Senin, 27 Oktober 2014

Mutlaq dan muqoyyad

BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah memakai bahasa Arab. Pemahaman hukum dari nash-nash tersebut hanya akan benar apabila diindahkan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi bahasa Arab baik mengenai susunan bahasanya, bentuk-bentuk lafadhnya maupun makna-makna yang ditunjuki oleh lafadh-lafadhnya dan lain-lainnya.
Oleh sebab itulah, ulama Ushul Fiqh mengadakan penelitian secara sistematis mengenai susunan bahasa Arab.Kita tidak dapat mengetahui pemahaman makna dan hukum-hukum dari nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali dengan mengetahui dan memahami cara-cara orang Arab dalam memahami kalimat, kata dan susunan bahasa Arab.
Oleh karena itu, berikut ini diuraikan tentang qaidah-qaidah yang dapat dipergunakan untuk memahami hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diantaranya adalah pembahasan tentang muthlaq, muqayyad, dzahir, khafi, dan dalalah.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud tentang Muthlaq dan Muqayyad ?
2.      Apa yang dimaksud tentang Dzahir dan Khafi ?
3.      Bagaimana pembagian lafadh jika ditinjau dari kejelasan makna ?
4.      Apa yang dimaksud tentang Dalalah ?

C.  TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1.      Untuk mengetahui pembahasan tentang Muthlaq dan Muqayyad.
2.      Untuk mengetahui pembahasan tentang Dzahir dan Khafi.
3.      Untuk menjelaskan pembagian lafadh jika ditinjau dari kejelasan makna.
4.      Untuk mengetahui pembahasan tentang Dalalah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
1.      Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq menurut bahasa adalah yang terlepas/ yang dilepaskan.Sedangkan menurut istilah, Muthlaq adalah lafadh yang menunujukkan kepada obyeknya tanpa memperhatikan kepada satuan, jumlah atau sifatnya.[1]Akan tetapi menunjukkan kepada hakekatnya.Bisa juga didefinisikan bahwa muthlaq ialah lafadh yang menunjukkan sesuatu hal atau barang atau orang yang tidak tertentu tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti dalam firman Allah :
فَكُّ رَقَبَةٍ ( البلد : ١٣ )
                   “ (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan “ ( QS. Al-Balad : 13)
Kata “budak” pada ayat diatas adalah muthlaq, artiya baik budak mukmin atau budak kafir.
Muqayyad menurut bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah, Muqayyad adalah lafadh yang menunjukkan kepada hakekat sesuatu yang dibatasi dengan sifat, keadaan, syarat atau ungkapan umum yang dibatasi dengan batasan apa saja tanpa dihubungkan dengan bilangan.Bisa juga didefinisikan bahwa muqayyad adalah suatu lafadh yang menunjukkan sesuatu hal atau barang atau orang yang tidak tertentu dengan ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti dalam firman Allah :
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ( النساء :  ٩٢)
“Hendaklah ia memerdakakan seorang hamba sahaya yang beriman” (An-Nisa : 92)
Ayat diatas menjelaskan bahwa yang harus dimerdekakan adalah hamba sahaya yang beriman.Jadi muqayyadnya adalah dengan sifat.
2.      Hukum dan Contoh Lafadh Muthlaq dan Muqayyad
a.       Jika hukum dan sebabnya sama, maka yang muthlaq dibawa kepada yang muqayyad. Artinya, muqayyad menjadi penjelasan terhadap muthlaq.
Ayat Muthlaq :
ôMtBÌhãmãNä3øn=tæèptGøŠyJø9$#P¤$!$#ur  ..... {المائدة:۳ }
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah“. (Al-Maidah : 3)
Ayat Muqayyad :
@è%HwßÉ`r&Îû!$tBzÓÇrré&¥n<Î)$·B§ptèC4n?tã5OÏã$sÛÿ¼çmßJyèôÜtƒHwÎ)br&šcqä3tƒºptGøŠtB
÷rr&$YByŠ%·nqàÿó¡¨B................ {الانعام:١٤٥}
katakanlah : tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir” (Al-An’am :145)
Lafadh الدَّمُ   pada ayat pertama adalah muthlaq dan lafadh دَماً مَسْفُوْحاً pada ayat yang kedua adalah muqayyad. Hukum disini ialah “haramnya darah” dan sebabnya ialah “hendak makan”. Karena kedua-duanya sama, maka yang muthlaq dibawa kepada yang muqayyad. Jadi yang diharamkan adalah “darah yang mengalir”. Sedangkan hati dan limpa tidak haran dimakan.
b.      Jika hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini masing-masing muthlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Muqayyad tidak menjadi penjelasan muthlaq.
