BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Disiplin Ilmu Ushul Fiqh ini merupakan Ilmu yang mempelajari
tentang ketentuan-ketentuan utama dalam metode istinbat
hukum Islam (ushul fiqh). Tapi dalam makalah ini akan dibahas lebih khusus lagi
tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Ushul Fiqh beserta
aliran-aliran dan kitab-kitabnya.
Tuntutan untuk mempelajari Ilmu Ushul Fiqh ini masuk dalam kategori penting. Karena
Ilmu ini akan membantu dalam penentuan hukum-hukum Islam
yang relevan dengan problematika zaman yang dinamis. Juga akan membantu untuk
mengetahui lebih detail tentang bagaimana awal munculnya Ilmu Ushul pada zaman
Nabi Muhammad saw sampai seterusnya.
Maka, akan
dijelaskan lebih lanjut beberapa uraian yang berhubungan dengan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Ushul Fiqh. Dan akan diperinci lagi tentang
karya-karya dari tokoh aliran-aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh. Guna memberi
kemudahan bagi pembaca untuk mempelajari dan memahaminya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan
Ilmu Ushul Fiqh mulai zaman Rasul sampai Tabi’in?
2.
Apa saja aliran-aliran dalam Ushul Fiqh?
3.
Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam aliran Ushul
Fiqh dan kitab-kitabnya?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang sejarah pertumbuhan dan
perkembangan Ilmu Ushul Fiqh mulai zaman Rasul sampai Tabi’in.
2. Untuk mengetahui dan memahami aliran-aliran dalam Ushul Fiqh.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam aliran Ushul Fiqh dan kitab-kitabnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh Masa Rasul Sampai Tabi’in
Menurut Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh dalam praktiknya telah
muncul berbarengan dengan munculnya fikih. Alasannya, karena secara
metodologis, fikih tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbat, dan
metode istinbat itulah sebagai dari inti dari Ushul Fiqh.[1] Di antara sahabat yang melakukan istinbat
hukum adalah Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi
Tholib, Umar bin Khattab, mereka tidak mungkin mengeluarkan hukum (istinbat)
tanpa mengetahui dasar-dasar dan batasan-batasan Ushul Fiqh, meskipun
secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.[2]
Fikih sebagai produk ijtihad mulai muncul pada masa sahabat. Dalam
melakukan ijtihad, kata Muhammad Abu Zahrah, secara praktis mereka telah
menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh meskipun belum dirumuskan dalam satu
displin ilmu. Kemampuan mereka dalam bidang ilmu ini, disamping berakar dari
bimbingan Rosulullah SAW juga kemampuan bahasa arab mereka yang masih tinggi
dan jernih. Mereka, khusunya yang kemudian terkenal banyak melakukan ijtihad dibidang hukum
islam, mengikuti langsung praktik-prakti tasyri’ (pembentukan hukum)
dari Rasulullah SAW. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Rosulullah dan
selalu menyertainya dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa hukum yang dipecahkan Rosulullah, sehingga mereka
tahu betul bagaimana cara memahami ayat dan dapat menangkap tujuan hukumnya.
Disamping itu, mereka adalah generasi yang masih bersih dan kuat kemampuan
bahasa Arabnya sebagai bahasa Al-Qur’an. Hal itu semua membuat mereka mampu
memahami teks-teks Al-Qur’an dan melakukan qiyas (analogi)sebagai metode
pengembangan hukum lewat subtansinya .[3]
Oleh karena itu, seperti disimpulkan Khudari
Bik, ahli Ushul Fiqh berkebangsaan mesir, begitu Rasulullah wafat mereka sudah siap
menghadapi perkembangan sosial yang menghendaki pemecahan hukum dengan
melakukan ijtihad meskipun kaidah-kaidah Ushul Fiqh belum dirumuskan secara
tertulis. Dalam melakukan ijtihad, seperti disimpulkan Abd al-Wahhab abu
Sulaiman, guru besar Ushul Fiqh Universitas Ummul Qura Mekkah, mula-mula mereka
pelajarai teks Al-Qur’an dan kemudian Sunnah Rosulullah SAW. Jika hukumnya tidak ditemukan dalam dua sumber tersebut, mereka
melakukan ijtihad, baik perorangan atau dengan mengumpulkan para sahabat untuk
bermusyawarah. Hasil ijtihad mereka dikenal dengan ijma’ sahabat.
