Senin, 27 Oktober 2014

Kaidah ushuliyah dan fiqhiyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Memahami isi kandungan nash Al-Qur’an dan Hadist dari sudut teks maupun makna dibutuhkan kunci, metode, dan ilmu khusus, salah satunya dengan mempelajari kaidah-kaidah ushuliyah yang didalamnya mencakup ‘Aam, Khas, Amru, Nahyu, dan lain sebagainya.
Nash Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut bisa  berupa lafadz umum  atau khusus. Lafadz yang umum atau al-‘am, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny).
Al-Qur’an dan Al-Hadis juga ada yang berupa lafadz khusus (khash), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khash ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz tersebut berbentuk perintah (‘amar), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak bolehanya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumtnya maka yang menjadi pokok pembahasan sebagai berikut:
1.      Apa pengertian kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah ?
2.      Apa pengertian ‘aam dan khas ?
3.      Apa saja pembagian ‘am dan khas serta lafadz-lafadznya ?
4.      Bagaimana hukum berhujjah dengan lafadz ‘am ?
5.      Apa pengertian takhsis dan mukhassis ?
6.      Apa sajakah macam-macam takhsis dan mukhassis ?
7.      Apa pengertian amar dan nahyu ?
8.      Bagimana bentuk-bentuk amar dan nahyu ?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan pengertian kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah
2.      Memahami apa itu ‘aam dan khas serta dapat membedakannya
3.      Mengetahui hukum berhujjah dengan lafadz ‘am
4.      Mengetahui takhsis mukhassis dan macam-macamnya
5.      Menjelaskan pengertian amar dan nahyu
6.      Mengetahui bentuk-bentuk amar dan nahyu

















BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian kaidah Ushuliyah dan kaidah Fiqhiyah
A.    Kaidah Ushuliyah
Kaidah Ushuliyah merupakan kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk memahami hukum-hukum mengenai perbuatan manusia, yang ada dalam nash Al-Qur’an dan Hadist yang telah dihasilkan oleh ulama’ ushul fiqh berdasarkan penelitian mereka terhadap ketentuan atas undang-undang bahasa arab.[1]
Menurut Ibnu Taimiyah, kaidah ushuliyah adalah al-adillah al-‘ammah. Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, kaidah-kaidah ushuliyah merupakan kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian dan objeknya, di mana kaidah berfungsi sebagai dzari’ah dalam mengistinbath hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis.[2]
B.     Kaidah Fiqhiyah
Kaidah Fiqhiyah merupakan dasar-dasar yang berkaitan dengan hukumsyara’ yang mencakup bentuk teks perundang-undangan yang ringkas (padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada suatu peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.[3]

2.      ‘Aam dan Khas
A.    ‘Aam
Secara bahasa ‘aam berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Adapun menurut istilah ‘aam sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim ialah:
"العام هو اللفظ المستغرق لجميع ما يصلح له بحسب وضع واحد."
Artinya: “Am adalah lafadz yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan(afrad) yang ada dalam lafadz itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.”[4]
 Lafadz ‘aam merupakan bentuk dari suatu lafadz yang didalam lafadz itu tersimpul semua jenis kata yang sesuai dengan lafaz tersebut. Misalnya lafadz “al insan (manusia)”, dalam lafadz ini termasuk semua manusia didunia, baik manusia itu kecil, besar, merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.
1.      Pembagian ‘Aam
a.       Umum Syumuliy
Suatu lafadz yang digunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi. Seperti:
يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِى خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَّاحِدَةٍ .
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada tuhanmu yang menciptakan kamu dari satu diri” (Q.S An Nisa Ayat 1).
Dalam ayat ini seluruh manusia dituntut untuk bertakwa tanpa terkecuali, jadi lafadz yang seperti ini dinamakan Umum Syumuli.[5]
b.      Umum Badaliy
Suatu lafadz yang digunakan dan dihukumkan serata berlaku untuk sebagian pribadi. Seperti:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّكُوْنَ.
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa” (Q.S. Al Baqarah Ayat 183).
     Dalam ayat ini terdapat kalimat umum, tetapi tidak digunakan untuk seluruh manusia, melainkan hanya untuk yang beriman saja.
2.      Lafadz-lafadz ‘Aam
a.       Kullun, Jami’un, Kaffatun, Ma’syara[6]
Contoh kullun:
قَالَ النَّبِي ص م : كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى مَنْ أَطَا عَنِى دَخَلَ الجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى.
“Tiap-tiap umatku akan masuk kedalam surga kecuali orang yang enggan, siapa yang menta’atiku masuk dia kedalam surga, dan barang siapa yang membangkang kepadaku itulah orang yang enggan” (H.R Bukhory).
Contoh Jami’un:
هُوَالَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الأَرْضِ جَمِيْعًا.
“Dialah(Allah) yang menjadikan kamu dipermukaan bumi ini seluruhnya” (Q.S Al Baqarah Ayat 29).
Contoh Kaffah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ اِلاَّ كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًاوَّنَذِيْرًا.
“Tidak kami utus engkau (Muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan peringatan bagi manusia” (Q.S Saba’ Ayat 28).