Ayat Muthlaq :
ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtƒÏ÷ƒr& .............. {المائدة:۳۸}
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya” (Al-Maidah : 38)
Ayat Muqayyad :
$pkšr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä#sŒÎ)óOçFôJè%n<Î)Ío4qn=¢Á9$#(#qè=Å¡øî$$sùöNä3ydqã_ãröNä3tƒÏ÷ƒr&ur
n<Î)È,Ïù#tyJø9$# ................ {المائدة:٦}
hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku(Al-Maidah : 6)
Lafadh أَيْدِيَهُماَ  pada ayat pertama adalah muthlaq dan lafadh وَأَيْدِيَكُمْ اِلىَ المَرَافِقِ pada ayat kedua adalah muqayyad. Ayat yang pertama menerangkan hukum potong tangan karena mencuri, sedangkan ayat kedua menerangkan hukum membasuh tangan karena berwudhu.Jadi dalam hal ini masing-masing tetap pada tempatnya, yang muthlaq tetap muthlaq dan yang muqayyad tetap muqayyad.
c.       Jika hukum sama, tapi sebab berbeda. Maka yang muthlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.
Ayat Muthlaq :
㍃̍óstGsù7pt7s%u7.......... {المجادلة : ۳}
“maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak” (Al-Mujadalah:3)
Lafadh “raqabah” (hamba sahaya) dalam masalah dzihar ini berbentuk muthlaq karena tidak ada lafadh yang mengikatnya. Sehingga seorang suami yang sudah terlanjur men-dzihar istrinya dan ingin ditarik ucapannya, maka sebelum mencampurinya harus memerdekakan hamba sahaya atau budak.
Ayat Muqayyad :
㍃̍óstGsù7pt7s%u7poYÏB÷sB ............... { النساء : ۹۳}
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...” (An-Nisa’ : 93)
Lafadh “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini berbentuk muqayyad dengan diikat lafadh“mukminah” (beriman) maka hukumnya ialah keharusan untuk memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Karena sebabnya berbeda, satu masalah kafarah dzihar dan yang lain kafarah qatl, walaupun hukumnya sama-sama memerdekakan hamba sahaya, namun tetap diamalkan sesuai dengan ketentuannya masing-masing.
d.      Jika berbeda hukum, tapi sebabnya sama. Dalam hal ini masing-masing muthlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Ayat Muthlaq :
(#qßs|¡øB$$sùöNä3Ïdqã_âqÎ/öNä3ƒÏ÷ƒr&ur3 ............... {النساء : ٤۳}
“sapulah mukamu dan tanganmu...” (An-Nisa’ : 43)
Lafadh “yad” (tangan) dalam ayat diatas berbentuk muthlaq, karena tidak ada lafadh lain yang mengikatnya. Dengan demikian kesimpulan dari ayat ini adalah keharusan menyapukan tanah ke muka dan kedua tangan, baik itu hingga pergelangan tangan atau sampai siku. Kecuali ada dalil lain seperi hadits yang menerangkan tata cara tayamum oleh Nabi.
