BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, segala persoalan
hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban
hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu beliau
juga memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadits atau
as-sunnah.
Dalam perkembangan Islam yang mencakup seluruh dimensinya,
dihadapkan pula dengan kejadian-kejadian hukum yang memerlukan suatu
ketetapan-ketetapan hukum baru. Dalam hal ini, para ulama mujtahid berusaha
untuk merumuskan kaidah-kaidah atau aturan permainan yang menjadi pedoman untuk
merumuskan hukum berdasar dari sumber-sumbernya. Kesemuanya ini merupakan topik
pembicaraan dalam ushul fiqh.
Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu bidang ilmu
keislaman yang penting dalam memahami syari’at Islam dari sumber aslinya, Alqur’an
dan Sunnah. Melalui ilmu ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip
umum syari’at islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan
manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
Ta’arrudul adillah, Jam’u dan taufiq, Tarjih, nasikh dan mansukh
?
2.
Macam-Macam
Ta’arrud dan Jam’u dan Taufiq ?
3. Cara dan Syarat-Syarat Tarjih ?
4. Rukun, Syarat-syarat, dan
Macam-macam Nasikh dan Mansukh ?
C.
Tujuan Rumusan Masalah
Untuk mengetahui konsep ta’arrudul adillah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ta’arrudul adillah,
Jam’u dan taufiq, Tarjih, nasikh dan mansukh
1.
Ta’arrudul adillah
Kata ta’rud,
secara etimologis berarti pertentangan, sedangkan al’adillah adalah bentuk
jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Secara
terminologi, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’rud
al-adillah, diantaranya:
a. Imam
Syaukani,mendefinisikannya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu
terhadap satu persoalan,sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda
dengan hukum tersebut.”
- Kamal
ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H),keduanya
ahli fiqih Hanafi,mendefinisikannya dengan “Pertentangan dua dalil yang
tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”
- Ali
Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan
“Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang
dikandung dalil lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat.
Maksud dari satu derajat
adalah antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat. Seperti dalam
masalah riba’. Rasulullah SAW. Bersabda:
لاَ رِبًا اِلاَّ فِى
النَّسِيْئَةِ
Artinya : “Tidak ada riba kecuali riba
nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang).”
(H.R.
Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menyatakan bahwa tidak ada bentuk
riba’ selain riba nasi’ah, padahal ada hadis lainnya tentang larangan
melakukan riba fadl, seperti diterangkan dalam hadis:
لاَ
تَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ.
Artinya: “Jangan kamu jual gandum
dengan gandum kecuali dalam jumlah yang
sama.”
(H.R. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad
Ibn Hambal)
Hadis
yang pertama membolehkan riba fadl dan hadis kedua mengharamkannya. Wahbah
Al-Juahili berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil atau dua hukum yang
terkandung dalam dua buah dalil bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid
dalam memahami, menganalisis, serta sejauh mana kekuatan logika mereka.
Imam
Asy-syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan
yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang Qathi’
(dianggap pasti kebenarannya) maupun pada dalil yang zhanni (kebenaran
dianggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan
terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih
kuat kualitasnya.
2.
Al-Jam’u Wa At-Taufiq
Al-Jam’u
Wa At-Taufiq yaitu mengumpulkan dalil-dalil
yang bertentangan, kemudian mengkompromikannya.
3.
Tarjih
Tarjih
secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”. Dengan pengertian
tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni.
Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i. juga
tidak termasuk antara yang qath’I dengan yang zhanni.
Para
ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan,
sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan.
4.
Nasikh
dan mansukh
Nasikh yaitu Allah, karena dialah yang
membuat hukum dan dia pula yang membatalkan sesuai dengan kehendaknya.
Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan,
dihapuskan atau dipindahkan.
B.
Macam-Macam
Ta’arrud dan Jam’u dan Taufiq
Cara
penyelesaian ta’rud al-adillah, yang dikenal masyhur di kalangan para
ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada pendapat yang
dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah.
1.
Menurut Hanafiyah
Para
ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan
dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut:
a.
Nasakh adalah
membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang
kemudian yang mengandung hukum yang berbeda. Seorang mujtahid harus melacak
sejarah kedua dalil tersebut dan kemudian mengambil dalil yang datang kemudian.
b.
Tarjih adalah
menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan
beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Untuk melakukan tarjih,
dapat dilihat dari tiga sisi:
-
Petunjuk terhadap kandungan lafazh
suatu nash. Misalnya menguatkan nash yang hukumnya pasti (muhkam)
dan tidak bisa dihapus, daripada nash yang hukumnya pasti namun bisa
diubah (mufassar)
-
Dari segi kandungannya. Misalnya
menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum
boleh.
-
Dari segi keadilan periwayatan
suatu hadis.
c.
Al-Jam’u Wa At-Taufiq
yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah Mengumpulkan
keduanya, berdasarkan kaidah, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada
meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Misalnya firman Alloh SWT.
Dalam surat Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ(المائدة:
٣)
Artinya: “Diharamkan bagi kamu
bangkai dan darah.” (QS. Al-Maidah : 3)
Ada ayat lain dalam surat Al-An’am
ayat 145:
اِلاَّ
اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْدَمًا مَسْفُوْحًا(الأنعام: ١٤٥)
Artinya: “Kecuali
(yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir.”
(QS. Al-An’Am : 145)
Pengompromian dari kedua ayat
tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.
d.
Tasaqut Ad-Dalilain adalah
menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah.
Menurut ulama Hanafiyah, seorang mujtahid hanya boleh mengambil dalil
yang lebih rendah apabila telah menggunakan ketiga cara teersebut. Dan
penggunaan metode penyelesaian ta’rud al-adillah harus dilakukan secara
berurutan.
2.
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan
Zhahiriyah
a.
Jamu’ wa al-Taufiq cara
pertama untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalah dengan
mengompromikan kedua dalil tersebut. “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada
meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Cara yang digunakan untuk
mengompromikan kedua dalil tersebut menurut mereka ada tiga:
-
Membagi kedua hukum yang
bertentangan.
-
Memilih salah satu hukum. Misalnya
ada hadis di bawah ini:
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ
اِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ(رواه ابو داود واحمد بن حنبل)
Artinya:
“Tidak (sempurna) shalat bagi tetangga mesjid kecuali dimesjid.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad Ibn
Hambal)
Kata
“Ia” dalam hadis tersebut, menurut ulama ushul fiqh mempunyai
banyak arti, bisa berarti “tidak sah”, “tidak sempurna”, dan “tidak
utama”. Seorang mujtahid boleh memilih salah satunya asalkan didukung oleh
dalil-dalil lain.
-
Mengambil dalil yang lebih khusus,
misalnya tentang masa iddah wanita hamil. Menurut Hanafiyah menggunakan
metode nasakh.
b.
Tarjih Apabila
cara pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan tarjih, yakni
menguatkan salah satu dalil.
c.
Nasakh apabila
cara kedua (tarjih) tidak bisa digunakan maka dapat menggunakan cara
ketiga, atau nasakh, yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung
dalam kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu, mana dalil
yang pertama dan mana dalil yang datang kemudian.
d.
Tatsaqut al-dalilain cara
keempat yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apabila cara pertama,
kedua, dan ketiga tidak bisa ditempuh, yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan
berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah. Keempat cara di atas
harus ditempuh secara berurutan.
C.
Cara
dan Syarat-Syarat Tarjih
Cara pen-tarjih-an dapat
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
1.
Tarjih bain an-nushush
a.
Dari segi sanad
-
Menguatkan salah satu nash
dari segi sanadnya
-
Pen-tarjih-an dengan melihat
riwayat itu sendiri
-
Pen-tarjih-an melalui cara
menerima hadis dari rasul
b.
Dari segi matan
-
Teks yang mengandung larangan
diutamakan daripada teks yang mengandung perintah.
-
Teks yang mengandung perintah
didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan.
-
Makna hakikat dari suatu lafazh
lebih diutamakan daripada makna majazi-nya.
-
Dalil khusus diutamakan daripada
dalil umum.
-
Teks umum yang belum dikhususkan
lebih diutamakan daripada teks umum yang telah di-taksis.
-
Teks yang sifatnya perkataan lebih
diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
-
Teks yang muhkam lebih
diutamakan daripada teks yang mufassar.
-
Teks yang sharih (jelas)
didahulukan daripada teks yang bersifat sindirian.
c.
Dari Segi Hukum atau Kandungan
Hukum
-
Teks yang mengandung bahaya menurut
jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan.
-
Teks yang bersifat meniadakan lebih
didahulukan daripada teks yang bersifat menetapkan
-
Teks menghindarkan terpidana dari
hukuman lebih diutamakan daripada teks yang lain mewajibkan terpidana mendapat
hukuman.
-
Teks yang mengandung hukuman lebih
ringan didahulukan daripada teks yang di dalamnya mengandung hukuman berat.
d.
Tarjih Menggunakan Faktor (dalil)
Lain di luar Nash
-
Mendahulukan salah satu dalil yang
didukung oleh dalil lain.
-
Mendahulukan salah satu dalil yang
didukung oleh amalan ahli Madinah.
-
Menguatkan dalil yang menyebutnya illat
(motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab
an-nuzul.
-
Mendahulukan dalil yang di dalamnya
menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
-
Mendahulukan dalil yang diikuti dengan
perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
2.
Tarjih
bain al-Aqyisah
a.
Dari Segi Hukum Ashl
-
Menguatkan qiyas yang hukum
asalnya qath’i dari yang zhanni.
-
Menguatkan qiyas yang
landasan dalilnya ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash.
-
Menguatkan qiyas yang
didukung dalil yang khusus.
-
Menguatkan qiyas yang sesuai
dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
-
Menguatkan qiyas yang telah
disepakati para ulama tidak akan di nasakh.
-
Menguatkan qiyas yang hukum asalnya
bersifat khusus.
b.
Dari Segi Hukum Cabang
-
Menguatkan hukum cabang yang
datangnya kemudian dibanding hukum asalnya
-
Menguatkan hukum cabang yang illat-nya
diketahui secara qath’i dari yang hanya diketahui secara zhanni
-
Menguatkan hukum cabang yang
ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya
didasarkan kepada logika nash secara tafshil.
c.
Dari Segi Illat
-
Dari segi cara penetapan illat
-
Segi sifat illat itu sendiri
d.
Pen-tarjih-an dari segi cara
penetapan illat
-
Menguatkan illat yang
disebutkan dalam nash.
-
Menguatkan illat yang
dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis, dan
penilaian illat).
-
Menguatkan illat yang di
dalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui
munasabah (keserasian).
e.
Pen-tarjih-an dari sifat illat
-
Menguatkan illat yang bisa
diukur daripada yang relatif.
-
Menguatkan illat yang
sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas pada satu
hukum saja.
-
Menguatkan illat yang
berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat
(penunjang).
-
Menguatkan illat yang jelas
melatarbelakangi suatu hukum.
f.
Pen-tarjih-an Qiyas Melalui Faktor
Luar
-
Menguatkan qiyas yang
didukung lebih dari satu illat.
-
Menguatkan qiyas yang didukung oleh
pendapat sahabat
-
Menguatkan illat yang bisa
berlaku untuk seluruh furu’ daripada yang hanya berlaku untuk sebagian furu’
saja.
-
Menguatkan qiyas yang
didukung lebih dari satu dalil.
Syarat-syarat tarjih
1.
Dua dalil tersebut berbenturan dan
tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara apapun.
2.
Kedua dalil yang berbenturan itu
sama-sama pantas untuk petunjuk kepada yang dimaksud.
3.
Ada petunjuk yang mewajibkan
beramal dengan salah satu di antara dua dalil dan meninggalkan dalil yang satu
lagi.
D.
Rukun,
Syarat-syarat, dan Macam-macam Nasikh dan Mansukh
Nasakh
itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:
1.
Pembatalan itu harus dilakukan
melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang
disebut nasikh (yang menghapus).
2.
Yang dibatalkan adalah syara’ yang
disebut mansukh (yang dihapus).
3.
Nasikh harus
datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
Rukun
nasakh :
1.
Adat an-nasakh, yaitu
pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.
Nasikh ,adalah
dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
3.
Mansukh, yaitu
hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.
Mansukh ‘anhu, yaitu
orang yang dibebani hukum.
Hikmah
Nasakh adalah untuk memelihara kemaslahatan umat baik di dunia maupun di
akhirat.
Syarat-syarat
Nasakh
1.
Syarat yang disepakati:
a.
Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b.
Pembatalan itu datangnya dari khitbah
(tuntutan) syara’.
c.
Pembatalan hukum itu tidak
disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana yang
ditunjukkan syara’ itu sendiri.
d.
Tuntutan syara’ yang menasakhkan
itu datangnya kemudian dari tuntutan syara’ yang dinasakhkan.
2.
Syarat yang diperselisihkan:
a.
Hukum itu tidak dinasakhkan,
kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai kesempatan untuk melaksanakannya
(ulama Mu’tazilah dan Hanafiyah).
b.
Keluarga Mu’tazilah dan
Maturidiyyah, hukum yang dinasakhkan itu sesuatu yang baik yang
pembatalannya dapat diterima akal.
c.
Sebagian ulama ushul fiqh
mensyaratkan bahwa terhadap hukum yang dibatalkan itu harus ada penggantinya.
d.
Sebagian ulama ushul fiqh dari
kalangan Hanafiyah, apabila yang dinasakhkan itu adalah ayat al-Qur’an
atau sunnah yang mutawatir, maka yang menasakhkan juga harus yang
sederajat atau sama kualitasnya.
e.
Imam syafi’i, al-Qur’an tidak boleh
dinasakhkan, kecuali dengan al-Qur’an dan sunnah tidak boleh dinasakhkan
dengan sunnah.
f.
Jumhur ulama yang membatalkan dan
yang dibatalkan itu bukan qiyas.
g.
Jumhur juga mensyaratkan baik yang
menasakhkan maupun yang dinasakhkan itu bukan ijma’, karena
apabila yang dinasakhkan ijma’ itu adalah nash, maka hal itu
tidak mungkin karena ijma’ baru dianggap sah apabila tidak bertentangan
dengan nash.
Macam-macam Nasakh
1.
Nasakh yang
tidak ada gantinya. Contoh pemberian sadaqah bagi seseorang yang hendak bertemu
dengan Rasulullah SAW.
2.
Nasakh yang
ada penggantinya, adakalanya ringan dari yang dibatalkan. Contoh shalat 50 kali
menjadi 5 kali dan adakalanya lebih berat dari yang dibatalkan.
3.
Nasakh bacaan
(teks) dari suatu ayat, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku, seperti hukum
rajam bagi orang tua, laki-laki dan perempuan yang melakukan zina.
4.
Nasakh hukum
ayat, sedangkan bacaan/teksnya masih utuh seperti pembatalan hukum memberi
sedekah fakir miskin ketika hendak menemui Rasulullah.
5.
Nasakh hukum
bacaan sekaligus, seperti sebuah riiwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa
ketika ayat al-Qur’an masih turun, susuan yang mengharamkan untuk saling menikahi
antara orang yang menyusukan dengan orang yang disusui adalah sepuluh kali
susuan.
6.
Terjadinya penambahan hukum dari
hukum pertama:
-
Apabila hukum tambahan itu tidak
terkait erat dengan hukum yang ditambah, maka tidak dinamakan nasakh, seperti
penambahan hukum kewajiban zakat pada kewajiban shalat, karena kedua kewajiban
itu berdiri sendiri-sendiri.
-
Apabila hukum yang ditambah terkait
erat dengan hukum yang ditambah, sehingga hukum yang ditambahkan berubah, maka
tambahan itu adalah nasakh, seperti penambahan rakaat shalat, sehingga
esensi shalat berubah.
-
Apabila penambahan itu mempengaruhi
bilangan, tetapi tidak mengubah esensi hukum semula, maka terjadi perbedaan
pendapat. Contoh hukum dera bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina,
yaitu 80 kali dera ditambah 20 kali pukulan lagi atau hukum buang bagi gadis
yang melakukan zina ditambahkan pada hukuman dera 100 kali. Menurut jumhur
ulama penambahan seperti itu tidak dinamakan nasakh, karena penambahan
tidak membatalkan dan tidak mengubah hukum asal. Menurut ulama Hanafiyah
penambahan itu termasuk nasakh karena asalnya telah diubah.
7.
Terjadinya pengurangan terhadap
hukum ibadah tertentu yang disyari’atkan ulama sepakat mengatakan ini adalah
nasakh.
Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
1.
Penjelasan langsung dari Rasul.
2.
Ada petunjuk yang menyatakan salah
satu nash lebih dahulu datangnya dari yang lain. Contoh sabda Rasul tentang
ziarah kubur.
3.
Periwayat hadis secara jelas
menunjukkan bahwa salah satu hadis yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya
dari hadis yang lain, seperti ungkapan perawi hadis bahwa hadis ini diungkapkan
Rasul tahun sekian dari hadis ini pada tahun sekian.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Bila ada suatu dalil yang
menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi disamping itu ada pula
dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, maka kedua
dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam istilah hukum islam disebut
ta’arudh.
2.
Cara menyelesaikan ta’arudh al-adillah yaitu: Nasakh (membatalkan
dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang
mengandung hukum yang berbeda); Tarjih, yaitu menguatkan salah satu
dalil dari dua dalil yang bertentangan; Al-Jam’u wal al-Taufiq, yaitu
mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya;
dan Tasaquth al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang
bertentangan.
3. Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas
dalil lainnya, yakni memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil
yang tampaknya berlawanan.
4. Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat
ditinjau dari segi sanad, matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar
tiga tersebut, yaitu: Tarjih ditinjau dari segi sanad, Tarjih ditinjau dari
segi matan hadits, Tarjih ditinjau dari segi isi hadits madlul, Tarjih ditinjau
dari sesi-segi yang diluar hadits.
5. Qawaidul Fiqhiyyah dapat diartikan
sebagai dasar-dasar/asas yang dapat digunakan untuk mengistinbat suatu hukum
syara (fiqh).
6.
Al-Qawa’id
al-Khamsah adalah lima buah kaidah yang oleh para ulama fiqih
dijadikan sebagai induk (dasar) untuk menetapkan kaidah-kaidah fiqih lainnya.
Kelima kaidah ini mencakup ruang lingkup yang sangat luas terhadap hukum-hukum
fiqh, sehingga kalau digabung dapat mencakup seluruh kaidah-kaidah fikih yang
ada.
7.
Qawaidul
fiqhiyyah yang umum adalah kaidah-kaidah fikih yang yang
cakupannnya meliputi berbagai cabang ilmu fikih.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh.
2013. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
Bakry, Nazar. Fiqh & Ushul
Fiqh. 2003. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul
Fiqh. 2010. Bandung: Pustaka Setia.
Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta:
Kencana.
Rifa’i, Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.