Disamping berijtihad dengan metode qiyas, mereka berijtihad dengan metode istishlah
yang didasarkan atas mashlahah mursalah., yaitu kemaslahatan yang tidak
adil secara khusus yang mendukung dan tidak pula ada yang menolak, namun
mendukung pemeliharaan tujuan syariat. Misalnya mengumpulkan Al-Qur’an dalam
satu mushaf(naskah al-qur’an).[4]
Dengan demikian, menurut Abd al-Wahhab Abu
Sulaiman, para sahabat telah mempraktikkan
ijma’, qiyas, dan istishlah( mashlahah mursalah) bilamana hukum suatau masalah
tidak ditemukan secara tertulis dalam All-Qur’an dan Sunnah. Praktik ijtihad para sahabat dengan memakai metode-metode tersebut
telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru mulai berkembang pada saat
itu.
Abdullah bin Mas’ud mengemukakan pendapat
tentang wanita hamil yang di tinggal mati suaminya yaitu masa iddahnya setelah
melahirkan anaknya. Berdasarkan firman Allah SWT pada surat At-Thalaq ayat
(65):4 :
Dan
perempuan-perempuan yang tidak lagi haid di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu tentang masa iddahnya, maka masa iddah mereka adalah 3 bulan dan
begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barang siapa yang bertaqwa kepada Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.
Ada juga firman Allah yang menjelaskan bahwa
istri yang di tinggal mati suaminya, masa iddahnya 4 bulan 10 hari. Dalam surat
Al-baqarah (2) ayat 234:
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri(hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) 4 bulan 19 hari. Kemudian apabila
habis masa idahnya maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.[5]
Dari tindakan Ibnu Mas’ud terlihat bahwa
menetapkan fatwanya itu menggunakan kaidah ushul fiqh Nashk Mansukh, yaitu
bahwa dalil yang datang kemudian menghapus dalil yang datang terdahulu.
Artinya, kita harus meyakini ijtihad para sahabat semuanya berdasarkan
metodologi, meskipun mereka tidak selalu menjelaskan hal tersebut.
Pada masa tabi’in penggalian hukum syara’
semakin meluas dan banyak para ulama’ tabi’in yang memberikan fatwa seperti
Said bin Muayyat, Al-qammah bin Qaiys dan Ibrahim An-Nasyai di Irak sebagai
pemberi fatwa mereka menggunakan Al-Quran dan Hadist dan fatwa sahabat. Jika
tidak terdapat keterangan dari Naskh maka mereka menetapkan hukum dengan
mempertimbangkan kemashlahatan dan dengan jalan Qiyas. Jalan yang ditempuh oleh
Ibrahim An-Nakha’i dan Fuqaha’ Irak dalam menetapkan hukum adalah dengan
menetapkan illat (titik persamaan) yang digunakan untuk mengkiyaskan
permasalahan yang bermacam-macam.
Pada penghujung abad ke-2 dan awal abad ke-3
Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (150-201 H) berperan dalam mensistematisasi,
dan membukukan Ushul Fiqh. Upaya pembukuan Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh
Abd. Wahab Abu Sulaiman seperti yang dikutip Prof. Dr. Satria Efendi M. Zein,
sejalan dengak ilmu perkembangan pengetahuan keislaman di masa itu.
Perkembangan pesat Harun Ar-Rasyid (145-193 H) khalifah kelima dinasti
Abbasyiah yang memerintah selama 23 tahun (170-193 H) dan dilanjutkan dengan
perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa putranya bernama Al-Makmun
(170-218H) khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198-218H).
Imam Syafi’i dalam kitab risalahnya mulai
mendekatkannya dengan menjelaskan definisi kemudian mengklasifikasikan pada
penjelasan tentang Al-Quran, penjelasan tentang As-Sunnah bagi Al-Quran dan
penjelasan tentang ijtihad, yaitu Qiyas. Beliau menjelaskan bahwa di Al-Quran
terdapat pengertian umum yang dimaksudkan untuk makna umum dan pengertian umum
yang dimaksdkan untuk makna khusus, pengertian umum yan dzahir (eksplisit) yang
mencakup makna umum dan khusus serta pengertian umum yang eksplisit dan
dimaksudkan untuk makna khusus. Kemudian menjelaskan bahwa As-sunnah merupakan
sesuatu yang mengikuti perintah al-Kitab, membicarakan tentang nasikh dan
mansukh, kecacatan hadist, berargumentasi dengan riwayah satu orang (hadist
ahad), ijma’, qiyas, istihsan dan perbedaan pendapat ulama. Pada masa ini lahir
beberapa karya dalam bidang ushul fiqh, antara lain: an-nasihk wa
al-mansukh, karya Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri madzhab Hambali dan
Ibthal al-Qiyas, karya Daud Azh-Zahiri (200-270H), pendiri madzhab ash-Zahiri.[6]
B. Aliran-Aliran Dalam Ilmu Ushul Fiqh
Kubu ulama Hijaz dari kalangan Malikiyah dan
Syafi’iyah, yang kemudian juga dianut oleh kalangan Hanabilah, sering berada
pada satu pihak , berlainan kadang-kadang berhadap-hadapan dengan kubu ulama
irak dari kalangan Hanafiyah. Adanya
perbedaan di antara dua kubu tersebut, bukan saja dari segi prinsip dan bentuk
kaidah yang digunakan, tetapi juga dalam sistematika penulisan dan pengungkapan
Ushul Fiqh. Pada masa ini ada dua aliran dalam penulisan Ushul Fiqh semakin
jelas perbedaannya, yang dikenal dengan aliran jumhur(mayoritas) ulama
Ushul Fiqh., dan aliran Hanafiyah. Aliran jumhur ini terdiri dari kalangan Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah. Aliran ini juga dikenal sebagai aliran mutakallimin
karena tokoh-tokoh utamanya dalam pengembangannya terdiri dari tokoh-tokoh
ulama ahli ilmu kalam, seperti Qadli Abdul Jabbar, Imam al-Juwaini, dan Imam
al-Ghazali. Oleh karena para tokoh aliran ini mayoritas adalah ulama-ulama dari
kalangan Syafiiyah seperti halnya tokoh-tokoh tersebut di atas, maka aliran ini
juga dikenal sebagai aliran syafiiyah. Sedangkan aliran Hanafiyah, dikenal juga
dengan aliran fuqaha.
Ada beberapa aliran dalam penulisan Ushul Fiqh, tidak dapat
diartikan bahwa aliran jumhur yang berada pada salah satu pihak, merupakan aliran yang kompak menyepakati
segala segi Ushul Fiqhnya. Sebab, pada kenyataannya diantara kalangan jumhur(
kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah), secara Esensial terdapat
berbagai perbedaan yang mendasar, yang mengakibatkan adanya pula perbedaan
pendapat diantara mereka dibidang fiqh. Oleh karena itu, ulama Ushul Fiqh
menguraikan dua aliran itu dalam konteks ini, lebih berat tekanannya pada
adanya perbedaan dalam metode penulisan dan pengungkapan Ushul fiqh. Meskipun
demikian, antara dua kubu ulama tersebut yaitu kalangan jumhur dan ulama
Hanafiyah, secara garis besarnya bisa menggambarkan adanya dua kubu ulama fiqh
dalam pengembangan fiqh dalam sejarah. Sebab, kubu kalngan jumhur sering berada
pada satu pihak, sedangkan kalangan Hanafiyah berada di pihak lain. Artinya,
aliran Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mempunyai banyak kesamaan apabila
dibandingkan dengan kalangan Hanafiyah.[7]
Dua aliran ini meskipun telah muncul pada periode sebelumnya,
tetapi pada periode ini menjadi lebih jelas perbedaannya. Oleh karena itu,
buku-buku Ushul Fiqh yang disusun pada periode ini dianggap sebagai buku-buku
standard bagi perkembangan Ushul Fiqh masing-masing aliran itu pada masa
berikutnya. Beberapa aliran yang dikenal dalam Ushul Fiqh, seperti banyak
diungkapkan dalam kita-kitab Ushul Fiqh dalam bagian sejarahnya. Yaitu aliran
jumhur, aliran fuqaha’, dan aliran yang menggabungkan antara keduanya.
Pembagian kepada tiga aliran ini lebih benyak terkonotosi pada bagian penulisan
Ushul Fiqh, bukan kepada perbedaan-perbedaan secara substansial. Sebab, apa
yang disebut aliran jumhur, tidak berarti mereka sepakat dalam prinsip-prinsip
Ushul Fiqh secara keseluruhan. Namun adala benar mereka sepakat dalam banyak
hal mengenai substansi., disamping secara keseluruhan mereka sepakat dalam cara
penyusunan Ushul Fiqh. Lebih jauh tentang masing-masing aliran itu ialah:
a.