Ayat Muqayyad :
$pkšr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä#sŒÎ)óOçFôJè%n<Î)Ío4qn=¢Á9$#(#qè=Å¡øî$$sùöNä3ydqã_ãröNä3tƒÏ÷ƒr&ur
n<Î)È,Ïù#tyJø9$# ............. {المائدة : ٦ }
“ hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan siku...” (Al-Maidah : 6)
Lafadh “yad” (tangan) dalam ayat ini berbentuk muqayyad, karena ada lafadh yang mengikatnya yaitu “ilal maraafiqi” (sampai dengan siku). Sebab dari ayat diatas adalah sama dengan ayat muthlaq yang sebelumnya yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat, akan tetapi hukumnya berbeda. Ayat muthlaq sebelumnya menerangkan keharusan menyapu dengan tanah, sedang ayat muqayyad menerangkan tentang keharusan mencuci dengan air.Maka ketentuan hukum yang ada pada ayat muthlaq tidak bisa ditarik kepada yang muqayyad.Artinya, ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku.Dengan demikian ayat muthlaq dan muqayyad berjalan sesuai dengan ketentuan hukumnya sendiri-sendiri tidak bisa dijadikan satu.[2]
B.     DZAHIR DAN KHAFI
1.      Pengertian Dzahir
Dzahir menurut bahasa adalah jelas. Sedangkan dzahir menurut istilah adalah apa yang menunjukan maksud daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar.[3] Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan. Dia mengandung takwil.Bila ada maksud memahami kata-kata tanpa memerlukan qarinah.Tidak ada maksud asli dari pembicaraan.Kata-katanya itu di’itibarkan dengan jelas.
Contoh dari lafadh dzahir adalah QS. Al-Baqarah ayat 275 :

¨@ymr&urª!$#yìøt7ø9$#tP§ymur(#4qt/Ìh9$#
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah: 275)
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya. Meskipun demikian, ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan hal tersebut. Akan tetapi, untuk menafikan apa yang dibayangkan orang tentang jual beli dan riba, dan menolak apa yang dikatakan orang bahwa jual beli itu adalah seperti riba, bukan untuk menyatakan hukum kedua hal ini.
2.      Pengertian Khafi
Khafi menurut bahasa artinya samar. Sedangkan khafi menurut istilah adalah lafadh yang dari segi penunjukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan itu disebabkan karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukan oleh suatu dalil. 
Lafadh khafi itu sebenarnya dari segi lafaz-nya menunjukkan arti jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.
Adapun cara untuk menghilangkan kesamaran tersebut adalah melalui penelitian, mengetahui tujuan umum dan tujuan khusus ditetapkannya hukum atasnya; yaitu “perluasan” penunjukan lafadh atau “penyempitan” dalam penerapannya. Kemaslahatan umum harus diperhatikan dalam perluasan dan penyempitan tersebut, selama suatu lafadh dapat digunakan untuk kemaslahatan umum.
Contoh dari lafadh khafi ini adalah lafadhالسَّارِقُ (pencuri) pada QS. Al-Maidah ayat 38 :
ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtƒÏ÷ƒr&
“dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangannya” (Al-Maidah : 38)
Lafadh السَّارِقُ pada ayat di atas artinya jelas, yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya. Tapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan merupakan suatu bentuk yang samar dan tidak jelas. Sepertiالنَّشَالُ (pencopet) dan النَّبَاشُ (pencuri barang-barang di dalam kuburan) lafaz tersebut dikatakan khafi (samar).
Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Yusuf keduanya tergolong pencuri, maka harus dipotong tangannya.Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah pencopet digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya potong tangan, tapi pencuri barang-barang di dalam kuburan tidak digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya cukup dengan ta’zir.[4]



C.    LAFADH DITINJAU DARI KEJELASAN MAKNA
Kalangan Hanafiyah sebagaimana dijelaskan oleh Adib Sholih yang dikutip oleh Satria Effendi mengelompokkan lafad dari kejelasan maknanya (dalalahnya) menjadi dua macam. Pertama lafadh yang artinya jelas, meliputi empat tingkatan, yaitu: dzahir, nash, mufassar, dan muhkam. Kedua lafadh yang maknanya tidak jelas yang meliputi empat tingkatan juga, yaitu: khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.[5]
1.      Lafadh yang Jelas Maknanya
a)      Dzahir
Dzahir secara bahasa berarti al-wuduh (jelas), sedangkan secara istilah adalah lafadh yang mengandung arti secara langsung dari nas itu, tanpa memerlukan penyerta lainyang datang dari luar untuk memahami maksud nas itu, akan tetapi bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari pengucapannya.[6] Contohnya dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 275
وَأَحَلَّ اللهُ البَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِبَوا....(٢٧٥)
“..Allah menghalalkan jual beli dan mengharakan riba..”(QS.Al-Baqarah: 275)
Makna Dzahir dari ayat diatas sesuai dengan pemahaman yang cepat adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba.kata halal dan haram ini sudah jelas, sehingga tidak memerlukan penyerta lain dari luar. Tetapi tujuan utama dari ayat ini bukanlah seperti itu. Tetapi tujuan atau makna nasnya adlah perbedaan antara jual beli dan riba, karena ayat ini turun sebagai bantahan kepada orang musyrik yang mengatakan bahwa antara jual beli dan riba adalah sama.
