Rabu, 17 September 2014

IJTIHAD

IJTIHAD
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah
ushul fiqh


Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: E:\LOGO UINSA\images.jpg


Oleh :
Annil maghyunia (D92213082)
Dzurotus stimaril fu`adil ula (D92213083)

Dosen Pembimbing:
Bahauddin, S. Pd. I


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013



KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum wr.wb
            Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada allah swt yang telah melimpahkan  rahmat-nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
            Makalah ini berjudul “IJTIHAD” kami susun sebagai pertanggung jawaban tugas mata kuliah ushul fiqih yang telah di berikan oleh dosen mata kuliah tersebut.
            Dan tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
            Kami menyadari makalah ini masih jauh lebih sempurna,oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan,baik dari dosen maupun pembaca.
            Akhirnya,semoga makalah ini dapat berguna sebagaimana mestinya.
Wassalamu`alaikum wr.wb

Surabaya,10 Juni 2013


   Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………i
DAFTAR ISI................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………...1
A.    Latar belakang............................................................................................ 1
B.     Rumusan masalah....................................................................................... 2
C.     Tujuan masalah........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................. 3
A.   Pengertian ijtihad................................................................. 3
B.   Kedudukan ijtihad............................................................... 4
C.   Macam-macam ijtihad.......................................................... 6
D.   Syarat-syarat mujtahid........................................................ 8
E.    Tingkatan-tingkatan mujtahid………………………………...13
F.    Masalah-masalah untuk objek ijtihad………………………...14
BAB III PENUTUP………………………………………...………16
KESIMPULAN……………………………...……………………...16
DAFTAR  PUSTAKA……………………………………………...18



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ketika Nabi Saw akan mengutus Mu’adz ibn Jabl (w. 18 H/629 M) ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu’adz: “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?, Mu’adz menjawab: “Aku akan memutuskannya berdasarkan ketentuan yang termaktub di dalam Kitab Allah (Al-Qur’an)“. Nabi bertanya lagi :“Bagaimana jika didalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?” Mu’adz menjawab: “Dengan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw”.Nabi bertanya lagi: “Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula didalam Sunnah Rasulullah”.Mu’adz menjawab “Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan, lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusanku untuk hal yang melegakanku.
Dari Hadis tersebut di atas, diperoleh kesimpulan, bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah al-Quran dan Sunnah, dalam al-Quran dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad.Karena itu dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad banyak digunakan.Hakikat ajaran al-Quran dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad.Ayat-ayat al-Quran yang jumlahnya lebih dari 6300, hanya lebih kurang 500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan aqidah, ibadah dan muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dan sebagainya, untuk itu ayat- ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.
B.     Rumusan masalah
a.       Apa  pengertian Ijtihad?
b.      Bagaimana kedudukan Ijtihad?
c.       Apa macam-macam ijtihad?
d.      Apa syarat-syarat ijtihad?
e.       Bagaimana tingkatan-tingkatan mujtahid?
f.       Masalah- masalah apa saja yang dijadikan objek Ijtihad?
C.    Tujuan
a.       Menjelaskan pengertian ijtihad
b.      Menjelaskan kedudukan ijtihad
c.       Mengklarifikasi macam-macam ijtihad
d.      Mendeskripsikan syarat-syarat ijtihad
e.       Menjelaskan tingkatan-tingkatan mujtahid
f.       Mengalisis objek yang dijadikan masalah ijtihad









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian ijtihad
Secara bahasa, kata ijtihad berasal dari kata جهد dengan mengikuti wazan ifti’al yang menunjukan arti mubalaghoh (berlebih) dalam perbuatan, yaitu “mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan”.Sedangakan secara istilah pengertian ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Ijtihad dalam istilah ahli ushul fiqh inilah yang banyak dikenal dalam masyarakat.[1]

Dengan kata lain ijtihad adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
Apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sharih (jelas) dan qath’i dari segi sumbernya dan pengertianya yang menunjukan atas hukum syar’inya, maka tidak ada peluang untuk berijtihad di dalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang ditunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’i kedatanganya dan keluarnya dari Allah san Rasul-Nya bukanlah tempat suatu pembahasan dan penumpahan jerih payah.

Pada materi 29 dari Lembaga Struktur Mahkamah Ahliyyah (Mesir) disebutkan, bahwasanya : “Jika tidak ditemukan nash yang jelas dalam undang-undang maka hakim memutuskan sesuai dengan tuntutan keadilan”.[2]

B.     Kedudukan  ijtihad
Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat.Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad.Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil.Ulama ushul fiqih memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad.Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu.Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat.Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul.Sekalipun sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih.Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam arti sempit.Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya.Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung.Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya.Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis.Umar Ibnu Khatthab dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat.Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan.Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara.Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan.Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk ber-ijtihad. Kedudukan ijtihad Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut:
a.       Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b.      Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain
c.       Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah
d.      Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
e.       Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan.
C.    Macam-macam ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami`i.
1.      Ijtihad fardi
Adalah setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara. Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh nabi Muhammad kepada muazd ketika beliau mengutus muadz untuk menjadi qa`di di yaman. Dan sesuai pula ijtihad yang pernah umar bi khattab katakan kepada Abu Musa Al-asyari, kepada syuraikh dimana beliau (umar) dengan tegas mengatakan kepada Syuraikh:
مَا لَمْ يَتَبَيَّنْ لَكَ فِيْ السُّنَّةِ فَاجْتَهِدْ فِيْهِ رَأْيَكَ
Dan kata umar kepada Abu Musa Al-asyari:
أَعْرِفِ الْاَشْبَاهَ وَالْاَمْثَالَ وَقِسِ الْأُمُوْرِ عِنْدَ ذَلِكَ
Artinya :“kenalilah penyerupaan-penyerupaan ,tamsilah-tamsilah dan qiyaskanlah segala urusan sesudah itu”.
2.      Ijtihad jami`i
Adalah semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujahidin.Ijtihad yang dimaksud semacam ini oleh hadist ali pada waktu beliau menanyakan kepada rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak dikemukakan hukumnya dalam al-qur`an dan as-sunnah. Ketika itu nabi bersabda:
                                                         اِجْمَعُوْا لَهُ الْعَامِلِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَاجْعَلُوْهُ شُوْرى بَيْنَكُمْ فِيْهِ بِرَأْيٍ وَاحِدٍ
Artinya: “kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin  untuk memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang”.
 Disamping itu umar bin khattab juga pernah berkata kepada syuraikh:
وَاسْتَشِرْ أَهْلَ الْعِلْمِ وَالصَّلاَحِ
Artinya: “dan bermusyawarahlah (bertukar pikiran) dengan orang-orang yang shaleh”.
Diriwayatkan oleh maimun bin mihram bahwasanya abu bakar dan umar apabila menghadapi suatu hal yang tidak ada hukumnya dalam al-qur`an dan as-sunnah, maka keduanya mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan menanyakan kepada mereka. Apabila mereka telah menyepakati suatu pendapat merekapun menyelesaikan hal itu dengan pendapat tersebut.
Contoh lain dari ijtihad jami`I adalah kesepakatan sahabat ketika mendukung atau mengangkat abu bakar sebagai khalifah dan kesepakatan mereka terhadap tindakan abu bakar yang menunjuk umar sebagai penggantinya. Juga kesepakatan mereka dalam menerima anjuran umar supaya al-qur`an di tulis di dalam mushaf, padahal yang demikian itu belum pernah dilakukan oleh rasul.
Kedua macam ijtihad itu dibenarkan oleh syara` dan sangat dihargai. Imam abul hasan Muhammad bin yusuf  berkata: “sesungguhnya nash-nash agama walaupun banyak namun memiliki keterbatasan dalam arti tidak dapat menerima tambahan-tambahan lagi sedangkan kejadian yang dihadapi manusia tidak berkesudahan, masa untuk menghadapi kejadian-kejadian itu perlu kembali pada ijtihad terhadap satu hal yang tidak dapat kita hindari di dalam menghadapi setiap perkembangannya”.
Dengan demikian benarlah apa yang dikatakan oleh para ulama-ulama hambali bahwa tak satu masa pun berlalu didunia ini kecuali didalamnya ada orang-orang yang mampu berijtihad.
Dengan adanya orang berijtihad tersebut agama akan terjaga dan upaya pengecau agamapun dapat dicegah. Imam abu zahrah berkata, “kita tidak tahu siapa yang dapat menutup pintu yang telah dibuka oleh allah bagi perkembangan akal dan pikiran manusia. Bila ada orang berkata pintu ijtihad tertutup maka harus menyertai dalilnya”.
Pendapat tersebut diatas berdasarkan hal-hal berikut: [3]
a.       Beberapa ayat al-qur`an memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya dengan bebas atau dengan kata lain islam menjamin hurriyatul fikri wal aqli.
b.      Al-qur`an dan as-sunnah memberikan bimbingan kepada manusia supaya akal dan pikirannya tidak tersesat, dan juga memerintahkan supaya hidupnya manusia selalu mencari ilmu.
c.       Al-qur`an tetap utuh dan terpelihara selamanya.
d.      Bahan-bahan untuk memurnikan hadist dan sunnah nabi semakin lengkap.
e.       Ilmu alat untuk berijtihad semakin lengkap sehingga memberikan kemudahan.
D.    Syarat-syarat mujtahid
Pada zaman yang semakin berkembang dan hukum islam yang semakin fleksibel seorang mujtahid di tuntut untuk bisa memenuhi syarat yang akan sampai pada derajat mujtahid, tapi dalam hal ini para ulama masih berbeda pendapat tentang pensyaratan terhadap seorang mujtahid, tapi semua itu bermuara/ mempunyai inti yang sama. Di bawah ini ada beberapa ulama-ulama terkemuka yang berargument mengenai pensyaratan terhadap sesorang mujtahid diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Imam ghozali dalam mensyaratkan terhadap seorang mujtahid ada dua syarat, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu, seorang mujtahid juga di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di dahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang wajib di akhirkan.
b.      Seorang mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan ma’siat yang bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak ‘adil maka hasil ijtihadnya tidak syah atau tidak boleh untuk di jadikan sebuah pegangan oleh orang awam.
2.      Menurut imam as-syatiby seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid harus bisa memenuhi dua syarat di bawah ini:
a.       Bisa memahami tujuan syariat secara sempurna
