Senin, 27 Oktober 2014

Qiyas

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash al-Qur’an dan as-Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas.
Dasar pemikiran qiyas itu ialah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Alasan hukum yang rasional itu oleh ulama disebut “Illat”. Disamping itu dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah, maka setiap muslim meyakini bahwa setiap kasus atau peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukumnya itu dapat dilihat secara jelas daalam nash syara’, namun sebagian yang lain tidak jelas. Di antara yang tidak jelas hukumnya itu mempunyai kesamaan sifat dengan kasus yang sudah dijelaskan hukumnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian qiyas?
2.      Apa dasar-dasar hukum qiyas?
3.      Apa syarat dan rukun qiyas?
4.      Apa syarat-syarat dan pembagian ‘illat?



C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian qiyas.
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar hukum qiyas.
3.      Untuk mengetahui syarat dan rukun qiyas.
4.      Untuk mengetahui syarat-syarat dan pembagian ‘illat.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qiyas
Secara etimologi qiyas adalah mengukur, menyamakan atau membandingkan. Sedangkan secara terminolgi terdapat banyak definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun radaksinya berbeda, tetapi  mengandung pengertian yang sama. Diantaranya dikemukakan oleh salah seorang tokoh ushul fiqh hanafi  yaitu Sadr al- Syari’ah, menurutnya qiyas adalah :
تَعَدِّيَةُ الحُكْمِ منَ الأصْلِ اِلَى الفَرعِ لِعلّةٍ مُتَّحِدَةٍ لاَ تُدرَكُ بِمُتُجَرَّدِاللغةِ
Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan bahasa saja.
Sedangkan ulama’ syafi’iyyah Saifuddin al-amidi  mendefinisikan qiyas dengan :[1]
عِبَارةُ عن إلإسْتِواءِ بينَ الفرعِ والأَصْلِ فى العِلّةِ المُستَنبَطَةِ من حُكم الأصلِ
Mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada asal yang diistinbatkan dari hukum asal.”
Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan qiyas berarti menetapkan hukum atas suatu  peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasar hukumnya berdasarkan nash, dengan cara membandingkannya pada suatu peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena adanya persamaan antara kedua peristiwa atau kejadian tersebut dalam hal ‘illat(alasan).[2]
Jika dilihat dari pengetian tersebut qiyas dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Contohnya adalah minum narkotik adalah perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, padahal tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk itu perlu dilakukan qiyas dengan mencari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu minum khamr (arak) yang diharamkan berdasarkan firman Allah di dalam surah al-maidah, ayat 90 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr, berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain adalah sesuatu yang kotor, termasuk perbuatan setan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapt keberuntungan (Q.S 5.90)

B.     Dasar Hukum Qiyas
Menurut jumhur Ulama fiqh dan para pengikut empat madhzhab sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam menetapkan suatu hukum dalam islam. Hanya saja mereka berbeda tentang kadar penggunaan qiyas dan macam-macam qiyas yang boleh digunakan untuk mengistinbath suatu hukum. Akan tetapi ada juga sebagian ulama yang tidak memperbolehkan penggunaan qiyas sebagai dasar hukum, diantaranya adalah madhzhab Zahiri dan sebagian madhzhab Syi’ah.[3]
Adapun dasar hukum qiyas adalah sebagai berikut:

1.      Al-Qur’an.
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلْيَوْمِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء ٥٩)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan Rasulnya dan ulil amri, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. 4:59).
Dari ayat tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Allah SWT memerintah kita agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits apabila tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits hendaknya mengikuti pendapat ulil amri, dan apabila kita tidak dapat menetapkan suatu hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits diantaranya dengan jalan qiyas, yaitu dengan jalan menghubungkan atau menyamakannya dengan apa yang telah ada dalam al-Qur’a dan al-Hadits.
هُوَ الَّذِي اَخْرَجَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أهْلِ الكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأَوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوْا وَظَنُّوْا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُوْنُهُمْ مِنَ اللهِ فَأَتَاهُمُ اللهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوْا وَقَذَفَ فِي قُلُوْبِهِمُ الرُّغْبَ يُخْرِبُوْنَ بُيُوْتَهُمْ بِأيْدِهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِيْنَ فَاعْتَبِرُوْا يَا أُولِي الأبْصَارِ (الحشر ٢)
Artinya: Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman maka pada penyajian pertama kali kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari siksaan Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari Allah yang tidak mereka sangka, dan Allah menanamkan ketakutan kedalam hati mereka. Dan mereka membinasakan rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang beriman maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian ini hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam. (Q.S. 59:2)
Dalam ayat tersebut terdapat perkataan fa’tabiru ya ulil abshar (maka ambillah tamsil ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang berpandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan pada manusia agar membandingkan setiap kejadian yang terjadi pada dirinya sendiri dengan kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir. Jika orang-orang mukmin melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orang islam boleh menetapkan hukum shara’ dengan menggunakan perbandingan, persamaan atau qiyas.

2.      Al-Hadits.
Di antara dalil al-hadits yang dikemukakan Jumhur Ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah:[4]
a.       Setelah rasulullah melantik Muadz bin jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
كَيفَ تَقضِي اِذَا اَعرَضَ لكَ قضاء؟ يقال: اقضي بِكِتَابِ اللهِ. قاَلَ فاَن لم تجِد في كتَابِ اللهِ؟ قال فبِسُنَّةِ الرسُولِ اللهِ. فان لم تجد في سنة الرسول الله؟ قال اجتهد راءي ولاَ الُو. فضَربَ رسولُ اللهِ صَدْرَهُ وقال: الحَمد ُللهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولُ اللهِ لما يَرضَى اللهُ ورسولُه (رواه احمد وابو داود والترمذى)
Artinya: Bagaimana kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Muadz menjawab : Akan aku tetapkan berdasarkan al-Qur’an, jika engkau tidak menemukannya dalam al-Qur’an? Muadz berkata: akan aku tetapkan dengan Sunnah Rasul Allah, jika kamu tidak memperoleh dalam Sunnah Rasul Allah? Muadz menjawab: aku akan berijtihad menggunakan akalku dengan berusaha bersungguh-sungguh, lalu rasulullah menepuk dadanya seraya berkata segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk petugas yang diangkat rasulullah karena ia berbuat sesuatu yang diridhoi Allah dan Rasulnya. (H.R. Ahmad, Abu Daud dan al-Turmudzi).

b.      Rasulullah banyak menggunakan qiyas dalam menetapkan hukum atas peristiwa-peristiwa yang dikemukakan pada beliau, sedangkan beliau tidak mendapatkan wahyu mengenai hukum peristiwa tersebut. Diantaranya hadits dari Bukhori dan Nasa’i.[5]
اِنَّ امراءةَ مِن جُهَينَة جَائت الىَ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ فقَال: اِنَّ اُمِّي نَذَرَت اَن تحجَّ حَتَّى مَاتَت، فَاحج عَنها؟ قاَلَ النَّبِي صَلىَّ الله ُعَلَيه ِوَسَلَّمَ: نَعَم حَجِّي عَنهَا اَرَاَيتِ لَو كَانَ عَلَى اُمُّكِ دَيْنُ اَكُنتِ قَضَيتِه؟ اقضُوا اللهَ احق باالوَفَاء.(رواه البخارى والنساء)
Artinya: Sesungguhnya seorang qabilah dari Yuhainah pernah menghadap Rasulullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak dapat melaksanakan sampai dia wafat, apakah aku berkewajiban melaksanakannya?. Rasulullah menjawab: Benar melaksanakan ibadah haji untuknya. Tahukah kamu seandainya ibumu mempunyai hutang, kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena utama untuk dibayar (H.R. Bukhori dan Nasa’i).

3.      Atsar Shahabi
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi kholifah dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain, karena beliaulah yang diperintah nabi untuk mewakili beliau sebagai imam shalat. Tentu beliau lebih ridho jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pamerintahan.
Khalifah Umar Bin Khatab pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim dalam mengambil keputusan. Diantara isi surat tersebut adalah:[6]
ثُمَّ اَفهَم ُفِيمَا ادلى اليَكَ مِمَّا وَرد عَليكَ مما ليسَ فيِ القرانِ ولَا سُنَّة َثم قايس الامور عند ذلك، واعرف الامثال ثم اعتمد فيما ترى الى الله واشبها بالحق
Artinya: Kemudian fahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara-perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah pada pendapatmu yang paling disisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran.