Lafadh Dzahir terkadang harus ditakwil untuk mencari makna yang dapat dipahami. Yang dimasud ta’wil adalah memalingkan arti Dzahir kepada mana lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/ bukti. Contohnya dalam surat Al-Fath kata “اليد” pada ayat tersebut secara Dzahir berarti tangan dan arti ta’wil adalah kekuasaan.

b)   Nash
Secara bahasa Nash adalah al-dzuhur (jelas). Secara istilah Nash memiliki dua pengertian yaitu pengrtian secara umum dan pengertian secara khusus. Pengertian secara umum adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafi’i, nas adalah teks Al-Qur’an dan Hadits baik yang tegas maupun yang tidak tegas.[7] Dari pengertian tersebut, maka nas diperuntukkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan pengertian secara khusus, Nash adalah lafadh yang menunjukkan arti yang asli yang muncul dari lafadh itu secara jelas, yang tidak mungkin mengandung arti lain.[8] Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 196 berikut:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةُ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَ سَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ. تِلْكَ عَشْرَة كَامِلَة. ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ
يَكُنْ اَهْلُه حَاضِر ى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ...(١٩٦).
“tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna demikian itu (kewajiban membayar fidya) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) masjidil haram...”(QS. Al-Baqarah:196).
Kata “asyaratun” dalam ayat tersebut adalah Nash karena maknanya jelas dan pasti tidak mungkin sembilan atau sebelas.
Perbedaan antara Dzahir dan Nash adalah:
1.      Dalalah Nash lebih jelas dibanding dengan Dzahir
2.      Makna Nash adalah makna asli yang dikehendaki dari lafadh, sedangkan Dzahir bukan makna yang dikehendaki.
3.      Kemungkinan untuk dita’wil, Nash lebih jauh dibandingkan dengan Dzahir.
4.      Ketika terjadi pertentangan antara Nash dan Dzahir, maka harus kembali kepada makna Nash.[9]
5.    Nash tidak menerima kemungkinan makna lain, sedangkan Dzahir masih menerima kemungkinan makna lain.[10]
c)   Mufassar
Mufassar menurut ulama ushul fiqh adalah lafadh yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan terperinciyang tidak mungkin menerima ta’wil (dipalingkan maknanya) atau ditakhsis, tapi pada masa Rosulullah masih bisa diNashakh.[11] Jika dibandingkan dengan nas, mafassar lebih jelas karena pada mufassar tidak berlaku takhsis. Lafadh mufassar terbagi dua:
1)      Menunjukkan maknanya secara jelas dan terperinci tanpa memerlukan lagi penjelasan dari luar. Contohnya dalam surat Al-Nur ayat 4
وَ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنت ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةٍ شُهَدَاء فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلَا
تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًا وَاُولئِكَ هُمُ الْفسِقُوْنَ (٤)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanit yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itual orang-orang fasik.” (QS. Al-Nur : 4).
Jumlah delapan puluh dera adalah mufassar karena maknanya sudah jelas tanpa perlu ada penambahan dan pengurangan dan tak perlu dita’wil.
2)      Berupa mujmal (global), tidak jelas dan tidak terperinci, yang kemudian datang penjelasan dari syari’at sehingga menjadi jelas dan pasti dan tidak lagi menerima ta’wil.seoerti perintah sholat, perintah zakat, dan perintah haji.
