“jangan berkunjung ke rumahku!”.
h.
Ta’is (keputus asaan, misalnya larangan bagi seseorang meminta
ampun pada hari kiamat).
i.
Taubikh (menegur, misalnya “janganlah engkau melarang orang lain
berbudi pekerti jelek, sedangkan engkau menjalankannya. Kejelekan besar akan
menimpamu jika hal itu engkau lakukan “.[43]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara
langsung oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada
pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus, ada yang
berupa perintah dan ada pula yang berupa larangan. Sasaran hukum dalam
pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan
khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
Berbicara tentang kehujjahan lafadz ‘Aam, dibedakan menjadi dua,
yaitu ketika lafadz ‘am telah ditakhsis, maka akan tetap menjadi hujjah bagi
yang lain. Karena lafadz ‘am tersebut menunjukkan keseluruhan yang termasuk
didalamnya, dengan adanya takhsis tidak berarti lafadz ‘aam tersebut tidak
berlaku lagi bagi yang lain. Sedangkan beramal dengan yang umum sebelum
ditakhsis (diteliti) tidak diperbolehkan, hal ini dilakukan untuk menjauhkan
kita dari taqlid, karena taqlid menurut agama tidak diperbolehkan.
[1] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan
hokum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 170
[7] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan
hokum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 212
[8] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 51
[11] Ibid, hlm. 164
[12] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan
hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 223
[13] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih,
(Pekalongan: Raja Murah, 1982), h. 239
[15] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 62
[16] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan
hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 217
[17] kata yang disebutkan setelah adatul istisna’ (huruf istisna’) untuk
menyelisihi hukum kata sebelum adatul istisna’.
[19] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih,
(Pekalongan: Raja Murah, 1982), h. 221-222
[21] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 64-65
[23] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan
hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 218
[24] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih,
(Pekalongan: Raja Murah, 1982), h. 220
[28] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 68
[33] Ibid, hlm. 171
[34] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 72
[37] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1958), h.
176
[38] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan
hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 239
[41] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 37
[43] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan
hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 245
Tidak ada komentar:
Posting Komentar