b.      Bisa menggali suatu hukum atas dasar pemahaman seorang mujtahid.
3.      Menurut الامام الامدي والبيضويini seorang mujtahid harus memenuhi beberapa syarat di antaranya adalah sebagai berikut:
a.       Seorang mujtahid harus mukallaf, iman kepada allah SWT dan rosululloh SAW.
b.      Seorang mujtahid harus bisa memahami dan mengerti tentang hukum syariat islam serta dalil yang menunjukan pada keabsahan hukum syariat tersebut.
Selain dari pendapat 3 ulama terkemuka tersebut para ulama ushul fiqih juga telah menetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Mengetahui Bahasa Arab
Mengetahui bahasa yang baik sangatlah di perlukan oleh seorang mujtahid.Sebab Al-Qur’an di turunkan dengan bahasa arab, dan As-Sunnah juga di paparkan dengan bahasa arab,[4]keduanya merupakan sumber utama hukum islam sehingga seorang mujtahid tidak mungkin bisa menggali sebuah hukum tanpa memahami bahasa arab dengan baik.Menurut al-syaukani(ahli ushul dari yaman)tuntutan bagi seorang mujtahid dalam menguasai bahasa arab seperti nahwu,shorof dan lain sebagainya.
b.      Mempunyai pengetahuan yang Mendalam tentang Al-Qur’an
Maksudnya adalah mengetahui Al-Qur’an dengan segala ilmu yang terkait dengannyaseperti nasih mansuh,’Am, khosh dan lain sebagainya.Mengenai ayat-ayat al-qur’an yang harus di hafal oleh seorang mujtahid yang berkaitan dengan hukum para ulama ushul fiqih masih berbeda pendapat. Dalam kaitan ini imam ghozali berpendapat bahwa ayat-ayat al-qur’an yang secara  rinci membicarakan tentang hukum hanya ada 500 ayat.Namun bukan berarti ayat lainnya tidak mengandung hukum yang dapat di istimbatkan, karena setiap ulama  memahami al-qur ‘an secara seksama akan bisa beristimbath hukum dengan ayat yang mana saja.Dengan demikian ,jumlah ayat hukum yang di ketengahkan oleh imam al-ghozali tersebut hanyalah sebuah perkiraan dan hanya melihat pada ayat-ayat al-qur’an secara rinci saja. Oleh kerena itu untuk menghindari kesalah pahaman tersebut wahbah al-zuhaili mengemukakan bahwa seorang mujtahid di syaratkan memahami ayat-ayat hukum secara baik dan benar.
c.       Mempunyai Pengetahuan yang Memadai tentang As-Sunnah[5]
Pengetahuan tentang al-sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya harus di miliki oleh seorang mujtahid.Sebab Al-sunnah merupakan sumber kedua hukum syara’ di samping al-qur’an yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasnya. Pengetahuan tentang al-sunnah ini meliputi: dirayah, riwayah, asbab al-wurud, dan al-jarh wa al-ta’dil. Dalam kaitan ini seorang dititikberatkan kepada pemahaman hadits-hadits yang mengandung hukum.Disini para ulama berbeda pendapat tentang pensyaratan terhadap seorang mujtahid untuk menghafal seluruh hadits hukum yang jumlahnyapun masih di perselisihkan antara 3.000, 1.200, 500, dan 300 hadits. Dalm hal ini Sayyid muhammad Musa tidak mengharuskan bagi seorang mujtahid untuk menghafal seluruh hadits hukum, ia hanya mensyaratkan bagi seorang mujtahid untuk memiliki kemampuan dalam mambahas hadits-hadits hukum yang ada dalam kitab shoheh serta mampu melakukan penelitian terhadap kualitas hadits tersebut.
d.      Mengatahui Tujuan dari Syariat Islam
Pengetahuan tentang tujuan syari’at islam sangatlah di perlukan bagi seoarang mujtahid, hal ini di sebabkan karena semua keputusan hukum harus selaras dengan tujuan syari’at islam yang secara garis besar adalah untuk memberi rahmat kepada alam semesta,khususnya untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu hukum yang di tetapkan seoarang mutahid harus mampu memelihara tiga tingkatan kemaslahatan manusia yaitu primer, skunder, dan tersier.Seperti menghilangkan kesulitan dan mencegah kesempitan, serta memilih kemudahan dan meninggalkan kesukaran. Jika kesukaran (masaqah) terpaksa di berlakukan dalam tuntutan syari’at islam, maka pada hakikatnya hal itu untuk menolak datangnya masaqah yang lebih besar.
e.       Memiliki Pemahaman dan Penalaran yang Benar
Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus di miliki oleh seorang mujtahid agar produk  ijtihadnya bisa di pertanggung jawabkan secara ilmiah di kalangan masyarakat. Dalam kaitan ini mujtahid harus mengetahui batasan-batasan, argumentasi, sistematika, dan proses menuju konsklusi hukum agar pendapatnya terhindar dari kesalahan.
f.       Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih
Penguasaan secara mendalam tantang ushul fiqih merupakan kewajiban setiap mujtahid. Hal ini di sebabkan  karena  kajian ushul fiqih antara lain memuat bahasan mengenai metode ijtihad yang harus di kuasai oleh siapa saja yang ingin beristimbat hukum. Di samping mengkaji tentang kaidah kebahasaan seperti amar, nahi, ‘am, khos, juga mengkaji tentang metode maqasid al-syar’iah seperti ijma’, qiyas, istikhsan, maslakhah mursalah,’urf dan sebagainya.Oleh karena itu Fakhruddin Al-Razi menegaskan bahwa ilmu yang paling penting untuk di kuasai seorang mujtahid adalah ilmu ushul fiqih.Dalam kaitan ini Al-Ghozali juga mengatakan bahwa yang paling penting dari ilmu ijtihad adalah ushul fiqih
g.      Niat dan I’tiqad yang benar
Seorang mujtahid harus niat ikhlas dengan mencari ridho allah SWT, hal ini di sebabkan karena seorang mujtahid yang mempunyai niat  tidak ikhlas sekalipun daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan pikirannya sangat besar sehingga berakibat kesalahan produk ijtihadnya.Bahkan lebih dari itu dia akan mempertahankan hasil ijtihadnya sekalipun ada pendapat lain yang lebih kuat dalinya. Padahal para imam mujtahid terdahulu telah memeberi contoh untuk menerima pendapat orang lain secara obyektif. Dalam hal ini mereka mengatakan “pendapat kami adalah sebuiah kebenaran yang mengandung kesalahan dan pendapat orang lain adalah sebuah kesalahan yang mengandung kebenaran,”
Persyaratan diatas merupakan persyaratan kepribadian yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Disamping persyaratan tersebut para ulama ushul fiqih juga memberi persyaratan lain seperti dewasa, beragama islam, dan sehat pikirannya. Pesyaratan yang terakhir ini disebut dengan “ Assyurut ammah” atau syarat-syarat umum. Dewasa merupakan persyaratan yang harus dipenuhi seseorang yang akan beristimbath hukum karena anak kecil masih belum memiliki kecakapan bertindak hukum, sehingga perbuatan yang ia lakukan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Demikian pula seorang mujtahid harus beragama islam, karena hukum yang digali adalah hukum islam, sehingga selain umat islam jika beristimbath hukum islam dikhawatirkan akan membawa kesesatan. Selanjutnya, seorang mujtahid juga harus dalam kondisi sehat pikirannya, sebab seseoarang yang kondisi akalanya tidak sehat justru akan memberi informasi yang diluar kontrol akalnya. Itulah syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid,sehingga hasil ijtihadnya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar keilmuan yang ada.