Jika terjadi pertentangan antara Nash dan mufassar, maka mufassar didahulukan dan dimenangkan karena mufassar dilihat dari dalalahnya lebih jelas dibanding dengan nas, serta mufassar tidak menerima ta’wilkarena sudah jelas.
d)  Muhkam
Menurut Abu Zahra muhkam adalah kalimat yang menunjukkan maknanya dengan jelas yang tidak menerima kemungkinan ta’wil dan tidak menerima takhsis dan juga tidak menerima nasakh.[12]
Abdul Wahab Khallaf menegaskan bahwa lafadh muhkam tidak bisa dibatalkan hukumnya, tidak dapat diganti karena maknanya yang sudah jelas dan juga tidak dapat menerima nasakh karena lafadh muhkam berisi, antara lain:
1)      Tentang ajaran-ajaran pokok agama yang tidak menerima nasakh (penggantian), seperti ibadah kepada Allah dan beriman kepada kitab-kitab dan rosul.
2)      Tentang perbuatan-perbuatan utama yang tidak diperselisihkan, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua dan sebagainya.
3)      Tentang hukum cabang (fiqh) yang diabadikan oleh syari’at. Seperti hukum jual beli.
Jika terjadi pertentangan antara muhkam dan mufassar, maka yang dimenangkan adalah muhkam karena dalalah muhkam lebih jelas dan pasti dibandingkan dengan mufassar.
2.      Lafadh yang Tidak Jelas Maknanya
a)   Khafi
Khafi adalah lafadh yang maknanya jelas akan tetapi ketika diterapkan pada suatu kasus menimbulkan ketidak jelasan.[13]
Ketidak jelasan itu dapat dimungkinkan karena bentuk kasus-kasus itu tidak sama persis dengan kasus yang ditunjukan oleh satu dalil. Contohnya lafadh “saariq” dalam surat Al-Maidah ayat 38.
السَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَا لًا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (٣٨)
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)  pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Makna “saariq” pada ayat diatas sudah jelas adalah pencuri yang mengambil harta orang lain secara sembunyi ditempat yang layak. Namun ketika diterapkan pada pencopet, maka muncullah ketidak jelasan, apakah pencopet dapat dimasukkan dalam istilah pencuri yang harus dipotong tangannya atau tidak. Maka, untuk memecahkan masalah ini dibutuhkan ijtihad. Menurut Abdul Wahab Khallaf, berdasarkan ijtihad yang didasari oleh dalalah nas disepakati bahwa hukum mencopet adalah sama dengan pencuri.
b)   Musykil
Musykil adalah lafadh yang tidak mrnunjukkan makna yang jelas maka diperlukan qarinah (indikator) dari luar untuk menjelaskan maksudnya.
Penyebab ketidak jelasannya karena lafadh itu mengandung beberapa pengertian yang tidak menunjukkan makna tertentu. Sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud diperlukan indikator atau dalil dari luar. Contohnya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 223  :
....فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ أنّى شِئْتُمْ ....(٢٢٣)
“....maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu menghendaki....”
Lafadh anna dalam bahasa arab bisa berarti: kaifa, aina, dan mata. Maka dari sini timbullah kemusykilan, untuk menentukan makna yang lebih cocok. Para ulama’ dalam mengambil pengertian ada yang mengambil arti kaifa, seperti Ibnu Abbas. Yang artinya, bahwa boleh menggauli istri, kecuali pada duburnya pada waktu haid. Dan ada yang mengartikan selagi ia menghendaki.
Perbedaan antara khafi dan musykil terletak pada dzatiah lafadh itu sendiri. Oleh sebab itu, musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya dari pada khafi.[14]

c)   Mujmal
Mujmal adalah lafadh yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum yang terkandung didalamnya yang mana tidak bisa diketahui secara jelas tanpa adanya mubayyan (penjelas).[15]
Jika terdapat lafadh mujmal pada Al-Qur’an maka sunnah berfungsi untuk menjelaskannya. Contohnya perintah sholat dalam Al-Qur’an yang masih mujmal, kemudian dijelaskan oleh Nabi tentang rukun, syarat, dan cara pelaksanaannya sebagaimana hadits beliau, artinya “sholatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat.”
Abdul wahab khallaf menambahkan, bahwa diantara lafadh yang dimasukkan ke dalam lafadh mujmal antara lain:
1)      Lafadh yang disebut secara bahasa tetapi yang dikehendaki adalah makna syari’at secara khusus, misalnya perintah sholat dalam Al-Qur’an yang masih membutuhkan penjelasan terkait rukun, syarat dan caranya.
2)      Lafadh yang gharib (asing), seperti kata “al-Qaari’ah”. Dalam surat Al-Qaari’ah ayat 1 yang kemudian dijelaskan sendiri oleh Allah pada ayat selanjutnya. Yang menjelaskan lafadh mujmal pada surat Al-Qaari’ah adalah ayat kedua sapai lima yang disebut mubayyan.
Macam-macam penjelas bagi lafadh mujmal
a)      Penjelasan dengan perkataan, seperti penjelasan denda haji tamattu’.
b)      Penjelasan dengan perbuatan, seperti hadits Nabi yang menjelaskan tentang sholat dan haji.
c)      Penjelasan dengan tulisan, seperti ketentuan zakat dan diyat.
d)     Penjelasan dengan isyarat, contohnya hadits Nabi yang artinya, “aku dan orang yang menanggung anak yatim seperti ini.” Ketika mengucapkankan hadits ini sambil menunjukkan jari telunjuk dan tengah.
Mujmal itu lebih tinggi kadar khafanya dari pada musykil, sebab penjelasan mujmal diperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad.

d)  Mutasyabih
Mutasyabih adalah lafadh yang tidak jelas maknanya dan tidak ada dalil dari luar yang menjelaskan maknanya. Yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah SWT.
Terjadi perselisihan antara para ulama’ mengenai penentuan kriteria mutasyabih, diantaranya:
1)         Menurut ibnu Hazm yang dikutip oleh Imam Abu Zahra, bahwa tidak ada lafadh mutasyabih dalam Al-Qur’an kecuali huruf-huruf tertentu, seperti “alif lam mim” sumpah (qasam) Allah.
2)         Pendapat kedua tidak hanya lafadh mutasyabih saja, tetapi ada ayat-ayat yang mengandung keserupaan antara makhluk dan Allah SWT.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat mutasyabih terdapat pada huruf-huruf yang ada diawal surat, sumpah Allah dalam Al-Qur’an, serta ayat-ayat yang arti secara zahir mengandung keserupaan antara makhluk dan Tuhan.
Tentang kehujjaan lafadh mutasyabihat terdapat dua pendapat ulama dalam menghadapi ayat mutasyabihat, yaitu:
1)         Menurut ulama salaf, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, mengimani dan tidak membahasnya dengan ta’wil.
2)         Menurut ulama khalaf, diperbolehkan untuk menta’wil yang sejalan dengan makna bahasa dengan tetap menjaga sifat kesucian Allah SWT.
D.    DALALAH
1.    Pengertian Dalalah
Dalalah menurut bahasa berarti tertentu. Dan dalam ilmu ushul fiqh dalalah adalah pengertian yang ditunjuki oleh suatu lafadh atau bisa disebut dengan petunjuk suatu lafadh kepada makna tertentu.[16]
Contohnya: (sholat). Ini dinamakan al-dal dan madlulnya adalah do’a (makna bahasa) atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam (makna istilah). Makna penunjukkan makna sholat pada do’a atau perbuatan yang diawali dengan tabir dan diakhiri dengan salam namanya dalalah.
2.    Macam-macam Dalalah
Mengenai macam-macam dalalah terdapat dua pendapat, yaitu: pendapat Imam Hanafi yang menyebutkan dua macam dalalah, yaitu: dalalah ghoiru lafdhiyah dan dalalah lafdhiyah.Serta pendapat Imam Syafi’i dalalah terbagi menjadi dua, yaitu: dalalah mantuq dan dalalah mafhum.[17]
a)      Dalalah menurut Imam Hanafi
1)      Dalalah ghoiru lafdhiyah, yaitu dalalah yang tidak diungkapkan dengan lafadh, yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadh, dan juga tidak dalam bentuk kata. Contohnya dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang artinya:
“Dan untuk dua orang tua bapak dan ibu, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”.
