IJTIHAD
“ushul fiqh”

Oleh :
Annil maghyunia
(D92213082)
Dzurotus stimaril fu`adil ula (D92213083)
Dosen
Pembimbing:
Bahauddin, S. Pd. I
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum wr.wb
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada allah swt yang telah
melimpahkan rahmat-nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini berjudul “IJTIHAD” kami susun sebagai
pertanggung jawaban tugas mata kuliah ushul fiqih yang telah di berikan oleh
dosen mata kuliah tersebut.
Dan tidak lupa kami sampaikan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih
jauh lebih sempurna,oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan,baik dari dosen maupun pembaca.
Akhirnya,semoga makalah ini dapat
berguna sebagaimana mestinya.
Wassalamu`alaikum wr.wb
Surabaya,10 Juni
2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………i
DAFTAR ISI................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………...1
A.
Latar belakang............................................................................................ 1
B.
Rumusan masalah....................................................................................... 2
C.
Tujuan masalah........................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN.............................................................. 3
A.
Pengertian ijtihad................................................................. 3
B.
Kedudukan ijtihad............................................................... 4
C.
Macam-macam ijtihad.......................................................... 6
D.
Syarat-syarat mujtahid........................................................ 8
E.
Tingkatan-tingkatan
mujtahid………………………………...13
F.
Masalah-masalah untuk objek
ijtihad………………………...14
BAB III
PENUTUP………………………………………...………16
KESIMPULAN……………………………...……………………...16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………...18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Ketika Nabi Saw akan mengutus Mu’adz
ibn Jabl (w. 18 H/629 M) ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau
bertanya kepada Mu’adz: “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan
suatu perkara yang harus diputuskan?, Mu’adz menjawab: “Aku akan
memutuskannya berdasarkan ketentuan yang termaktub di dalam Kitab Allah
(Al-Qur’an)“. Nabi bertanya lagi :“Bagaimana jika didalam Kitab Allah
tidak terdapat ketentuan tersebut?” Mu’adz menjawab: “Dengan berdasarkan
Sunnah Rasulullah Saw”.Nabi bertanya lagi: “Bagaimana jika ketentuan
tersebut tidak terdapat pula didalam Sunnah Rasulullah”.Mu’adz menjawab “Aku
akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa
putusan, lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah kemudian menepuk dadaku
seraya mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada
utusanku untuk hal yang melegakanku.
Dari Hadis tersebut di atas,
diperoleh kesimpulan, bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah al-Quran dan
Sunnah, dalam al-Quran dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka
diusahakan hukumnya melalui ijtihad.Karena itu dalam sejarah pemikiran Islam,
ijtihad banyak digunakan.Hakikat ajaran al-Quran dan hadis memang menghendaki
digunakannya ijtihad.Ayat-ayat al-Quran yang jumlahnya lebih dari 6300, hanya
lebih kurang 500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan aqidah,
ibadah dan muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran
dasar tanpa penjelasan lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara
pelaksanaannya dan sebagainya, untuk itu ayat- ayat tersebut perlu dijelaskan
oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits, yaitu pada mulanya
sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat Nabi dan para Ulama
itu diberikan melalui ijtihad.
B.
Rumusan masalah
a.
Apa pengertian Ijtihad?
b.
Bagaimana
kedudukan Ijtihad?
c.
Apa
macam-macam ijtihad?
d.
Apa
syarat-syarat ijtihad?
e.
Bagaimana
tingkatan-tingkatan mujtahid?
f.
Masalah-
masalah apa saja yang dijadikan objek Ijtihad?
C.
Tujuan
a.
Menjelaskan
pengertian ijtihad
b.
Menjelaskan
kedudukan ijtihad
c.
Mengklarifikasi
macam-macam ijtihad
d.
Mendeskripsikan
syarat-syarat ijtihad
e.
Menjelaskan
tingkatan-tingkatan mujtahid
f.
Mengalisis
objek yang dijadikan masalah ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ijtihad
Secara bahasa, kata ijtihad berasal
dari kata جهد dengan mengikuti wazan ifti’al yang menunjukan arti mubalaghoh (berlebih)
dalam perbuatan,
yaitu “mencurahkan
segala kemampuan dalam segala perbuatan”.Sedangakan secara istilah pengertian
ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah “pengerahan
segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum-hukum syara’. Ijtihad dalam istilah ahli ushul fiqh inilah yang
banyak dikenal dalam masyarakat.[1]
Dengan kata lain ijtihad adalah upaya
untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi
suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau
membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu
situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
Apabila kasus yang hendak diketahui
hukumnya telah ada dalil yang sharih (jelas) dan qath’i dari segi sumbernya dan
pengertianya yang menunjukan atas hukum syar’inya, maka tidak ada peluang untuk
berijtihad di dalamnya. Yang wajib adalah melaksanakan pengertian yang
ditunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’i kedatanganya dan
keluarnya dari Allah san Rasul-Nya bukanlah tempat suatu pembahasan dan
penumpahan jerih payah.
Pada materi 29 dari Lembaga Struktur
Mahkamah Ahliyyah (Mesir) disebutkan, bahwasanya : “Jika tidak ditemukan nash
yang jelas dalam undang-undang maka hakim memutuskan sesuai dengan tuntutan
keadilan”.[2]
B.
Kedudukan ijtihad
Ijtihad
diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih),
dan falsafat.Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai
kedudukan hasil ijtihad.Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka
tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil.Ulama ushul fiqih
memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i,
sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad.Mereka mengatakan bahwa kebenaran
mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu.Sebaliknya, golongan mutakalimin
memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat
mutasyabihat.Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan
ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, kalaupun
melakukan kekeliruan, ia tetap mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut
ditolak oleh ulama ushul.Sekalipun sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid
itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih.Menurut Harun
Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas adalah ijtihad
dalam arti sempit.Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang
politik, akidah, tasawuf, dan falsafah.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman
Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang.
Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah,
baik bentuk maupun macamnya.Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan
bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah
(tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung.Secara pasti dapat
diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya.Apabila nashnya sudah berakhir,
sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala
sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak
terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad
mengenainya.
Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman
Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk
ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan
ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an
dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga
pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan
ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis.Umar Ibnu Khatthab dipandang
sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang
sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat.Mereka melaksanakan
kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai
peperangan.Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika
Utara.Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan
sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan.Keadaan seperti
itu mendorong pemuka sahabat untuk ber-ijtihad. Kedudukan ijtihad Berbeda
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan
sebagi berikut:
a.
Pada
dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang
relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada
suatu ijtihad pun adalah relatif.
b.
Sesuatu
keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi
tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak
berlaku pada masa / tempat yang lain
c.
Ijtihad
tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah
d.
Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
e.
Dalam
proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,
kemaslahatan.
C.
Macam-macam ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad
fardi dan ijtihad jami`i.
1.
Ijtihad
fardi
Adalah setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau
beberapa orang namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain
menyetujuinya dalam suatu perkara. Ijtihad semacam inilah yang pernah
dibenarkan oleh nabi Muhammad kepada muazd ketika beliau mengutus muadz untuk
menjadi qa`di di yaman. Dan sesuai pula ijtihad yang pernah umar bi khattab
katakan kepada Abu Musa Al-asyari, kepada syuraikh dimana beliau (umar) dengan
tegas mengatakan kepada Syuraikh:
مَا
لَمْ يَتَبَيَّنْ لَكَ فِيْ السُّنَّةِ فَاجْتَهِدْ فِيْهِ رَأْيَكَ
Dan kata umar kepada Abu Musa Al-asyari:
أَعْرِفِ
الْاَشْبَاهَ وَالْاَمْثَالَ وَقِسِ الْأُمُوْرِ عِنْدَ ذَلِكَ
Artinya :“kenalilah
penyerupaan-penyerupaan ,tamsilah-tamsilah dan qiyaskanlah segala urusan
sesudah itu”.
2.
Ijtihad
jami`i
Adalah
semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujahidin.Ijtihad
yang dimaksud semacam ini oleh hadist ali pada waktu beliau menanyakan kepada
rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak dikemukakan
hukumnya dalam al-qur`an dan as-sunnah. Ketika itu nabi bersabda:
اِجْمَعُوْا
لَهُ الْعَامِلِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَاجْعَلُوْهُ شُوْرى بَيْنَكُمْ فِيْهِ
بِرَأْيٍ وَاحِدٍ
Artinya: “kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang
mukmin untuk memecahkan masalah itu dan
jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah
kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang”.
Disamping itu umar bin khattab juga pernah
berkata kepada syuraikh:
وَاسْتَشِرْ
أَهْلَ الْعِلْمِ وَالصَّلاَحِ
Artinya: “dan
bermusyawarahlah (bertukar pikiran) dengan orang-orang yang shaleh”.