Contoh Ma’syara:
يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رَسُلٌ مِّنْكُمْ يَقْضُوْنَ عَلَيْكُمْ أيتِهِ وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاءَيَوْمِكُمْ هذَا.
“Hai sekalian jin dan manusia! Tidakkah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan ayat-Ku kepadamu? Serta menakuti kamu akan pertemuan hari ini” (Q.S al An’am Ayat 12).
Selain ke-4 lafadz diatas, سائر juga termasuk lafadz ‘aam.[7]
Contoh Saairun:
أمسك اربعا وفارق سائرهن.
“Pegangi yang empat dan ceraikan selebihnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
b.      Isim Syarat (Man, Maa, dan Ayyun)[8]
Contoh Man (barang siapa):
مَنْ يَعْمَل سُوْءً يُجْزَبِهِ.
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (Q.S an Nisa’ Ayat 123).
Contoh Maa (apa saja):
وَمَا تُنْفِقُوْامِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ اِلَيْكُمْ
“ Apa-apa yang kamu belanjakan berupa kebaikan, maka bagi dirimu faedahnya” (Q.S al Baqarah Ayat 272).
Contoh Ayyun (yang mana saja):
اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الأَسْمَآءُ الْحُسْنىَ.
“ Sembarang nama  kamu bermohon, maka bagi-Nya nama-nama yang baik” (Q.S al Isra’ Ayat 110).
c.       Isim-isim istifham (Maa, man, Aina, Mata)[9]
Contoh Man(siapa):
مَنْ ذَاالَّذِى يُقْرِضُ الله قَرْضًا حَسَنًا.
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik ?” (Q.S al Baqarah Ayat 245).
Contoh Maa(apa):
مَاسَلَكَكُمْ فِى سَقَرٍ.
“Apa sebab kamu masuk neraka ?” (Q.S al Mudatsir Ayat 42).
Contoh Aina(dimana):
اَيْنَ تَسْكُنْ ؟

Contoh Mata(kapan):
مَتَى نَصْرُاللهِ ؟
d.      Isim maushul[10]
Seperti: الذى، التى، الذين، اللائ،اؤلائ
Contoh:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ.
“dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik”
e.        Isim nakirah dalam susunan nafi (inkar)
Contoh:
لاَيُقَادُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ.
“Orang tua tidak boleh diQisas karena anaknya” (H.R Ibnu Majah dan Ahmad).
f.       Lafadz mufrad dan jama’ yang dima’rifatkan dengan idhafah
Contoh mufrad:
وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ
Contoh jama’:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
g.      Lafadz mufrad dan jama’ yang dima’rifatkan dengan al ta’rif jinsi
Contoh mufrad:
اَلزّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ.
Contoh jama’:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءٍ.
B.     Khas
Secara bahasa khas berarti tertentu.[11] Sedangkan menurut istilah:
الخاص هو لفظ وضع للدلالة على فرد واحد بالشخص مثل محمد اوواحد بالنوع مثل رجل او على افراد متعددة محصورة مثل ثلاثة وعشرة ومائة وقوم ورهط وجمع وفريق وغير ذالك من الالفاظ التي تدل على عدد من الافراد ولا تدل على استغراق جميع الافراد.
“Al-Khas adalah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti: Muhammad, atau satu jenis: seorang laki-laki, atau beberapa person yang terbatas seperti: tiga, sepuluh, seratus, satu kaum, satu masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa person tetapi tidak mencakup semua person. (Abdul Wahab Khallaf, 1972: 1991).[12]
     Kekhususan itu ada kalanya mutlak, muqayyad, perintah, dan larangan.[13] Apabila dalam nash terdapat lafadz yang khas, maka pengertiannya dapat menetapkan hukum secara pasti/ qath’i, selama tidak terdapat dalil yang mentakwilkannya dan menghendaki arti lain.
Contoh Mutlak:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَتَمَاسَّا.
“Maka wajib atasnya memerdekakan budak sebelum kedua suami istri itu bercampur” (Q.S al Mujadalah (56): 3).
Ayat ini memberi pengertian bahwa orang yang mendhihar istrinya kemudian ingin menarik kembali apa yang telah diucapkannya, maka wajib memerdekakan budak, baik mukminah maupun bukan.
Contoh muqayyad:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ.
“maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin” (Q.S al Maidah (5): 89).
Ayat ini menerangkan bahwa orang yang melanggar sumpah dengan sengajaja, maka wajib baginya memberi makan sepuluh oraang miskin. Kata “sepuluh” disini tidak dapat diartikan dengan kurang atau lebih darinya (pas).
Contoh perintah:
وَأَقِيْمُ الصَّلَاةَ وَاتُواالزَّكَاةَ.
“dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat” (Q.S al Baqarah (2): 43).
Ayat ini memberi peringatan bahwa sholat dan zakat itu wajib, selama tidak terdapat dalil yang memalingkan perintah itu dari pengertian wajib.

Contoh larangan:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا.
“dan janganlah kamu mendekati zina” (Q.S al Isra’ (17): 32).
Ayat ini memberi peringatan bahwazina itu haram, selama tidak terdapat dalil yang memalingkan dari keharaman itu.
     Jumhur ulama’ sepakat bahwa ‘am itu dibangun dari khas, oleh karna itu, khas itu lebih kuat dari ‘aam dalam penggunaannya. Maka, penggunaan ‘aam dapat gugur jika ditemukan khas. Adapun khas tidak dapat digugurkan oleh ‘aam.[14]

3.      Takhsis dan Mukhasis
A.    Pengertian Takhsis dan Mukhassis
Menurut ulama’ ushul fiqih Takhsis ialah mengeluarkan sebagian satuan-satuan lafadz ‘aam dari ketentuan lafadz ‘aam, dan lafadz ‘aam tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang lain( yang tidak di takhsis(dikeluarkan)).[15]
Sedangkan mukhassis merupakan dalil yang menjadi dasar adanya pengeluaran tersebut.
Pada ayat 32 surat al A’raf misalnya diterangkan, bahwa semua perhiasan boleh dipakai. Perhiasan itu meliputi cincin mas, pakaian, intan, kalung, dan lain-lain. Masing-masing disebut satuan umum (aam). Cincin emas kemudian dikeluarkan(ditakhsis) dari ketentuan ayat tersebut, sebab cincin emas tidak boleh dipakai oleh laki-laki, inilah yang dinamakan Takhsis. Pengeluaran itu berdasarkan hadis. Karna membatasi keumuman ayat tersebut dengan mengeluarkan cincin mas, maka hadisnya disebut Mukhassis.
B.     Pembagian Mukhassis
1.      Mukhassis Muttashil, yaitu mukhassis yang tidak dapat berdiri sendiri (berhubungan dengan Nash ‘aam atau merupakan bagian daripadanya).[16]
Yang termasuk mukhassis muttashil:
a.       Istitsna’
Mengeluarkan sesuatu daripada lainnya (pengecualian) dalam lafadz dengan memakai adat-adat istisna’
Contoh istisna’ dalam firman Allah:
.....اِلّآَ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَكْتُبًوْهَا......الخ
“.....kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa lagi bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya.....” (Q.S al baqarah (2): 282).
Yang menjadi istisna’ dalam ayat ini adalah jual beli secara tunai, sebab pada awal ayat Allah memerintahkan mencatat jual beli secara hutang.
Ø  Syarat-syarat sahnya istisna’ ada tiga:
1.      Mustatsna[17] dan mustatsna minhu[18] saling berhubungan (ittishol). Seperti, semua orang pergi kemasjid kecuali Ahmad. Ahmad disini dikeluarkan dari keadaan pergi. Tidak boleh mengucapkan “semua orang pergi kemasjid” kemudian berkata setelah sesaat”kecuali Ahmad”. Para ahli bahasa sepakat untuk menolaknya, sebab apabila terputus tidaklah terjadi penyempurna pengecualian. Jika berniat mengecualikan pada mulanya, maka tampakkanlah niatnya sesudah itu, jangan ada jeda.[19]
2.      Mustatsna tidak menghabiskan mustatsna minhunya. Jika menghabiskan, mak istisna’ dianggap tidak sah, karena bermain-main. Contoh: Saya mempunyai uang Rp 1000, kecuali Rp 1000. Istisna’ seperti ini tidak sah.
3.      Mustatsna dan mustatsna minhu tidak memakai huruf ‘atof. Jika kalimat itu memakai huruf ‘atof maka batallah syarat istisna’. Seperti: saya punya uang Rp 500, dan tidak Rp 100. Istisna’ seperti ini tidak sah.
Ø  Istisna’ dari kalimat negative dan positif
الإستثناء من النفى إثبات
Istisna’ dari kalimat negatif menjadi positif. Contoh: “Tidak ada tuhan, kecuali Allah”. Tidak ada tuhan adalah kalimat negatif, maka pengecualiannya menetapkan adanya Tuhan, yaitu Allah (positif).