C.    Syarat dan Rukun Qiyas
Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas.
Para Ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas ada empat yaitu:[7]
1.      Ashal
Menurut para ahli ushul fiqh , ashal merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash yaitu ayat-ayat al-quran, hadis rasulullah SAW. atau ijama’. Contohnya pengharaman wisky dengan mengkiyaskannya dengan khamr, maka ashal itu adalah khamr yang telah ditetapkannya melalui nash.

Adapun syarat-syarat ashal itu adalah ialah sebagai berikut:
a.       Hukum ashal itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-nasakh-kan(dibatalkan).
b.      Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’.
c.       Ashal itu bukan merupakan far’u dari ashal lainnya.
d.      Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashal itu dalil khusus, tidak bersifat umum.
e.       Ashal itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas.

2.      Far’u
Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada di dalam nash atau ijma’ yang tegas dalam menetukan hukumnya, seperti kasus wisky dalam kasus di atas.
Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi yaitu:
a.       ‘Illatnya sama dengan ‘illat yang ada pada ashal, baik pada zatnya maupun jenisnya.
b.      Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c.       Hukum far’u tidak mendahului hukum ashal.
d.      Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu.

3.      ‘Illat
Yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’, adapun syarat-syarat ‘illat ialah sebagai berikut:
a.       ‘illat harus tetap berlaku, manakala ada ‘illat tentu ada hukum, dan tidak ada hukum bila tidak ada ‘illat.
b.      ‘illat berpengaruh pada hukum.
c.       ‘illat tidak brlawanan dengan nash, dan apabila ada perlawanan maka nash yang di dahulukan.
d.      ‘illat harus berupa sesuatu jelas dan tertentu.

4.      Hukum Ashal
Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasrkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada perasaan illatnya.
Menurut ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa syarat-syarat hukum ashal adalah:
a.       Tidak bersifat khusus; dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada far’u, misalnya dalam sebuah riwayat dikatakan :
مَن شَهِدَ لَهُ خُزَيمَةُ فَحَسبُهُ
Kesaksian khuzaimah sendirian sudah cukup (H.R abu Dawud, Ibn Hanbal, al-Hakim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i).
b.      Hukum ashal tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas.
c.       Tidak ada nash yang menjelaskan hukum far’u  yang akan ditentukan hukumnya.
d.      Hukum al-ashal itu lebih dahulu di syari’atkan dari far’u.

D.    Syarat-Syarat dan Pembagian ‘Illat
1.      Syarat-Syarat ‘Illat
            Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan sejumlah syarat ‘illat yang bisa dijadikan sebagai sifat yang menentukan hukum. Diantarnya adalah :[8]
a.       ‘Illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukun, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia.
b.      ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua orang. Maksudnya ‘illat itu memiliki hakikat tertentu dan terbatas berlaku untuk setiap orang dan keadaan.
c.       ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditagkap indra manusia, karena ‘illat merupakan pertanda adanya hukum.
d.      ‘Illat itu merupakan sifat yang sesuai dengan hukum. Artinya, ‘illat yang ditentukan berdasarkan analisis mujtahidmujtahid sesuai dengan hukum itu.
e.       ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
f.       ‘Illat itu bersifat utuh dan bberlaku secara timbal balik. Maksudnya, apabila ada ‘illat, maka hukumnya ada, dan sebaliknya apabila ‘illatnya hilang maka, hukumnya pun hilang.
g.      ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashal. Artinya hukumnya telah ada, baru datang ‘illatnya kemudian.
h.      Hukum yang mengandung ‘illat itu tidak mencakup hukum far’u (yang akan dicari hukumnya melalui qiyas).
i.        ‘Illat itu terdapat dalam hukum syara’
j.        ‘Illat itu tidak bertentangan dengan ‘illat lain yang posisinya lebih kuat.
k.      Apabila ‘illat itu diistinbatkan dari nash, maka ia tidak menambah nash itu sendiri.
l.        ‘Illat itu bisa  ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum yang lain.    

2.      Pembagian ‘Illat
‘Illat mempunyai tiga pembagian dengan pertimbangan-pertimbangan yang berbeda-beda. Di antaranya adalah:[9]
a.       Pembagian ‘illat berdasarkan maksud-maksudnya.
Sesungguhnya penetapan syari’at Ilahiyah hanyalah untuk maslahat manusia di dunia dan akhirat bersama-sama dan maksud as-Syari’ dalam penetapan syari’at. Maksud-maksud ini tidak lebih dari tiga bagian: Keharusan (Dharuriyat), Keperluan (Hajiyat), Kelengkapan atau Kesempurnaan (Kamaliyat).

b.      Pembagian ‘illat berdasarkan penyampaiannya kepada maksud.
Tujuan dari persyaratan sebab-sebab atas terbentuknya hukum ialah menyampaikan hal itu kepada maslahat yang ingin didatangkan, atau kepada penolakan kerusakan yang diharapkan.
Para ulama membagi ‘illat menurut penyampaian kepada tujuannya menjadi lima bagian:
a)      ‘Illat yang menyampaikan kepada tujuan secara pasti.
b)      ‘Illat yang menyampaikan kepada tujuannya secara dugaan.
c)      ‘Illat yang menyampaikan kepada tujuannya secara meragukan.
d)     ‘Illat yang menyampaikan kepada tujuannya secara khayalan.
e)      ‘Illat yang tidak menyampaikan kepada tujuannya secara pasti.

c.       Pembagian ‘illat berdasarkan pertimbangan apa yang diperhitungkan as-Syari’ darinya dan apa yang tidak diperhitungkan.
Macam-macam pertimbangan ini ada tiga:
a)      As-Syari’ telah mempertimbangkan penyifatan ini lebih dari sekali dalam jenis hukum itu.
b)      As-Syari’ telah menganggap jenis pensifatan dalam hukum itu sendiri dengan menjadikan sebuah sifat dan sifat pertama masuk dalam jenis yang berdekatan sebagai ‘illat bagi hukum pertama itu.
c)      As-Syari’ telah mempertimbangkan sifat ini dalam jenis hukumnya dan hal itu berarti timbulnya nash dari syari’ yang mengizinkan sifat yang masuk bersama sifat pertama dalam jenis yang berdekatan dalam kesyariatan hukum.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Qiyas adalah menetapkan suatu hukum atas suatu peristiwa yang tidak ada dalilnya dalam nash dengan membandingkannya yang ada dalam nash karena ada suatu ‘illat.
2.      Dasar hukum qiyas meliputi: Al-Qur’an, Al-Hadits dan Atsar Shohabi.
3.      Syarat-syarat qiyas itu terdapat pada masing-masing rukun qiyas. Rukun qiyas meliputi: Ashal, Far’u, ‘Illat dan Hukum ashal.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini terdapat kekurangan. Oleh karena itu kepada para pembaca, khususnya kepada dosen pembimbing untuk mengkritik makalah ini yang bersifat konstruktif, kami ucapkan trimakasih.












DAFTAR PUSTAKA

Anhari, A.Masjkur, 2008, Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama).
Bek, Muhammad Khudhari, 2007, Ushul Fiqh, Terj. Faiz el Muttaqien, (Jakarta: Puataka Amani).
Dahlan, Abd.Rahman, 2011, ushul fiqh, (Jakarta: Amzah).
Haroen, Nasrun, 1996, ushul fiqh 1, (Jakarta: Logos Publishing House).
Syarifuddin, Amir, 1997, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).





[1] Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, juz III, (Beirut: Dar al-kitab al-Arabi, 1984), h. 186
[2] A.Masjkur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), h. 83
[3]  Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,  (Jakarta: Amzah, 2011), h. 182

[4] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 155
[5] A.Masjkur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), h. 89
[6] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 155
[7]  Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1996), h. 73-76.
[8] Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 165
[9] Muhammad Al-Hudhari Bek, Ushul Fiqh, Terj. Faiz el Muttaqien, (Jakarta: Pustaka Amni, 2007), h. 661

Tidak ada komentar:

Posting Komentar