Ayat ini menjelaskan bahwa, ahli waris hanya ibu dan bapak, maka ibu mendapat sepertiga. Walaupun dalam ayat ini tidak dijelaskan bagian bapak, maka tetap dapat dipahami bahwa hak dari bapak adalah sisia dari sepertiga, yaitu dua pertiga.
2)      Dalalah lafdhiyah, Imam Hanafi membagi dalalah ini menjadi 4 macam, yaitu:
a)      Ungkapan Nash/ Ibaratun Nashh
Ungkapan nash adalah makna yang segera dapat dipahami dari bentuk nash itu sendiri, baik yang maksud asli maupun tidak. Contohnya dalam surat an-Nisa’ ayat 3 yang artinya:
“Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”
Maksud yang sebenarnya dalam ayat ini adalah pembatasan jumlah wanita yang boleh dinikahi. Sedangkan makna lain adalah boleh menikahi wanita yang disenangi.
b)      Isyarat Nash/ Isyaratun Nashh
Isyarat nash adalah makna yang tidak dapat dipahami secara langsung dari lafadhnya dan tidak dimaksukan oleh susunan katanya. Contohnya dalam surat al-Hasyr ayat 8 yang artinya:
“(yaitu) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka”.
Isyarat nashnya adalah bahwa harta muhajirin yang ditinggalkan di Makkah, bukanlah menjadi harta mereka lagi.
c)      Petunjuk Nash/ Dalalatun Nashh
Petunuk nash adalah mana yang dapat dipahami dari kerasionalannya. Contohnya dalam surat an-Nisa’ ayat 10 yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dholim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya”.
Maksudnya adalah menggunakan harta anak yatim, memberikan harta itu kepada orang lain, membakar harta anak yatim tanpa seizin dari anak yatim tersebut adalah melanggar hukum serta dilarang.
d)     Kehendak Nash/ Iqtidlaun Nashh
Kehendak nash adalah suatu makna/pengertian, yang mana kalimat itu tidak dapat dimengerti, kecuali dengan memperkirakan adanya pengertian tersebut.jadi lafadhnya tidak ada, tetapi kebenaran kalimat dan maknanya membutuhkan pengertian itu. Contonya dalam surat al-Maidah ayat 3 yang artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah...”.
Iqtidlaun Nashh pada ayat ini adalah “memakannya” karena menyandarkan keharaman, makatidak tepat. Sehingga diperkirakanlah lafadh yang sesuai denga apa yang dikehendaki oleh Nashh yaitu kata “memakan”.
b)      Dalalah menurut Imam Syafi’i
1)      Manthuq
Manthuq adalah lafadh yang kandungan hukumnya dapat dipahami dari apa yang diucapkan atau telah terkandung dalam lafadh itu sendiri.[18] Dengan kata lain mantuq adalah makna yang tersurat (terbaca). Contohnya dalam surat al-Maaidah ayat 3, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ ....
                            “diharamkan bagi kamu bangkai dan darah....”
Mantuq dari ayat ini adalah bahwa bangkai hukumnya haram.
2)      Mafhum
Mafhum adalah lafadh yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang terdapat dibalik mantuq-nya.[19] Dengan kata lain mafhum adalah makna yang tersirat.
Mafhum terbagi menjadi dua macam,[20] yaitu:
ü  Mafhum muwafaqah, yaitu menetapkam hukum dari makna yang sejalan dengan makna mantuq- nya. Contohnya dalam surat al-Isra’ ayat 23
وَلَا تَقْرَبُوْاالزِّنٰى ....
 “Dan janganlah kamu mendekati zina...”
Mafhum muwafaqah dari ayat ini adalah haram mendekati zina dan hal-hal yang dapat mengarahkan pada zina, seperti berpacaran.
ü  Mafhum mukhalafah, yaitu menetapkan hukum yang berkebalikan dengan hukum mantuq-nya.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi lima,[21] yaitu:
a.      Mafhum dengan sifat, contohnya dalam hadits Nabi yaitu “pada binatang yang digembalakan direrumputan yang bebas, maka ada zakatnya”, mafhum-nya adalah binatang yang dikandang (diberi makan dengan mengeluarkan biaya) tidak wajib zakat sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi yang artinya: “zakat kambing yang digembalakan apabila ada 40 sampai 120 kambing maka zakatnya satu kambing....(HR.Ahmad, Bukhari, Nasa’i).
b.      Mafhum dengan ghayah, cotohnya dalam surat al-Baqarah ayat 187
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّى يَتَبَيَّنُ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ...
“... makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...”
Mafhum mukhalafa-nya adalah apabila telah teranh benang putih dari benang hitam amaka hentikan makan dan minum yang artinya berpuasa.
c.       Mafhum  dengan syarat. Contohnya dalam al-Qur’an surat at-Talak ayat 6 yang artinya: “...dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya. Mafhum mukhalafah-nya adalah jika istri-istri itu tidak dalam keadaan hamil, maka tidak harus memberi nafkah.
d.      Mafhum dengan bilangan. Contohnya dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 4 yang artinya: “orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh) delapan puluh dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” Mafhum mukhalafah-nya adalah tidak boleh menderanya kurang atau lebih dari delapan puluh.
e.       Mafhum dengan gelar (laqab) contohnya: Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Mafhum mukhalafah-nya adalah selain Muhammad.




BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Muthlaq adalah lafadh yang menunujukkan kepada obyeknya tanpa memperhatikan kepada satuan, jumlah atau sifatnya. Sedangkan Muqayyad adalah lafadh yang menunjukkan kepada hakekat sesuatu yang dibatasi dengan sifat, keadaan, syarat atau ungkapan umum yang dibatasi dengan batasan apa saja tanpa dihubungkan dengan bilangan.
Ditinjau dari kejelasan maknanya, lafad dibagi menjadi 2, yaitu lafadh yang jelas maknanya dan lafadh yang tidak jelas maknanya. Lafadh yang jelas maknanya diantara lain :dzahir, Nash, mufassar dan muhkam. Dan lafadh yang tidak jelas maknanya antara lain :khafi, musykil, mujmal,dan mutasyabih.
Pembahasan tentang dalalah terbagi menjadi 2, yakni :dalalah ghoiru lafdhiyah dan dalalah lafdhiyah. Menurut Hanafiyah, dilalah lafdhiyah terbagi menjadi 4 macam, yakni : Ungkapan nash, Isyarat nash, Petunjuk nash, dan Kehendak nash. Sedangkan menurut Syafi’iyah dilalah lafdhiyah terbagi menjadi 2 macam, yaitu :manthuq dan mafhum.

B.  SARAN
Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu, Penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan tentang ilmu-ilmu yang terdapat dalam Ushul Fiqh, terlebih utama dalam materi/pembahasan al-Qawaid al-Ushuliyah al-Lughawiyah.



DAFTAR PUSTAKA

Hanafie, Ahmad. 1988. Ushul Fiqh. Jakarta : Widjaya.
Arifin, Miftahul. 1997. Ushul Fiqh. Surabaya: Citra Media.
SA, Romli. 1999. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.


[1]A. Hanafie, Ushul Fiqh, ( Jakarta : Widjaya, 1988),  hlm. 74.
[2]Miftahul Arifin, Ushul Fiqh, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm. 230-233.
[3]Ibid, 192.
[4]Ibid, 197.
[5]Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 195
[6]Ibid.
[7]Ibid. hlm. 197.
[8]Ibid.
[9]Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh,(Al-Raudhah, 1998), hlm. 312.
[10]Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hlm. 199
[11]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 155.
[12]Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hlm. 201.
[13]Ibid.  hlm. 202.
[14]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 165.
[15]Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hlm. 204.
[16]Miftahul Arifin, Ushul Fiqh, (Surabaya: Citra Media, 1997), hlm. 171.
[17]Ibid. Hlm. 172
[18]Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm 225
[19]Ibid.
[20]Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2011), hlm. 195
[21]Ibid.