الإستثناء من اللإثبات نفى
Istisna’ dari kalimat positif menjadi negatif. Contoh: dalam firman Allah surat al ‘Ashr. Mula-mula Allah mempositifkan (menetapkan) bahwa manusia itu keseluruhannya dalam keadaan merugi, kemudian Allah menegatifkan sebagian (yang beruntung) yaitu orang-orang yang beriman dan juga orang-orang yang beramal sholeh, “dengan pengertian orang-orang ini tidak merugi”, bahkan mereka mendapat keuntungan di sisi Allah SWT.[20]
Ø  Istisna’ sesudah jumlah yang bersambung-sambung
Menurut pendapt Imam Syafi’i, Maliki, Ahmad, dan Imam Syaukani, jika ada istisna’ sesudah jumlah yang bersambung-sambung, maka istisna’ itu kembali kepada semua jumlah.
Golongan Hanafiyah mengatakan” bahwa istisna’ itu kembali kepada jumlah yang terakhir.
Contoh:
     Mereka menuduh (berbuat zina) terhadap orang-orang perempuan yang baik, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka 80 kali dan janganlah kamu terima persaksian mereka selamanya dan mereka adalah orang-orang fasiq, kecuali orang-orang yang taubat sesudah itu dan berlaku baik.(an Nur 4-5)
     Pengecualian pada ayat tersebut bisa kembali kepada orang-orang fasiq saja (jumlah terakhir). Bisa juga kembali kepada orang-orang fasiq dan persaksian mereka (seluruh jumlah). Kalau kembali kepada jumlah yang terakhir, maka meskipun sudah taubat dan berlaku baik, orang yang menuduh itu tetap tidak bias menjadi saksi.[21]
b.      Sifat
Kalimat umum dapat juga ditakhsiskan dengan pengertian kalimat yang mengiringinya, seperti: kafarat membunuh, memerdekakan budak yang mukmin.
Sifat adakalanya terletak setelah satu lafadz dan ada pula yang terletak setelah jumlah.
Contoh sifat setelah satu lafadz:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً* وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ....
“dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali karena salah (tidak sengaja), dan barangsiapa yang membunuh orang mukmin karena salah, maka hendaklah ia memerdekakan budak yang mukmin” (Q.S an Nisa’ Ayat 92).
Lafadz“Raqabah” adalah lafadz umum yang meliputi sekaalian budak, dengan adanya lafadz “mukminah” sebagai sifat dari raqabah, maka tidak termasuk didalamnya budak yang tidak beriman.[22]
Contoh sifat setelah jumlah:
“Aku berwakaf kepada anakku dan aku berwakaf kepada temanku yang ‘alim keduanya”. Lafadz anak dan teman adalah umum, sedangkan lafadz ‘alim sebagai sifat keduanya merupakan pengkhususan, maka termasuk didalamnya yang ‘alim saja.
c.       Ghayah
(batas maksimalitas), adakalanya ghayah dengan (ila) dan (hatta). Yang dimaksud ghayah dengan (ila) ialah kesudahan-kesudahan sesuatu sampai (masuk) pada batas yang telah ditentukan (batas akhir).
Contoh ghayah dengan ila:
اِذَاكُنْتُمْ اِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ.
“Bila kamu akan melaksanakan sembahyang, maka basuhlah muka kamu dan tanganmu sampai kedua mata siku” (Q.S al Maidah Ayat 6).
Dalam ayat diatas bahwa mata siku merupakan batas akhir yang harus dibasuh juga.[23]
     Contoh ghayah hatta:
وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ.
“jangan kamu dekati perempuan-perempuan yang dalam keadaan haidl, hingga ia suci” (Q.S al Baqarah Ayat 222).
Kata hingga pada ayat tersebut mentakhsis kalimat umum sebelumnya, memberikan pengertian bahwa semua perbuatan (mendekati) dilarang, maka dengan kalimat ghayah (hatta) tidak berlaku lagi hukum yang umum.

d.      Badal ba’du min kull
(pengganti dari sebagian).[24] Dari ke empat nacam badal (ilmu nahwu) hanya badal ba’du min kull yang bisa mentakhsis.
Contoh:
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ السْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا.
“Allah mewajibkan atas manusia mengerjakan haji, yaitu orang-orang yang kuasa berjalan kepadanya” (Q.s al Imron Ayat 96).
Kalimat umum adalah Annas (kull: keseluruhan manusia), artinya siapapun juga terkena kewajiban haji. Manistatha’a adalah bagian (ba’du) dari keseluruhan manusia, dan menggantikan lafadz annas (kull). Dengan adanya penggantian ini, maka tidak setian orang wajib haji, tapi hanya bagi yang kuasa saja.
e.       Hall
Lafadz yang menunjukkan suatu keadan tertentu. Seperti:
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوْا مَأ تَقٌوْلُوْنَ.
“Jangan kamu kerjakan sembahyang, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu ketahui apa yang kamu ucapkan” (Q.S an Nisa’ Ayat 43).
Kalimat larangan mengerjakan sembayang adalah bentuk kalimat umum dengan pengertian bahwa manusia dilaraang sembahyang, kemudian ditakhsis dengan kalimat sesudahnya yang berupa hal “sukara”, sehingga menjadi takhsis.[25]
f.       Zharaf
(keterangan waktu dan tempat). Contoh: tentang masa mengeluarkan zakat fitrah. Jika dikeluarkan sebelum sholat ied maka diterima. Namun jika dikeluarkan sesudahnya, maka dianggap sedekah biasa. Berdasarkan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.[26]
g.      Syarat
Syarat dibagi menjadi dua, yaitu syarat tunggal dan syarat berbilang.
Contoh syarat tunggal: “Bila telah bekerja, kamu dapat bebas”.
Contoh syarat berbilang: “Bila kamu telah belajar dan lulus ujian, maka kamu akan mendapat hadiah”.
Dalam contoh yang dicetak tebal adalah syarat, sedangkan yang tercetak biasa adalah masyrut.[27]
2.      Mukhassis Munfashil, yaitu mukhassis yang dapat berdiri sendiri (terlepas dari nash ‘aam dan terpisah daripadanya).
Yang termasuk mukhassis munfashil:
a.       Akal
Firman Allah (Q.S ali Imran (3): 97)
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ.
“Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
Akal dapat mentakhsis keumuman “anNas”, yaitu bagi anak kecil dan orang gila tidak wajib mengerjakanhaji karena bukan orang mukallaf.
b.      ‘Urf
(adat kebiasaan). Contoh:
أَيُّمَا اِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ.
“Tiap-tiap kulit yang disamak menjadi suci” (H.R Muslim)
Hadist tersebut tidak meliputi kulit anjing, Karena menurut adat kebiasaan, kulit anjing tidak disamak atau dipakai.[28]

c.       Nash (qur’an, hadist, ijma’, qiyas)
Perinciannya adalah:
·         Al-Qur’an ditakhsis dengan Al-Qur’an
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّسْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوْءٍ..........
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru” (Q.S al Baqarah (2): 228).
Ayat ini berlaku untuk semua ‘iddah, baik ‘iddah wafat maupun ‘iddah hamil dan lain-lain. Kemudian ayat ini ditakhsis dengan ‘iddah hamil yaitu sampai lahir anaknya:
وَأُلَاتُ الأَحْمَالِ اَجَلَهُنَّ اَن ْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ.
“Perempuan yang mengandung, ‘iddah mereka sampai lahir anak yang dikandungnya” (Q.S at Thalaq Ayat 4).[29]
·         Al-Qur’an ditakhsis dengan Hadist
Hadist rasul dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Para ulama’ sepakat, bahwa hadist mutawatir bias mentajhsis Qur’an, sebab hadist mutawatir adalah dalil yang qath’i pula.
Terhadap hadist ahad para ulama’ ushul fiqh berbeda pendapat. Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa hadist ahad tidak dapat mentakhsis Qur’an, sedangkan jumhur ulama’ mengatakan dapat.[30]
Alasan golongan Hanafiyah adalah karena hadist ahad hanya bersifat dhanni (dugaan). Sedangkan jumhur ulama’ membolehkan dengan alasan para sahabat nabi mentakhsis keumuman ayat-ayat Qur’an dengan hadist, sebagaimana contoh di bawah ini:
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِىْ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرٍ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ.
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu. Bagi anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan” Q.S an Nisa’ (4): 11).
Kemudian ayat tersebut ditakhsis dengan hadist:
لَا يَرِثُ القَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْأً.
“Orang yang membunuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang yang terbunuh” (H.Ran Nasa’i)
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ.
“Orang islam tidak berhak mendapatkan warisan dari orang kafir begitu sebaliknya orang kafir tidak berhak mendapatkan warisan dari umat islam” (H.R Jamaah).
Dua hadist diatas mentakhsis ayat 11 surat an Nisa’ yang menghasilkan natijah hukum bahwa anak laki-laki dan perempuan berhak mendapat warisan dari ayahnya. Namun jika kematian ayahnya disebabkan si anak, maka  dia tidak berhak mendapat waris. Begitu juga dengan yang kafir tidak berhak mendaoat waris dari ayahnya yang muslim atau sebaliknya.[31]
·         Hadist ditakhsis dengan Al-Qur’an
Seperti mentakhsis wudlu dengan tayammum untuk sembahyang.
Contoh sabda Nabi SAW:
لَايَقْبَلُ اللهُ صَلَأةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّعُ.
“Allah tidak menerima sembahyang seseorang apabila dia berhadas hingga dia berwudlu terlebih dahulu” (HR. Bukhori dan Muslim).
Ditakhsis hadist ini dengan firman Allah:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضَى اَوْ عَلَى سَفَرٍ اَوْجَآءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَائِطِ اَوْلَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا.
“Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu bercampur dengan istrimu, kemudian tidak kamu dapati air (untuk bersuci), maka bertayamumlah dengan tanah yang suci” (Q.S an Nisa’: 43).
Menurut hadist tersebut, dalam keadaan bagaimanapun juga harus berwudlu’ (bersuci dengan air). Kemudian ayat 43 an Nisa’ membolehkan dalam keadaan tidak mendapat air, boleh bertayamum sebagai ganti dari berwudlu’.
·         Hadist ditakhsis dengan Hadist
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَآءُ الْعُشُرُ.
“Dalam tanaman yang disiram air hujan zakatnya sepersepuluh (10%)” (HR. Bukhori dan Muslim).
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ اَوْ سُقِ صَدَقَةٌ.
“Tidak ada shadaqah(zakat) dalam tanaman yang kurang dari 5 usuq” (HR. Bukhori dan Muslim).
Menurut hadist pertama umum untuk semua tanaman dikenakan zakat, baik banyak atau sedikit. Hadist kedua membatasinya, yakni hanya terhadap 5 usuq[32] keatas saja.
·         Takhsis dengan Qiyas
Contoh:
الزَّا نِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهًمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”(Q.S an Nur (24):2).
                         Budak perempuan (amah) dikeluarkan dari ketentuan ayat ini. Terhadap amah hanya dikenakan dera separuhnya, yaitu 50 dera. Berdasarkan ayat:
فَإِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمثحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ.
“..Apabila mereka budak perempuan melakukan kejahatan (berzina), maka atasnya seperdua siksa perempuan yang merdeka” (Q.S an Nur (24): 25).
                         Budak laki-laki hukumnya diqiyaskan dengan budak perempuan , yaitu 50 dera. Jadi mentakhsiskan ayat an Nur tentang budak laki-laki, bukan dengan suatu ayat atau hadist, tapi dengan mengqiyaskannya pada budak perempuan yang telah ada ketentuannya dalam ayat 25 surat an Nur.[33]
·         Takhsis dengan Ijma’
Takhsis dengan ijma’ itu disepakati bolehnya. Artinya, dengan perantara ijma’ dapat diketahui bahwa yang dikehendaki lafadz ‘aam ialah sebagian dari apa yang termasuk dalam lafadz ‘am tersebut. Contoh:
اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرثوالبَيْعَ.
“..Jika dipanggil untuk sholat pada hari jum’at, maka pergilah untuk mengingat Allah dan tinggalkan jual beli” (Q.S al Jum’ah 9).
Menurut ayat tersebut siapapun terkena kewajiban sholat jum’at, tetapi para ulama’ telah sepakat (ijma’) bahwa orang perempuan, anak kecil dan budak tidak diwajibkan.[34]

4.      Berhujjah dengan lafadz ‘Aam
A.    Kehujjahan dalil ‘Aam setelah di Takhsis
Dalil ‘aam sesudah ditakhsis masih berlaku bagi satuan-satuan lain. Lafadz ‘aam tersebut menunjukkan keseluruhan satuan-satuan yang termasuk didalamnya. Dikeluarkannya satuan-satuan ‘aam berhubung ada mukhassis, tidak berarti bahwa lafadz ‘aam tersebut sudah tidak berlaku lagi bagi satuan-satuan lain.

B.     Kehujjahan dalil ‘Aam sebelum di Takhsis
“Tidak boleh beramal dengan dalil ‘Aam sebelum di Takhsis”
Untuk beramal dalam suatu perbuatan yang umum tidak diperbolehkan sebelum diselidiki secara berijtihad, menyelidiki kepada kitab dan sunnah. Hal ini dilakukan agar menjauhkan diri kita dari taqlid, karena taqlid[35] menurut agama tidak diperbolehkan (dicela).

5.      Amar dan Nahyu
A.    Amar
Secara bahasa amar berarti perintah. Adapun menurut istilah amar berarti:
طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
“Menuntut pekerjaan untuk dilakukan dari orang yang derajatnya lebih tinggi kepada orang yang derajatnya lebih rendah”.[36]
Atau:
هو طلب الفعل على جهة الإستعلاء
“Amar adalah permintaan untuk melakukan suatu pekerjaan dari pihak yang berkuasa”.[37]
1.      Bentuk-bentuk amar
a.       Fi’il amr ( إقرأ ،  ( تهجّد
b.      Fi’il mudlori’ yang didahului lam amr ( ليقرأ ،لينفق )
c.       Isim fi’il amr ( عليكم )
d.      Masdar pengganti fi’il ( إحسانا )
e.       Lafadz-lafadz yang mengandung arti perintah ( كتب ، وجب )
Pengertian yang dapat ditangkap dari lafadz amar adalah “ijab” tuntunan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan, namun jika ada qarinah, maka amar dapat dipergunakan untuk makna lain. Makna lain dari amar bila ada qarinah, yaitu untuk:
a.       Nadeb (sunnah: menyuruh tanpa mewajibkan tetapi baik sekali bila dikerjakan). Seperti firman allah (Q.S an Nur (24): 33)
b.      Irsyad (memberi petunjuk/bimbingan). Seperti firman Allah (Q.S al Baqarah (2): 282).
c.       Ta’dib (sopan santun). Seperti hadist nabi yang diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah. (HR, Imam Bukhori dan Muslim).[38]
d.      Ibahah (boleh dikerjakan dan ditinggalkan). Seperti firman Allah (Q.S al Baqarah (2): 60).
e.       Tahdid (menghardik, mengancam). Seperti firman Allah (Q.S Fusshilat (41): 40).
f.       Ikram (memuliakan). Seperti firman Allah (QS. Al Hijr (15): 46).
g.      Taskhir (penghinaan). Seperti firman Allah (QS. Al Baqarah (2): 65).
h.      Ta’jiz (melemahkan). Seperti firman Allah (QS. Al Baqarah (2): 23).
i.        Taswiyah (menyamakan). Seperti firman Allah (QS. Ath Thur (52): 16)
j.        Tafwidl (penyerahan). Seperti firman Allah (QS. Thaha (20): 72).
k.      Takdzib (mendustakan). Seperti firman Allah (QS. Al Baqarah (2): 111).
l.        Talhif (membuat sedih). Seperti firman Allah (QS. Al Imran (3): 119)
m.    Do’a (memohon). Seperti firman Allah (QS. Al Kahfi (18): 10)
n.      Iltimas (sekedar permintaan biasa, seperti permintaan seseorang pada temannya”datanglah kerumahku”)
o.      Imtinan (menyatakan kenikmatan). Seperti firman Allah (QS. al An’am (6): 142)
p.      Takwin (menciptakan). Seperti firman Allah (QS. Yasin (36): 82)
q.      Tamanni (berangan-angan). Seperti:
يَالَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ      #      يَاصُبْحُ قِفْ لَا تَطْلَعِ
“wahai malam panjanglah, wahai ngantuk enyahlah, wahai subuh berhentilah janganlah terbit”.[39]
Amar adakalanya datang sesudah larangan, dan dipertanyakan pula apakah harus dikerjakan berulang-ulang, apakah harus segera dikerjakan, atau bila ada perintah mengerjakan sesuatu apakah sarana-sarana untuk pelaksanaan perintah itu juga wajib dilaksanakan?
Para ulama’ Ushul fiqh memberikan beberapa ketentuan akan hal tersebut, diantaranya:
1.      Perintah sesudah larangan menunjukkan arti ibahah (boleh)
Seperti firman Allah (Q.S al Jumu’ah (62): !0)
“Maka bertebarlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah”
Sesudah firman Allah (Q.S al Jumu’ah (62): 9)
“dan tinggalkan jual beli”
Pada ayat pertama ada perintah bertebaran dibumi, padahal sebelumnya ada larangan jual beli. Dengan demikian perintah tersebut boleh dikerjakan atau ditinggalkan (ibahah).
2.      Suatu perintah itu tidak menghendaki segera dikerjakan
Seperti firman Allah (QS. al Hajj (22): 27)
“dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”
Perintah mengerjakan haji pada ayat tersebut tidak menuntut untuk segera dilakukan.[40]


3.      Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan
Seperti firman Allah (QS. al Baqarah (2): 196)
“dan sempurnakanlah olehmu haji dan umrah itu karena Allah”
Pada ayat diatas hanya menghendaki (mewajibkan) mengerjakan satu kali.
Kalu perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang maka ada qarinah yang menyertainya yang menunjuk pada keharusan mengulanginya itu. Sebagaimana contoh di bawah ini:
a.       Dihubungkan dengan syarat:
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا
“dan jika kamu junub maka mandilah”[41]
b.      Dihubungkan dengan illat:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كًلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ.
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.
c.       Dihubungkan dengan sifat atau keadaan
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir”
4.      Memerintah sesuatu berarti memerintah pula seluruh perantaranya
Perantara-perantara itu berupa:
a.       Syarat seperti bersuci untuk sahnya sholat
b.      Adat kebiasaan, seperti memakai paying bila ingin terhindar dari panas atau hujan.
B.     Nahyu
Secara bahasa berarti larangan dan mencegah. Adapun dalam istilah ushul, nahi berarti: “tuntutan untuk meninggalkan perbuatan”. Jumhur ulamak sepakat bahwa pada asalnya nahi itu mengandung hukum haram karena semua bentuk larangan akan mendatangkan kerusakan.contohnya larangan merusak alam, larangan zina, riba, dan sebagainya.jika larangan tersebut di langgar oleh manusia, maka akan mengakibatkan kerusakan dan kemusnahan bagi kehidupan manusia.
1.      Bentuk-bentuk nahi
Dalam bahasa arab bentuk-bentuk larangan dapat dirumuskan sebagai berikut[42]:
a.       Fiil nahi yaitu fiil mudorek yang di dahului oleh lam nahi, contohnya :
وَلَاتَقْربُ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةًوَسَآ سَبِيْلًا.
“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. al Isra’/17 :32).
b.      Fiil mudorek yang di dahului oleh lam naïf dalam arti nahi contohnya :
لَا يَمَسُّهُ اِلَّا مُطَهَّرُوْنَ.
“tidak menyentuhnya kecuali hamba – hamba yang di sucikan. (QS. al waqi’ah/56: 79)
c.       Lafad – lafad yang mengandung arti larangan  seperti: دَعْ ، حرَّمَ ، نَهَى ، ذَرْ
2.      Macam – macam arti nahi
a.       Haram (selama tidak ada dalil yang memalingkannya) seperti meminum khamr, judi, dan membunuh.
b.      Makruh (seperti larangan nabi untuk sholat di kandang unta( H.R.Ahmad dan Tirmidzi)).
c.       Harapan (do’a, seperti kita berdoa supaya allah tidak menghukum karena kekhilafan.(Q.S. Al Baqarah/2: 286)).
d.      Petunjuk (misalnya larangan bertanya yang bila di jawab akan menjadikan beban(Q.S Al Maidah/4 : 101)).
e.       I’tinas (menghibur, contoh larangan bersedih karena allah selalu bersama kita.
f.       Tamanni (berangan-angan, contoh: seseorang yang berdosa berharap dapat hidup kembali kedunia. (Q.S  as sajadah/32 :12).
g.      Iltimas (larangan biasa, misalnya seseorang berkata pada temannya: “jangan berkunjung ke rumahku!”.
h.      Ta’is (keputus asaan, misalnya larangan bagi seseorang meminta ampun pada hari kiamat).
i.        Taubikh (menegur, misalnya “janganlah engkau melarang orang lain berbudi pekerti jelek, sedangkan engkau menjalankannya. Kejelekan besar akan menimpamu jika hal itu engkau lakukan “.[43]












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus, ada yang berupa perintah dan ada pula yang berupa larangan. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
Berbicara tentang kehujjahan lafadz ‘Aam, dibedakan menjadi dua, yaitu ketika lafadz ‘am telah ditakhsis, maka akan tetap menjadi hujjah bagi yang lain. Karena lafadz ‘am tersebut menunjukkan keseluruhan yang termasuk didalamnya, dengan adanya takhsis tidak berarti lafadz ‘aam tersebut tidak berlaku lagi bagi yang lain. Sedangkan beramal dengan yang umum sebelum ditakhsis (diteliti) tidak diperbolehkan, hal ini dilakukan untuk menjauhkan kita dari taqlid, karena taqlid menurut agama tidak diperbolehkan.












[1] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hokum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 170
[2] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Press, cet.2, 2006), h. 206-207
[3] Proyek pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, 1986, h. 181
[4] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 160
[5] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 184
[6]Ibid, hlm. 185-186
[7] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hokum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 212
[8] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 51
[9] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 187
[10] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 161
[11] Ibid, hlm. 164
[12] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 223
[13] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1982), h. 239
[14] Abdullah Hamid, Al- Bayan, (Jakarta: Sa’adliyah Putra, 1983), h. 71
[15] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 62
[16] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 217
[17] kata yang disebutkan setelah adatul istisna’ (huruf istisna’) untuk menyelisihi hukum kata sebelum adatul istisna’.
[18] Kata yang terletak setelah huruf istisna’.
[19] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1982), h. 221-222
[20] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 198
[21] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 64-65
[22] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 166
[23] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 218
[24] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah, 1982), h. 220
[25] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 204
[26] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 167-168
[27] Adanya tergantung pada syarat (balasan dari syarat)
[28] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 68
[29] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 205
[30] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 70-71
[31] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 168-169
[32] Satu wasaq       =  60 sha’
 Satu wasaq       =  200 kg
 Lima wasaq      = 1000 kg
[33] Ibid, hlm. 171
[34] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 72
[35] Mengikuti dan menerima perkataan orang lain dengan tidak mempunyai alasan
[36] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana perguruan Tinggi Agama, 1986, hlm. 25
[37] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1958), h. 176
[38] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 239
[39] Ibid, hlm. 239
[40] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 175
[41] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 37
[42] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h.173-174
[43] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam, (Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 245

Tidak ada komentar:

Posting Komentar