E.     Tingakatan –tingkatan mujtahid
Menurut ahli usul fiqih, hanya orang–orang yang memenuhi persyaratan-persyaratanlah yang yang berhak menyandang predikat mujtahid.Namun mereka membedakan derajat mujtahid  dalam beberapa martabat, dari tingkatan tertinggi hingga tingkat terendah.Beberapa tingkatan mujtahid yang dimaksud adalah:
1.      Mujtahid mustaqil,yaitu mujtahid yang mampu mengali hukum-hukum syariat langsung dari sumbernya yang terpokok (Al-quran dan hadist) dan dalam mengistimbatan hukun ia mempuyai dasar-dasar istimbat mujtahid lain.Mujtahid mustaqil ini juga disebut mujtahid mutlaq, yakni mujtahid yang mempunyai kesanggupan untuk mengistimbatkan hukum-hukum syariat dari al-quran dan hadist tanpa terikat pendapat mujtahid yang lain.
2.      Mujtahid munsabit,yaitu mujtahis yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) imam mazhab tertentu walaupun dalam masalah-masalah furu`dia berbeda pendapat dengan imamnya.
3.      Mujtahid mazhab,yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhabnya baik masalah usul maupun furu` .Kalaupun ia melakukan ijtihad ,ijtihadnya ini terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak ia peroleh dari imam mazhab yang dianutnya.
4.      Mujtahid murajjih,yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu` akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat.
5.      Mujtahid  mustadil,yaitu ulama yang tidak mengadakan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada ,akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangakan mana yang patut diikuti tanpa  melakukan tajrihterlebih dahulu.[6]

F.     Masalah-masalah untuk objek ijitihad
Hal-hal yang dapat dijadikan obyek ijtihad bagi para mujtahid dapat dikelompokkan menjadi 2 macam:
1.      Hal yang memang nash nya sudah ada.
Dalam hal ini yeng menjadi objeknya terbatas pada sekedar nash dan mujtahid tidak boleh melampaui batas-batas yang membuat munculnya beberapa kemungkinan dalam dilalah (pengertian) yang telah ditunjuk oleh nash itu sendiri. Hal ini dapat dilihat adanya nash yang keadaannya sebagai berikut:
a.       Keadaan nash itu berupa al-qur`an atau hadist mutawatir.[7]Jika kedudukannya bersifat dzanni dan dilalahnya bersifat qath`I, maka obyek ijtihad para mujtahid adalah melakukan penelitian hokum yang hanya pada sisi dilalahnya (pengertian), dalam artian: kedudukan yang terkandung didalamnya.     ``
b.      Keadaan nash nya berupa hadist. Jika demikian maka yang perlu dilihat adalah:
a)      Jika kedudukannya bersifat dzanni dan dilalahnya bersifat qath`I, maka obyek ijtihad hanya terbatas pada penelitian terhadap keshahihan sanad hadist dan hal-hal yang berhubungan dengan matannya.[8]
b)      Jika kedudukan dan dilalahnya sama-sama bersifat dzanni,maka objek para mujtahid terbatas pada hal-hal yang masih ada hubungannya dengan keadaan nash,sekalipun dilalahnya menunjukan adanya beberapa alternative.
2.      Hal-hal yang memang nashnya benar-benar tidak ditemukan, bahkan tidak ada sama sekali.[9]
Jika demikian, para mujtahid bebas dan tidak terikat, sehingga untuk menemukan dan menentukan hokum, diberikan suatu kebebasan-kebebasan untuk mengadakan penelitian dengan menggunakan berbagai macam bentuk metode, seperti: qiyas, maslahah mursalah, istihsan, urf dan sebagainya.Keadaan kedua yang tanpa adanya nash inilah, hasil para mujtahid yang berbeda-beda, sesuai dengan pandangan dan metode pengambilan hokum yang dipakai, tetapi tidak perlu diperdebatkan yang sampai dalam melemahkan syari`ah islam sendiri, sebab dengan cara ini, dapat dijadikan sebagai bukti akan adanya sifat kelestarian dan fleksibilitas syari`ah islam itu sendiri.















BAB III
KESIMPULAN
Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
Sedangkan Kedudukan ijtihad Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut:
a.       Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b.      Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain
c.       Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah
d.      Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
e.       Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan.
Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas  dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad.
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu :
  1. Mengetahui Bahasa Arab
  2. Mempunyai pengetahuan yang Mendalam tentang Al-Qur’an
  3. Mempunyai Pengetahuan yang Memadai tentang As-Sunnah
  4. Mengatahui Tujuan dari Syariat Islam
  5. Memiliki Pemahaman dan Penalaran yang Benar
  6. Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih
  7. Niat dan I’tiqad yang benar
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Beberapa tingkatan mujtahid adalah:
1.       Mujtahid Mustaqil
2.       Mujtahid Muntasit
3.       Mujtahid Madzab
4.       Mujtahid Murajjih
5.       Mujtahid Mustadil









DAFTAR PUSTAKA

Abu zahro, Muhammad,1985, usul fiqih. Damaskus: Daar al-fikr.
Al-syaukani. Irsyad al-fukhul. Beirut: daar al-fikr, tt
Mu’allim Yusdani,Amir,2004, Ijtihad dan legislasi,Yogyakarta: UII PRESS
Umam,Khoirul ,2001, Ushul fiqih II, Bandung:cv putaka setia
Wahhab Khallaf,Abdul,1994, Ilmu Ushul Fiqh,Semarang: Toha Putra Group
Shidiq, Sapiudin, 2011, ushul fiqh, Jakarta: kencana



[1] Amir Mu’allim Yusdani,2004, Ijtihad dan legislasi,Yogyakarta: UII PRESS, hlm.12
[2]Abdul Wahhab Khallaf,1994, Ilmu Ushul Fiqh,Semarang: Toha Putra Group,hlm.340
[3] Khoirul umam dkk,2001, Ushul fiqih II, Bandung:cv putaka setia.Hlm.138
4 Muhammad Abu zahro,1985,usul fiqih,Hlm.586
[5]Amir mu`allim yusdani,2004,Ijtihad dan legislasi muslim kontemporer,Yogjakarta:UII press,Hlm.63
[6]Ibid.Hlm.59
[7]Wahbah, ushul juz II, Hlm.1082
[8]Al-syaukani irsyad, op.cit.hal. 2588
[9] Ibid, Hlm.1220

Tidak ada komentar:

Posting Komentar