Aliran
jumhur ulama Ushul Fiqh[8]
Aliran ini juga dikenal dengan alira Syafi’iyah atau aliran
Mutakallimin. Aliran ini dengan aliran jumhur ulama karena merupakan aliran
yang di anut oleh mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafiiyah, dan
Hanabilah terutama dalam cara penulisan Ushul Fiqh. Disebut aliran Syafi’iyah
karena orang paling pertama mewujudkan cara penulisan Ushul seperti ini adalah
Imam Syafi’I, yang dikenal sebagai Mutakallimin karena para pakar dibidang ini
setelah Imam Syafi’I adalah dari kalangan Mutakallimin (para ahli ilmu kalam),
misalnya, Imam al-Juwaini, al-Qadli Abdul Jabbar dan Imam al-Ghazali.
Cara penulisan Ushul Fiqh aliran ini telah dirintis oleh Imam Syafi’I,
kemudian dikembangkan oleh para murid dan para pengikutnya (Syafi’iyah)
sehingga disebut sebagai aliran Syafi’iyah. Dalam perkembangan metode
penyusunan Ushul Fiqh aliran ini diikuti oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah.
Oleh karena itu, metode ini juga dikenal dengan metode jumhur ulama. Ushul
Fiqh. Dan oleh karena para tokohnya umumnya dari ahli ilmu kalam sehingga dalam penyusunannya sedikit
banyaknya dipengaruhi oleh metode ilmu kalam, maka aliran ini juga disebut
sebagai aliran Mutakallimin (para ahli ilmu kalam).
Beberapa irri dari aliran ini diantara lain adalah bahwa pembahasan
Ushul Fiqh disajikan secara rasional, filosofis, teoritis, tanpa disetai
contoh, dan murni tanpa mengacu kepada madzhab fikih tertentu yang sudah ada.
Kaida-kaidah Ushul Fiqh mereka rumuskan tanpa peduli apakah mendukung madzhab
fikih yang mereka anut atau justru berbeda, bahkan berujuan untuk dijadikan
timbangan bagi kebenaran madzhab fikih yang sudah terbentuk.
Buku-buku standard dalam aliran ini yang disusun ketika itu adalah
kitab al-‘Amd oleh qadi Abdul
Jabbar al-Mu’tazili (w.415 H), kitab al-Mu’tamad fi ushul al-fiqh oleh
Abu al-Husein Al-Bashri al-Mu’tazili (w.436 H), kitab al-Burhan fi ushul al
fiqh oleh Imam Al-Haramain(w.478 H),
kitab Al Mustashfa fi ‘lm al-Ushul oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.505
H). Pada periode selanjutnya empat buah buku tersebut secara ringkas telah
dirangkum oleh al-Fakhr al-Razi(544H-607H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan
Syafi’iyah dalam bukunya yang terkenal Al-Mahsuf fi ‘lm al-Ushul. Dari
empat buah buku di atas, yang paling popular adalah kitab Al-Mustashfa oleh
Al-Ghazali.
b.
Aliran
Fuqaha atau Aliran Hanafiyah[9]
Aliran Fuqaha, adalah aliran yang dikembangkan oleh ka;;angan ulama
Hanafiyah. Disebut aliran fuqaha (ahli-ahli fikih) karena dalam system
penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fikih. Dalam merumuskan kaidah
Ushul Fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fikih Abu Hanifah dan
pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Penyusunan seperti ini dilakukan oleh kalangan Hanafiyah karena,
seperti telah disebutkan di atas, Abu
Hanifah tidak meninggalkan buku Ushul Fiqh. Ushul Fiqh madzhabnya disimpulkan
kemudian oleh pengikutnya dari hasil-hasil fatwanya dan hasil-hasil fatwa para
muridnya. Setiap kaidah diuji kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah
terbentuk, bukan sebaliknya dimana hasil ijtihad yang sudah terbentuk diuji
kebenarannya dengan kaida-kaidah Ushul Fiqh seperti dalam aliran pertama di
atas.
Kita-kitab standar yang disusun dalam aliran ini pada periode ini
adalah antara lain kitab Ta’sis al-Nazhar oleh Abu Zaid al-Dabbusi(w.430
H), kitab Ushul al-Bazdawi oleh ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawi(w.483 H),
dan kitab Ushul al-Syarakhsi oleh Abu Bakr Syams al-Aimmah
al-Syarakhshi(w.483 H).
c.
Aliran
yang menggabungkan antara Dua aliran di atas
Dalam perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh Muhammad
abu zahrah, muncul aliran ketiga yang dalam penulisan ushul fiqh menggabungkan
antara dua aliran tersebut. Misalnya
buku Badi’ al-Nizam karya Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati(w694 w) ahli Ushul
Fiqh dari kalangan Hanafiyah, yang menggabungkan dua bbuah buku, yaitu Ushul
al-Bazdawi oleh ali ibn Muhammad al-Bazdawi dari aliran hanafiyah dan al ihkam fi ushul al-Ahkam oleh
al-Amidi(w.631 H) dari aliran Syafi’iyah.
C. Aliran Ushul Fiqh dan Kitab-Kitabnya
a)
Kitab-kitab
yang disusun oleh aliran Jumhur:[10]
1.
Al-risalah disusun oleh Muhammad bin Idris al Syafi’I (150-204H).
2.
Al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh disusun oleh
Abu al-Ma’ali Abd al Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang bergelar Imam Haramain
(419-478 H)
3.
Al-Mughni
fi Abwab al-tawhid wa al-‘adl
disusun oleh al-Qadli Abdul Jabbar(w415 H)
4.
Al-Mu’tamad
fi Ushul al-Fiqh disusun oleh
Abu al-Husein al-Bashri (w.436 H)
5.
Al-Mustashfa
min ‘Ilm al-Ushul disusun oleh
abu hamid al-Ghazali (w.505-1111 M
6.
Dan
lain sebagainya
b)
Kitab-kitab
yang disusun oleh ulama Hanafiyah:
1.
Taqwim
al-adillah karya abu zaid al-dabbusi (w.432 H)
2.
Ushul
al syarakhshi oleh Imam
Muhammad ibnu ahmad syams al immah al syarakhshi (w.483 H)
3.
Kanz
al wushul ila ma’rifat al ushul
disusun oleh Fakhr al-islam al bazdawi (400-482 H).
c)
Kitab-kitab
yang disusun oleh aliran gabungan antara Jumhur dan Hanafiyah:
1.
Jamu’
al jawami’ karya Taj al-Dien Ibnu al-sibki (727-771 H)
2.
Al-tahrir
fi Ushul al-Fiqh karya Kamal al-dien ibn al-humam (w.861 H)
3.
Musallam
al-subut karya Muhibullah ibn Abd al-‘Ali Muhammad ibn Nizam al-dien al
Al-anshari.
d)
Kitab-kitab
yang disusun pada abad modern:
1.
Irsyad
al-Fuhul karya Imam Muhammad ibn’Ali al Syukani
(117-1225
H)
2.
‘ilmu
Ushul fiqh karya abdul wahhab khallaf
3.
Ushul
al-fiqh disusun oleh syeikh Muhammad abu Zahrah
4.
Dan
lain-lain
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan bahwa, Ushul Fiqh dalam praktiknya telah muncul berbarengan dengan
munculnya fikih. Alasannya, karena secara metodologis, fikih tidak akan
terwujud tanpa ada metode istinbat, dan metode istinbat itulah
sebagai dari inti dari Ushul Fiqh.
Ada 3 aliran dalam Ushul Fiqh yaitu, Aliran
jumhur ulama Ushul Fiqh, Aliran Fuqaha atau Aliran Hanafiyah, Aliran yang
menggabungkan antara Dua aliran tersebut. Dan kitab-kitab karya dari
tokoh-tokoh dalam aliran-aliran Ushul Fiqh yang telah disebutkan dalam bab
pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
Satria, Effendi. Ushul Fiqh. Kencana Prenada Mediea Grup.
Jakarta:2005.
Mardani. Ushul Fiqh. PT Raja Grafindo. Jakarta:2013.
beberapa motode ushul sudah dipraktekkan pada masa nabi, seperti nasakh, qiyas yang dilakukan oleh nabi, dan pembenaran qiyas sahabat. By: Ushul Fiqih di Masa Nabi SAW
BalasHapusartikelnya sangat membantu saya. pas banget dengan mata kuliah saya..ushul fiqih... semoga ilmunya berkah..tanks ya
BalasHapus