Diriwayatkan
oleh maimun bin mihram bahwasanya abu bakar dan umar apabila menghadapi suatu
hal yang tidak ada hukumnya dalam al-qur`an dan as-sunnah, maka keduanya
mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan menanyakan kepada mereka. Apabila
mereka telah menyepakati suatu pendapat merekapun menyelesaikan hal itu dengan
pendapat tersebut.
Contoh
lain dari ijtihad jami`I adalah kesepakatan sahabat ketika mendukung atau
mengangkat abu bakar sebagai khalifah dan kesepakatan mereka terhadap tindakan
abu bakar yang menunjuk umar sebagai penggantinya. Juga kesepakatan mereka
dalam menerima anjuran umar supaya al-qur`an di tulis di dalam mushaf, padahal
yang demikian itu belum pernah dilakukan oleh rasul.
Kedua
macam ijtihad itu dibenarkan oleh syara` dan sangat dihargai. Imam abul hasan
Muhammad bin yusuf berkata:
“sesungguhnya nash-nash agama walaupun banyak namun memiliki keterbatasan dalam
arti tidak dapat menerima tambahan-tambahan lagi sedangkan kejadian yang
dihadapi manusia tidak berkesudahan, masa untuk menghadapi kejadian-kejadian
itu perlu kembali pada ijtihad terhadap satu hal yang tidak dapat kita hindari
di dalam menghadapi setiap perkembangannya”.
Dengan
demikian benarlah apa yang dikatakan oleh para ulama-ulama hambali bahwa tak
satu masa pun berlalu didunia ini kecuali didalamnya ada orang-orang yang mampu
berijtihad.
Dengan
adanya orang berijtihad tersebut agama akan terjaga dan upaya pengecau agamapun
dapat dicegah. Imam abu zahrah berkata, “kita tidak tahu siapa yang dapat
menutup pintu yang telah dibuka oleh allah bagi perkembangan akal dan pikiran
manusia. Bila ada orang berkata pintu ijtihad tertutup maka harus menyertai
dalilnya”.
a.
Beberapa
ayat al-qur`an memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya dengan bebas atau
dengan kata lain islam menjamin hurriyatul fikri wal aqli.
b.
Al-qur`an
dan as-sunnah memberikan bimbingan kepada manusia supaya akal dan pikirannya
tidak tersesat, dan juga memerintahkan supaya hidupnya manusia selalu mencari
ilmu.
c.
Al-qur`an
tetap utuh dan terpelihara selamanya.
d.
Bahan-bahan
untuk memurnikan hadist dan sunnah nabi semakin lengkap.
e.
Ilmu
alat untuk berijtihad semakin lengkap sehingga memberikan kemudahan.
D.
Syarat-syarat mujtahid
Pada
zaman yang semakin berkembang dan hukum islam yang semakin fleksibel seorang
mujtahid di tuntut untuk bisa memenuhi syarat yang akan sampai pada derajat
mujtahid, tapi dalam hal ini para ulama masih berbeda pendapat tentang
pensyaratan terhadap seorang mujtahid, tapi semua itu bermuara/ mempunyai inti
yang sama. Di bawah ini ada beberapa ulama-ulama terkemuka yang berargument
mengenai pensyaratan terhadap sesorang mujtahid diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Imam
ghozali dalam mensyaratkan terhadap seorang
mujtahid ada dua syarat, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Seorang
mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu, seorang
mujtahid juga di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di dahulukan dan
mengakhirkan sesuatu yang wajib di akhirkan.
b.
Seorang
mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan ma’siat yang bisa
menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi
pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak ‘adil maka hasil
ijtihadnya tidak syah atau tidak boleh untuk di jadikan sebuah pegangan oleh
orang awam.
2. Menurut imam as-syatiby
seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid harus bisa memenuhi dua syarat di
bawah ini:
a. Bisa memahami tujuan syariat secara
sempurna
b. Bisa menggali suatu hukum atas dasar
pemahaman seorang mujtahid.
3.
Menurut
الامام الامدي والبيضويini
seorang mujtahid harus memenuhi beberapa syarat di antaranya adalah sebagai
berikut:
a.
Seorang
mujtahid harus mukallaf, iman kepada allah SWT dan rosululloh SAW.
b.
Seorang
mujtahid harus bisa memahami dan mengerti tentang hukum syariat islam serta
dalil yang menunjukan pada keabsahan hukum syariat tersebut.
Selain dari pendapat 3 ulama terkemuka tersebut para ulama ushul
fiqih juga telah menetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang
mujtahid sebelum melakukan ijtihad diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Mengetahui
Bahasa Arab
Mengetahui bahasa yang baik sangatlah di perlukan oleh
seorang mujtahid.Sebab Al-Qur’an di turunkan dengan bahasa arab, dan As-Sunnah
juga di paparkan dengan bahasa arab,[4]keduanya merupakan sumber utama
hukum islam sehingga seorang mujtahid tidak mungkin bisa menggali sebuah hukum
tanpa memahami bahasa arab dengan baik.Menurut al-syaukani(ahli ushul dari
yaman)tuntutan bagi seorang mujtahid dalam menguasai bahasa arab seperti nahwu,shorof
dan lain sebagainya.
b.
Mempunyai pengetahuan yang Mendalam tentang
Al-Qur’an
Maksudnya adalah mengetahui Al-Qur’an
dengan segala ilmu yang terkait dengannyaseperti nasih mansuh,’Am, khosh
dan lain sebagainya.Mengenai ayat-ayat al-qur’an yang harus di hafal oleh
seorang mujtahid yang berkaitan dengan hukum para ulama ushul fiqih masih
berbeda pendapat. Dalam kaitan ini imam ghozali berpendapat bahwa ayat-ayat
al-qur’an yang secara rinci membicarakan
tentang hukum hanya ada 500 ayat.Namun bukan
berarti ayat lainnya tidak mengandung hukum yang dapat di istimbatkan, karena
setiap ulama memahami al-qur ‘an secara
seksama akan bisa beristimbath hukum dengan ayat yang mana saja.Dengan demikian
,jumlah ayat hukum yang di ketengahkan oleh imam al-ghozali tersebut
hanyalah sebuah perkiraan dan hanya melihat pada ayat-ayat al-qur’an secara
rinci saja. Oleh kerena itu untuk menghindari kesalah pahaman tersebut wahbah
al-zuhaili mengemukakan bahwa seorang mujtahid di syaratkan memahami
ayat-ayat hukum secara baik dan benar.
Pengetahuan tentang al-sunnah dan hal-hal yang terkait
dengannya harus di miliki oleh seorang mujtahid.Sebab Al-sunnah merupakan
sumber kedua hukum syara’ di samping al-qur’an yang sekaligus berfungsi sebagai
penjelasnya. Pengetahuan tentang al-sunnah ini meliputi: dirayah, riwayah,
asbab al-wurud, dan al-jarh wa al-ta’dil. Dalam kaitan ini seorang
dititikberatkan kepada pemahaman hadits-hadits yang mengandung hukum.Disini
para ulama berbeda pendapat tentang pensyaratan terhadap seorang mujtahid untuk
menghafal seluruh hadits hukum yang jumlahnyapun masih di perselisihkan antara
3.000, 1.200, 500, dan 300 hadits. Dalm hal ini Sayyid muhammad Musa
tidak mengharuskan bagi seorang mujtahid untuk menghafal seluruh hadits hukum,
ia hanya mensyaratkan bagi seorang mujtahid untuk memiliki kemampuan dalam
mambahas hadits-hadits hukum yang ada dalam kitab shoheh serta mampu melakukan
penelitian terhadap kualitas hadits tersebut.
d.
Mengatahui
Tujuan dari Syariat Islam
Pengetahuan tentang tujuan syari’at islam sangatlah di
perlukan bagi seoarang mujtahid, hal ini di sebabkan karena semua keputusan
hukum harus selaras dengan tujuan syari’at islam yang secara garis besar adalah
untuk memberi rahmat kepada alam semesta,khususnya untuk kemaslahatan umat
manusia. Oleh karena itu hukum yang di tetapkan seoarang mutahid harus mampu
memelihara tiga tingkatan kemaslahatan manusia yaitu primer, skunder, dan
tersier.Seperti menghilangkan kesulitan dan mencegah kesempitan, serta
memilih kemudahan dan meninggalkan kesukaran. Jika kesukaran (masaqah)
terpaksa di berlakukan dalam tuntutan syari’at islam, maka pada hakikatnya hal
itu untuk menolak datangnya masaqah yang lebih besar.
e.
Memiliki
Pemahaman dan Penalaran yang Benar
Pemahaman
dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus di miliki oleh
seorang mujtahid agar produk ijtihadnya
bisa di pertanggung jawabkan secara ilmiah di kalangan masyarakat. Dalam kaitan
ini mujtahid harus mengetahui batasan-batasan, argumentasi, sistematika, dan
proses menuju konsklusi hukum agar pendapatnya terhindar dari kesalahan.
f.
Memiliki
pengetahuan tentang Ushul Fiqih
Penguasaan secara mendalam tantang ushul fiqih merupakan
kewajiban setiap mujtahid. Hal ini di sebabkan
karena kajian ushul fiqih antara
lain memuat bahasan mengenai metode ijtihad yang harus di kuasai oleh siapa
saja yang ingin beristimbat hukum. Di samping mengkaji tentang kaidah
kebahasaan seperti amar, nahi, ‘am, khos, juga mengkaji tentang metode maqasid
al-syar’iah seperti ijma’, qiyas, istikhsan, maslakhah mursalah,’urf dan
sebagainya.Oleh
karena itu Fakhruddin Al-Razi menegaskan bahwa ilmu yang paling penting
untuk di kuasai seorang mujtahid adalah ilmu ushul fiqih.Dalam kaitan ini Al-Ghozali
juga mengatakan bahwa yang paling penting dari ilmu ijtihad adalah ushul fiqih
g.
Niat
dan I’tiqad yang benar
Seorang mujtahid harus niat ikhlas dengan
mencari ridho allah SWT, hal ini di sebabkan karena seorang mujtahid yang
mempunyai niat tidak ikhlas sekalipun
daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan pikirannya sangat
besar sehingga berakibat kesalahan produk ijtihadnya.Bahkan lebih
dari itu dia akan mempertahankan hasil ijtihadnya sekalipun ada pendapat lain
yang lebih kuat dalinya. Padahal para imam mujtahid terdahulu telah memeberi
contoh untuk menerima pendapat orang lain secara obyektif. Dalam hal ini mereka
mengatakan “pendapat kami adalah sebuiah kebenaran yang mengandung kesalahan
dan pendapat orang lain adalah sebuah kesalahan yang mengandung kebenaran,”
Persyaratan diatas merupakan persyaratan
kepribadian yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Disamping persyaratan
tersebut para ulama ushul fiqih juga memberi persyaratan lain seperti dewasa,
beragama islam, dan sehat pikirannya. Pesyaratan yang terakhir ini disebut
dengan “ Assyurut ammah” atau syarat-syarat umum. Dewasa
merupakan persyaratan yang harus dipenuhi seseorang yang akan beristimbath
hukum karena anak kecil masih belum memiliki kecakapan bertindak hukum,
sehingga perbuatan yang ia lakukan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
hukum. Demikian pula seorang mujtahid harus beragama islam, karena hukum yang
digali adalah hukum islam, sehingga selain umat islam jika beristimbath hukum
islam dikhawatirkan akan membawa kesesatan. Selanjutnya, seorang mujtahid juga
harus dalam kondisi sehat pikirannya, sebab seseoarang yang kondisi
akalanya tidak sehat justru akan memberi informasi yang diluar kontrol akalnya.
Itulah syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid,sehingga hasil
ijtihadnya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar keilmuan yang ada.
E.
Tingakatan –tingkatan mujtahid
Menurut ahli usul fiqih, hanya orang–orang yang memenuhi
persyaratan-persyaratanlah yang yang berhak menyandang predikat mujtahid.Namun
mereka membedakan derajat mujtahid dalam
beberapa martabat, dari tingkatan tertinggi hingga tingkat terendah.Beberapa
tingkatan mujtahid yang dimaksud adalah:
1.
Mujtahid
mustaqil,yaitu mujtahid yang mampu mengali hukum-hukum syariat langsung
dari sumbernya yang terpokok (Al-quran dan hadist) dan dalam mengistimbatan hukun
ia mempuyai dasar-dasar istimbat mujtahid lain.Mujtahid mustaqil ini juga
disebut mujtahid mutlaq, yakni mujtahid yang mempunyai kesanggupan untuk
mengistimbatkan hukum-hukum syariat dari al-quran dan hadist tanpa terikat
pendapat mujtahid yang lain.
2.
Mujtahid
munsabit,yaitu mujtahis yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti
(memilih) imam mazhab tertentu walaupun dalam masalah-masalah furu`dia
berbeda pendapat dengan imamnya.
3.
Mujtahid
mazhab,yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhabnya baik masalah usul maupun furu`
.Kalaupun ia melakukan ijtihad ,ijtihadnya ini terbatas dalam masalah yang
ketentuan hukumnya tidak ia peroleh dari imam mazhab yang dianutnya.
4.
Mujtahid
murajjih,yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu`
akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada
kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat.
5.
Mujtahid mustadil,yaitu ulama yang tidak
mengadakan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada ,akan tetapi dia
mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangakan mana yang
patut diikuti tanpa melakukan tajrihterlebih
dahulu.[6]
F.
Masalah-masalah untuk objek ijitihad
Hal-hal yang dapat dijadikan obyek ijtihad bagi para mujtahid dapat
dikelompokkan menjadi 2 macam:
1.
Hal
yang memang nash nya sudah ada.
Dalam
hal ini yeng menjadi objeknya terbatas pada sekedar nash dan mujtahid tidak
boleh melampaui batas-batas yang membuat munculnya beberapa kemungkinan dalam
dilalah (pengertian) yang telah ditunjuk oleh nash itu sendiri. Hal ini dapat dilihat adanya nash
yang keadaannya sebagai berikut:
a.
Keadaan
nash itu berupa al-qur`an atau hadist mutawatir.[7]Jika kedudukannya bersifat dzanni dan dilalahnya bersifat qath`I,
maka obyek ijtihad para mujtahid adalah melakukan penelitian hokum yang hanya
pada sisi dilalahnya (pengertian), dalam artian: kedudukan yang terkandung
didalamnya. ``
b.
Keadaan
nash nya berupa hadist. Jika demikian maka yang perlu dilihat adalah:
a)
Jika
kedudukannya bersifat dzanni dan dilalahnya bersifat qath`I, maka obyek ijtihad
hanya terbatas pada penelitian terhadap keshahihan sanad hadist dan hal-hal
yang berhubungan dengan matannya.[8]
b)
Jika
kedudukan dan dilalahnya sama-sama bersifat dzanni,maka objek para mujtahid
terbatas pada hal-hal yang masih ada hubungannya dengan keadaan nash,sekalipun
dilalahnya menunjukan adanya beberapa alternative.
Jika
demikian, para mujtahid bebas dan tidak terikat, sehingga untuk menemukan dan
menentukan hokum, diberikan suatu kebebasan-kebebasan untuk mengadakan
penelitian dengan menggunakan berbagai macam bentuk metode, seperti: qiyas,
maslahah mursalah, istihsan, urf dan sebagainya.Keadaan kedua yang tanpa adanya
nash inilah, hasil para mujtahid yang berbeda-beda, sesuai dengan pandangan dan
metode pengambilan hokum yang dipakai, tetapi tidak perlu diperdebatkan yang
sampai dalam melemahkan syari`ah islam sendiri, sebab dengan cara ini, dapat
dijadikan sebagai bukti akan adanya sifat kelestarian dan fleksibilitas
syari`ah islam itu sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami
suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan
dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau
memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru
dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
Sedangkan Kedudukan ijtihad Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ijtihad
terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut:
a.
Pada
dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang
relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada
suatu ijtihad pun adalah relatif.
b.
Sesuatu
keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi
tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak
berlaku pada masa / tempat yang lain
c.
Ijtihad
tidak berlaku dalam urusan penambahan ‘ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah
d.
Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
e.
Dalam
proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,
kemaslahatan.
Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan
kejujuran intelektual, ikhlas dan
memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad.
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya
para ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu
:
- Mengetahui
Bahasa Arab
- Mempunyai
pengetahuan yang Mendalam tentang Al-Qur’an
- Mempunyai
Pengetahuan yang Memadai tentang As-Sunnah
- Mengatahui
Tujuan dari Syariat Islam
- Memiliki
Pemahaman dan Penalaran yang Benar
- Memiliki
pengetahuan tentang Ushul Fiqih
- Niat dan
I’tiqad yang benar
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat
tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Beberapa tingkatan mujtahid
adalah:
1.
Mujtahid Mustaqil
2.
Mujtahid Muntasit
3.
Mujtahid Madzab
4.
Mujtahid Murajjih
5.
Mujtahid Mustadil
DAFTAR PUSTAKA
Abu
zahro, Muhammad,1985, usul fiqih. Damaskus: Daar al-fikr.
Al-syaukani.
Irsyad al-fukhul. Beirut: daar al-fikr, tt
Mu’allim Yusdani,Amir,2004, Ijtihad dan legislasi,Yogyakarta: UII PRESS
Umam,Khoirul
,2001, Ushul fiqih II, Bandung:cv putaka setia
Wahhab Khallaf,Abdul,1994, Ilmu Ushul Fiqh,Semarang: Toha Putra Group
Shidiq,
Sapiudin, 2011, ushul fiqh, Jakarta: kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar