Senin, 27 Oktober 2014

hadits dan sunnah

BAB I
A.    Latar belakang

Fiqh adalah suatu undang-undang atau peraturan kehidupan dalam islam. Dalam sebelum pembuatan undang-undang tersebut pastinya ada sebuah ilmu yang digunakan untuk acuan dan ilmu itu adalah Ushul fiqh. Untuk menentukan dan membuat hukum islam, Ushul fiqh harus mempunyai referensi hukum yang benar-benar akurat dan terpercaya. Dalam hal ini, Ushul fiqh mengacu pada dalil Al qur’an, Hadits, Ijma’ dan sumber hukum lainnya. Al qur’an adalah dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum utama sedangkan Hadits sebagai sumber hukum kedua. Meskipun Hadist menjadi acuan kedua dalam pembuatan hukum Fiqh. Namun pada kenyataannya Hadits cukup banyak memberikan acuan dan peran yang sangat luar biasa terhadap penetapan hukum dalam islam. Hal itu terjadi karena Al qur’an yang menjadi sumber utama, dalam dalilnya terkadang sulit dipahami atau terlalu kurang merinci dan dengan melalui bantuan dari Hadist, dijelaskan dan diperinci tentang hukum apa yang kurang dimengerti dalam dalil Al qur’an.

B.     Rumusan masalah

1.      Apa pengertian dari Hadits dan Sunnah ?
2.      Bagaimana kedudukan dan kehujjahan As sunnah ?
3.      Apa sajakah pembagian As sunnah berdasarkan sanadnya ?
4.      Bagaimana kedudukan Sunnah terhadap Al qur’an ?
5.      Bagaimana qoth’i dan dhonninya suatu dalil dari As sunnah ?

C.     Tujuan

1.      Mengetahui pengertian Hadits dan Sunnah.
2.      Mengetahui tentang kedudukan dan kehujjahan As sunnah.
3.      Mengetahui pembagian As sunnah menurut sanadnya.
4.      Mengetahui kedudukan As sunnah terhadap Al qur’an.
5.      Mengetahui qoth’i dan dhonninya suatu dalil dari As sunnah.


BAB II
A.    Pengertian Hadist dan Sunnah
1.      Pengertian Hadits
Kata “hadits” menurut bahasa berarti “jadid” yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari kata “qodim” yang artinya sesuatu yang lama. Kata hadits juga sama dengan “khobar” yang artinya berita yang bermakna sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.[1]
Ulama ahli hadits mendefinisikan Hadits sebagai :

اقوال النبي صلى الله عليه و سلم و افعاله و احواله
“ Segala perkataan Nabi SAW dan perbuatannya dan juga keadaannya”
Ulama ahli ushul hadits juga mendefinisikan hadits sebagai :

اقواله النبي صلى الله عليه و سلم و افعاله و تقاريره مما يتعلق به حكم بنا
“ segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW yang bersangkutan dengan hukum”
Sedangkan ulama Ushul fiqh mendefinisikan Hadits sebagai :

اقواله التى تثبت الأحكام
“ Segala perkataan Nabi SAW yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syariat”

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits ialah segala perbuatan, perbuatan, keadaan dan juga ketetapan Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum.

2.      Pengertian Sunnah
Menurut bahasa (lughoh) Sunnah bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji ataupun tidak. Suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamakan Sunnah walaupun tidak baik. Sunnah juga berarti praktik yang diikuti, arah, model, perilaku atau tindakan, ketentuan dan peraturan.[2]
Penggunaan kata Sunnah dalam pengertian yang disebut terakhir ini terlihat dalam sabda Nabi SAW . “ siapa yang membuat sunnah baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah buruk maka baginya dosa serta dosa orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
Dalam Al qur’an, As sunnah disebut dalam 16 surat. Sebagai contoh dalam surat Ali Imran (3) ayat 137 :

قد خلت من قبلكم سنن فسيروا في الأرض فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين
“ sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan”

Sedangkan secara terminologi, kata sunnah sering diartikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Baik yang berupa qauliyah, fi’liyah, maupun taqririyah.[3]

B.     Kedudukan dan Kehujjahan As sunnah
1.      Kedudukan dan Kehujjahan As sunnah
Seluruh umat islam, telah sepakat bahwa As sunnah merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al Qur’an. Keharusan mengikuti As sunnah bagi umat islam sama halnya dengan mengikuti Al qur’an. Hal ini karena sunnah merupakan mubayyin terhadap Al qur’an, karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai sunnah. Begitu pula dalam menggunakan sunnah tanpa Al qur’an. Karena Al qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat. Dengan demikian antara sunnah dan Al qur’an sangat berkaitan erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisah.[4]
Ada beberapa ayat dalam Al qur’an yang menunjukkan kehujahan sunnah, antara lain sebagai berikut :
 Surat Al imran ayat 31 :

قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفرلكم ذنوبكم والله غفور رحيم
“ katakanlah : jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”
Surat Al ahzab ayat 21 :

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الأخر و ذكر الله كثيرا
“ sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”
Surat Al hasyr ayat 7 :

وما آ تاكم الرسول فخدوه وما نهاكم عنه فنتهوا وتقوا الله ان الله شديد العقاب
“ Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-NYA”

C.     Pembagian Sunnah menurut Sanadnya
1.      Pembagian ditinjau dari segi Persambungan Sanad
a.       Hadits muttashil : yaitu hadits yang bersambung-sambung sanadnya. Persambungan sanad itu dinamai ittishal.[5]
b.      Hadits muallaq : yaitu hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik semuanya, pada awal sanad, yaitu guru dari imam hadits.
c.       Hadits munqathi’ : yaitu hadits yang gugur seorang maupun dua orang dengan tidak berturut-turut di pertengahan sanad.
d.      Hadits mursal : yaitu hadits yang gugur pada perowi terakhirnya.
e.       Hadits mu’dhal : yaitu hadits yang gugur dua orang perowinya berturut-turut di pertengahan sanad.
2.      Pembagian ditinjau dari segi Kuantitas Sanad
a.       Hadits mutawatir : yaitu hadits yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat dipahamkan bahwa mereka telah sepakat berdusta. Keadaan itu terus-menerus hingga pada akhirnya.
Syarat hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1)      Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perowi.
2)      Menurut adat kebiasaan tidak mungkin sepakat berdusta.
3)      Periwayatan yang dilakukan harus berdasarkan panca indera.
Dalam ini, hadits mutawatir dibagi menjadi 3, yaitu :
1)      Mutawatir lafdzi
Hadits mutawatir lafdzi adalah suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafadz dengan aslinya menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya. Contoh : “Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.” (HR. Bukhari).
2)      Mutawatir maknawi
Yaitu hadits yang secara lafad berbeda antara satu riwayat dengan riwayat lainnya tetapi maknanya sama. Contoh: “Rasulullah SAW. Tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a-do’anya selain dalam do’ashalatistiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim).
3)      Mutawatir amali
Yaitu amalan agama yang dikerjakan Rosulullah, kemudian diikuti para sahabat lalu para tabi’in dan seterusnya sampai pada generasi sekarang. Contoh :
Yaitu tentang jumlah rekaat shalat fardlu. Walaupun periwayatan verbalnya tidak mencapai mutawatir tetapi secara amali telah menjadi ijma’ al ummah.
b.      Hadits ahad : yaitu suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.
Dalam ini, hadits ahad dibagi menjadi 3, yaitu :
1)      Hadits masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang di riwayatkan tiga rawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir.
Contoh:
“Rasulullah SAW, bersabda :”seorang muslim adalah kaum muslimin yang tidak terganggu oleh lidah dan tanganya.” (HR. Bukhari Muslim, dan Tirmidzi).
2)      Hadits aziz
Hadits aziz yaitu hadits yang di riwayatkan dengan dua jalur perawi.
Contoh :
“Rasulullah SAW. bersabda, “kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (HR. Hudzaifah dan Abu Hurairah).
3)      Hadits gharib
Hadits gharib yaitu hadits yang di riwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian).
Contoh:
“dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari).
3.      Pembagian ditinjau dari segi Kualitas Sanad
a.       Hadits shohih
Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dabit dari rawi lain yang (juga) adil dan dabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[6]
Contoh:
“Telah meriwayatkan kepada kami Qutaibahin Said, ia berkata telah meriwayatkan kepada kami Jarir dari Umarah bin Qaqa dari Abu Zurah dari Abu Hurairah, ia berkata, “datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. lalu berkata, “Ya Rasulullah, siapakah yang berhak mendapat perlakuan yang baik?’ Rasulullah menjawab, ‘ibumu.’ Orang itu bertanya lagi, ‘kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘ibumu.’ Orang itu kembali bertanya, ‘kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘ibumu.’ Orang itu bertanya lagi, ‘kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘bapakmu.” (HR. Bukhari-Muslim).

Hadits shohih itu mengandung unsur sebagai berikut :
1)      Sanadnya bersambung dari awal sampai akhir.
2)      Perowi memiliki sifat adil dan dhobit.
3)      Informasi haditsnya tidak Syadz.
4)      Hadits yang diriwayatkan tidak cacat.
b.      Hadits hasan
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang adil dan dabit, tetapi nilai kedhabitannya kurang sempurna, serta selamat dari unsur syududh dan illat[7].
Contoh:
“keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah juga bergantung kepada kemurkaan orang tua.”
Sebenarnya hadits hasan itu sama dengan hadits shahih. Bedanya kalau di dalam hadits shahih semua periwayat harus sempurna kedhabitannya, maka dalam hadits hasan, ada perawi yang kedhabitan, kecermatan, atau hafalannya kurang sempurna. Misalnya di deretan sanad sebuah hadits terdapat perawi yang di dalam periwayat hidupnya didapatkan informasi bahwa ia “lumayan” atau “ tidak mengapa”, atau “bolehlah” atau ungkapan lain yang menggambarkan bahwa kecermatan dan kekuatan hafalannya pas-pasan. Yang penting, periwayat tidak boleh berbohong. Istilah hadits hasan dipopulerkan oleh imam al- turmudzi. Alasannya hadits semacam ini tidak pantas disebut dhaif, tetapi kurang tepat disebut shahih, mengingat semua persyaratan shahih hampir di penuhi. Hanya, disana ada yang kurang ada dhabit periwayatnya. Menurut para ulama,hadits hasan dapat naik derajatnya menjadi shahih karena ada hadits lain yang isinya sama diriwayatkan melalui jalur lain yang kualitasnya tidak lebih rendah. Dengan kata lain, hadits hasan ini terangkat menjadi shahih karena jalur lain, didalam ilmu musthalah hadits disebut “shahih lighairih”. Dengan demikian hadits shahih itu terbagi menjadi 2 macam, shahih lidzatihi (kesahihannya muncul dari dirinya sendiri), dan shahih lighairih. Dengan demikian pula, hadits hasan yang sendirian tanpa dikaitkan dengan jalur lain, disebut hasan lidzatih.


c.       Hadits dhoif
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan di atas, misalnya sanad yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain. Seperti halnya hadits hasan itu dapat naik tingkatnya menjadi shahih lighairih, ada hadits dha’if tertentu dapat naik tingkatan menjadi hasan lighairih, yaitu hadits yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak terkenal di kalangan ulama hadits. Orang tersebut tidak dikenal banyak salah, tidak pula dikenal dusta. Kemudian, hadits ini di kuatkan oleh hadits yang sama melalui jalur lain[8].
Contoh:
“barang siapa mendatangi para wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.”
D.    Kedudukan Sunnah terhadap Al Qur’an
Nabi Muhammad sebagai seorang rasul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah[9]. Banyak sekali masalah yang sulit ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Dengan demikian, maka hadits Nabi Muhammad SAW berkedudukan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman-Nya : “Apa yang diperintahkan rasul, maka laksanakanlahdan apa yang dilarang Rasul, maka hentikanlah. (QS. al-Hasry : 7).[10]
Umumnya, fungsi hadits adalah guna menjelaskan kandungan al-Qur’an yang sangat dalam dan global. Sebagaimana firman Allah : “...Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl: 44).
Namun penjelasan itu, kemudian oleh para ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Yaitu sebagai berikut [11]:
1.      Bayan taqrir, yaitu memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan al-Qur’an. Misalnya dalam surat berikut ini : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan... (QS. al-Baqarah [2]: 185). Kemudian rasulullah dalam haditsnya memberikan penegasan: ”Berpuasalah kamu sekalian sesudah melihanya bulan dan berbukalah kamu sekalian sesudah melihatnya.
2.      Bayan tafsir, yaitu memberikan penafsiran ayat-ayat yang bersifat mujmal atau mutlak. Misalnya : diharamkan atas kamu memakan bangkai darah daging babi. Kemudian Rasulullah mentakhsiskan kemutlakannya beserta menjelaskan hal lainnya. “dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang sedangkan dua macam darah itu adalah hati dan limpa. (HR. Ibn Majah).
3.      Bayan tasyri’, yaitu menetapkan hukum aturan yang tidak diterangkan di dalam al-Qur’an. Misalnya tentang penikahan antara laki-laki dengan perempuan sepersusuan. Hal ini hanya dijelaskan di hadits. Sesungguhnya Allah mengharamkan pernikahan sepersusuan, sebagaimana Allah mengharamkan pernikahan karena senasab. (HR. Muslim)[12]
E.     Qoth’i dan Dhanniya Dalil dari As sunnah


















[1] Tim penyusun MKD UINSA, Study Hadits 2013, hal. 1
[2] Musahadi Ham, Evaluasi Konsep Sunnah (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2000), hal. 20
[3] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukukm Islam, Cet. VI (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 47
[4] Tim Penyusun MKD UINSA, Study Hadits 2013, hal. 48
[5] Teungku Muhammad Hasbi as Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Ed. 3 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 169
[6] Muhammad Ahmad, Ulumul Hadits, hal. 101
[7] Ahmad umar hashim,qowaid usul al-hadits (t.t : Dar al-fikr, hal.74)
[8] Muhyiddin ibn sharaf al-nawawi, al-taqrib wa al-tasyir (beirut : Dar al-kutub Al-arabi,1985 hal.31)
[9] Yusuf Qardhawi (1993), Bagaimana Memahami Hadits Rasulullah SAW, Bandung : Kharisma, hlm. 17
[10] Muhammad Ahmad dan Mudzakir, (2000), Ulumul Hadits, Bandung : Pustaka Setia, cet. 10, hlm. 18-19
[11] Abdul Majid Khon, (2011), Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah, cet.5, hlm 16
[12] Hady Muf’at Ahmad, (1994), Dirasah Islamiah, Semarang: CV Sarana Al-Qur’an, hlm. 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar