Kamis, 18 September 2014

ta`arrud adillah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu beliau juga memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadits atau as-sunnah.
Dalam perkembangan Islam yang mencakup seluruh dimensinya, dihadapkan pula dengan kejadian-kejadian hukum yang memerlukan suatu ketetapan-ketetapan hukum baru. Dalam hal ini, para ulama mujtahid berusaha untuk merumuskan kaidah-kaidah atau aturan permainan yang menjadi pedoman untuk merumuskan hukum berdasar dari sumber-sumbernya. Kesemuanya ini merupakan topik pembicaraan dalam ushul fiqh.
Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syari’at Islam dari sumber aslinya, Alqur’an dan Sunnah. Melalui ilmu ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syari’at islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.

B.     Rumusan Masalah
1. Pengertian Ta’arrudul adillah, Jam’u dan taufiq, Tarjih, nasikh dan mansukh ?
2. Macam-Macam Ta’arrud dan Jam’u dan Taufiq ?
3. Cara dan Syarat-Syarat Tarjih ?
4. Rukun, Syarat-syarat, dan Macam-macam Nasikh dan Mansukh ?

C.    Tujuan Rumusan Masalah
Untuk mengetahui konsep ta’arrudul adillah





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ta’arrudul adillah, Jam’u dan taufiq, Tarjih, nasikh dan mansukh
1.      Ta’arrudul adillah
Kata ta’rud, secara etimologis berarti pertentangan, sedangkan al’adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan dalil.
Secara terminologi, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi ta’rud al-adillah, diantaranya:
a.       Imam Syaukani,mendefinisikannya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan,sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.”
  1. Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H),keduanya ahli fiqih Hanafi,mendefinisikannya dengan “Pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”
  2. Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.
Maksud dari satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat. Seperti dalam masalah riba’. Rasulullah SAW. Bersabda:
لاَ رِبًا اِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
Artinya : “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang).”
                                                                                          (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menyatakan bahwa tidak ada bentuk riba’ selain riba nasi’ah, padahal ada hadis lainnya tentang larangan melakukan riba fadl, seperti diterangkan dalam hadis:
لاَ تَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ.
Artinya: “Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam  jumlah yang sama.”
(H.R. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibn Hambal)
Hadis yang pertama membolehkan riba fadl dan hadis kedua mengharamkannya. Wahbah Al-Juahili berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil atau dua hukum yang terkandung dalam dua buah dalil bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid dalam memahami, menganalisis, serta sejauh mana kekuatan logika mereka.
Imam Asy-syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang Qathi’ (dianggap pasti kebenarannya) maupun pada dalil yang zhanni (kebenaran dianggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya.
2.      Al-Jam’u Wa At-Taufiq
Al-Jam’u Wa At-Taufiq yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan, kemudian mengkompromikannya.
3.      Tarjih
Tarjih secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”. Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada permasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan yang qath’i. juga tidak termasuk antara yang qath’I dengan yang zhanni.
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan.
4.      Nasikh dan mansukh
Nasikh yaitu Allah, karena dialah yang membuat hukum dan dia pula yang membatalkan sesuai dengan kehendaknya.
Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.

B.     Macam-Macam Ta’arrud dan Jam’u dan Taufiq
Cara penyelesaian ta’rud al-adillah, yang dikenal masyhur di kalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah.
1.      Menurut Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan adalah sebagai berikut:
a.       Nasakh adalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda. Seorang mujtahid harus melacak sejarah kedua dalil tersebut dan kemudian mengambil dalil yang datang kemudian.
b.      Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Untuk melakukan tarjih, dapat dilihat dari tiga sisi:
-          Petunjuk terhadap kandungan lafazh suatu nash. Misalnya menguatkan nash yang hukumnya pasti (muhkam) dan tidak bisa dihapus, daripada nash yang hukumnya pasti namun bisa diubah (mufassar)
-          Dari segi kandungannya. Misalnya menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
-          Dari segi keadilan periwayatan suatu hadis.
c.       Al-Jam’u Wa At-Taufiq yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah Mengumpulkan keduanya, berdasarkan kaidah, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Misalnya firman Alloh SWT. Dalam surat Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ(المائدة: ٣)  
Artinya: “Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah.” (QS. Al-Maidah : 3)

Ada ayat lain dalam surat Al-An’am ayat 145:
اِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْدَمًا مَسْفُوْحًا(الأنعام: ١٤٥)
       Artinya: “Kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir.”
(QS. Al-An’Am : 145)
Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah darah yang mengalir.
d.      Tasaqut Ad-Dalilain adalah menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari yang lebih rendah. Menurut ulama Hanafiyah, seorang mujtahid hanya boleh mengambil dalil yang lebih rendah apabila telah menggunakan ketiga cara teersebut. Dan penggunaan metode penyelesaian ta’rud al-adillah harus dilakukan secara berurutan.

2.      Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah
a.       Jamu’ wa al-Taufiq cara pertama untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalah dengan mengompromikan kedua dalil tersebut. “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Cara yang digunakan untuk mengompromikan kedua dalil tersebut menurut mereka ada tiga:
-          Membagi kedua hukum yang bertentangan.
-          Memilih salah satu hukum. Misalnya ada hadis di bawah ini:
لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ اِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ(رواه ابو داود واحمد بن حنبل)
Artinya: “Tidak (sempurna) shalat bagi tetangga mesjid kecuali dimesjid.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hambal)
Kata “Ia” dalam hadis tersebut, menurut ulama ushul fiqh mempunyai banyak arti, bisa berarti “tidak sah”, “tidak sempurna”, dan “tidak utama”. Seorang mujtahid boleh memilih salah satunya asalkan didukung oleh dalil-dalil lain.
-          Mengambil dalil yang lebih khusus, misalnya tentang masa iddah wanita hamil. Menurut Hanafiyah menggunakan metode nasakh.

b.      Tarjih Apabila cara pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan tarjih, yakni menguatkan salah satu dalil.

c.       Nasakh apabila cara kedua (tarjih) tidak bisa digunakan maka dapat menggunakan cara ketiga, atau nasakh, yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu, mana dalil yang pertama dan mana dalil yang datang kemudian.

d.      Tatsaqut al-dalilain cara keempat yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apabila cara pertama, kedua, dan ketiga tidak bisa ditempuh, yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah. Keempat cara di atas harus ditempuh secara berurutan.

C.    Cara dan Syarat-Syarat Tarjih
Cara pen-tarjih-an dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu
1.      Tarjih bain an-nushush
a.       Dari segi sanad
-          Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
-          Pen-tarjih-an dengan melihat riwayat itu sendiri
-          Pen-tarjih-an melalui cara menerima hadis dari rasul
b.      Dari segi matan
-          Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah.
-          Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan.
-          Makna hakikat dari suatu lafazh lebih diutamakan daripada makna majazi-nya.
-          Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
-          Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks umum yang telah di-taksis.
-          Teks yang sifatnya perkataan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
-          Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar.
-          Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindirian.

c.       Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum
-          Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan.
-          Teks yang bersifat meniadakan lebih didahulukan daripada teks yang bersifat menetapkan
-          Teks menghindarkan terpidana dari hukuman lebih diutamakan daripada teks yang lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman.
-          Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang di dalamnya mengandung hukuman berat.

d.      Tarjih Menggunakan Faktor (dalil) Lain di luar Nash
-          Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain.
-          Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah.
-          Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul.
-          Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
-          Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengalaman dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.

2.      Tarjih bain al-Aqyisah
a.       Dari Segi Hukum Ashl
-          Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari yang zhanni.
-          Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash.
-          Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
-          Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
-          Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan di nasakh.
-          Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.

b.      Dari Segi Hukum Cabang
-          Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya
-          Menguatkan hukum cabang yang illat-nya diketahui secara qath’i dari yang hanya diketahui secara zhanni
-          Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.

c.       Dari Segi Illat
-          Dari segi cara penetapan illat
-          Segi sifat illat itu sendiri

d.      Pen-tarjih-an dari segi cara penetapan illat
-          Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash.
-          Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis, dan penilaian illat).
-          Menguatkan illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah (keserasian).

e.       Pen-tarjih-an dari sifat illat
-          Menguatkan illat yang bisa diukur daripada yang relatif.
-          Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas pada satu hukum saja.
-          Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat (penunjang).
-          Menguatkan illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum.

f.       Pen-tarjih-an Qiyas Melalui Faktor Luar
-          Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat.
-          Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat
-          Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu’ daripada yang hanya berlaku untuk sebagian furu’ saja.
-          Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil.



      Syarat-syarat tarjih
1.      Dua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara apapun.
2.      Kedua dalil yang berbenturan itu sama-sama pantas untuk petunjuk kepada yang dimaksud.
3.      Ada petunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu di antara dua dalil dan meninggalkan dalil yang satu lagi.

D.    Rukun, Syarat-syarat, dan Macam-macam Nasikh dan Mansukh
Nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:
1.      Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus).
2.      Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
3.      Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
Rukun nasakh :
1.      Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.      Nasikh ,adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
3.      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.      Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
Hikmah Nasakh adalah untuk memelihara kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akhirat.
Syarat-syarat Nasakh
1.      Syarat yang disepakati:
a.       Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b.      Pembatalan itu datangnya dari khitbah (tuntutan) syara’.
c.       Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan syara’ itu sendiri.
d.      Tuntutan syara’ yang menasakhkan itu datangnya kemudian dari tuntutan syara’ yang dinasakhkan.
2.      Syarat yang diperselisihkan:
a.       Hukum itu tidak dinasakhkan, kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai kesempatan untuk melaksanakannya (ulama Mu’tazilah dan Hanafiyah).
b.      Keluarga Mu’tazilah dan Maturidiyyah, hukum yang dinasakhkan itu sesuatu yang baik yang pembatalannya dapat diterima akal.
c.       Sebagian ulama ushul fiqh mensyaratkan bahwa terhadap hukum yang dibatalkan itu harus ada penggantinya.
d.      Sebagian ulama ushul fiqh dari kalangan Hanafiyah, apabila yang dinasakhkan itu adalah ayat al-Qur’an atau sunnah yang mutawatir, maka yang menasakhkan juga harus yang sederajat atau sama kualitasnya.
e.       Imam syafi’i, al-Qur’an tidak boleh dinasakhkan, kecuali dengan al-Qur’an dan sunnah tidak boleh dinasakhkan dengan sunnah.
f.       Jumhur ulama yang membatalkan dan yang dibatalkan itu bukan qiyas.
g.      Jumhur juga mensyaratkan baik yang menasakhkan maupun yang dinasakhkan itu bukan ijma’, karena apabila yang dinasakhkan ijma’ itu adalah nash, maka hal itu tidak mungkin karena ijma’ baru dianggap sah apabila tidak bertentangan dengan nash.
Macam-macam Nasakh
1.      Nasakh yang tidak ada gantinya. Contoh pemberian sadaqah bagi seseorang yang hendak bertemu dengan Rasulullah SAW.
2.      Nasakh yang ada penggantinya, adakalanya ringan dari yang dibatalkan. Contoh shalat 50 kali menjadi 5 kali dan adakalanya lebih berat dari yang dibatalkan.
3.      Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi orang tua, laki-laki dan perempuan yang melakukan zina.
4.      Nasakh hukum ayat, sedangkan bacaan/teksnya masih utuh seperti pembatalan hukum memberi sedekah fakir miskin ketika hendak menemui Rasulullah.
5.      Nasakh hukum bacaan sekaligus, seperti sebuah riiwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ketika ayat al-Qur’an masih turun, susuan yang mengharamkan untuk saling menikahi antara orang yang menyusukan dengan orang yang disusui adalah sepuluh kali susuan.
6.      Terjadinya penambahan hukum dari hukum pertama:
-          Apabila hukum tambahan itu tidak terkait erat dengan hukum yang ditambah, maka tidak dinamakan nasakh, seperti penambahan hukum kewajiban zakat pada kewajiban shalat, karena kedua kewajiban itu berdiri sendiri-sendiri.
-          Apabila hukum yang ditambah terkait erat dengan hukum yang ditambah, sehingga hukum yang ditambahkan berubah, maka tambahan itu adalah nasakh, seperti penambahan rakaat shalat, sehingga esensi shalat berubah.
-          Apabila penambahan itu mempengaruhi bilangan, tetapi tidak mengubah esensi hukum semula, maka terjadi perbedaan pendapat. Contoh hukum dera bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina, yaitu 80 kali dera ditambah 20 kali pukulan lagi atau hukum buang bagi gadis yang melakukan zina ditambahkan pada hukuman dera 100 kali. Menurut jumhur ulama penambahan seperti itu tidak dinamakan nasakh, karena penambahan tidak membatalkan dan tidak mengubah hukum asal. Menurut ulama Hanafiyah penambahan itu termasuk nasakh karena asalnya telah diubah.
7.      Terjadinya pengurangan terhadap hukum ibadah tertentu yang disyari’atkan ulama sepakat mengatakan ini adalah nasakh.
Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh
1.      Penjelasan langsung dari Rasul.
2.      Ada petunjuk yang menyatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari yang lain. Contoh sabda Rasul tentang ziarah kubur.
3.      Periwayat hadis secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadis yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya dari hadis yang lain, seperti ungkapan perawi hadis bahwa hadis ini diungkapkan Rasul tahun sekian dari hadis ini pada tahun sekian.








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas suatu kasus, tetapi disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya hukum lain atas kasus itu, maka kedua dalil itu disebut berbentur atau bertentangan. Ini dalam istilah hukum islam disebut ta’arudh.
2.      Cara menyelesaikan ta’arudh al-adillah yaitu: Nasakh (membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda); Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan; Al-Jam’u wal al-Taufiq, yaitu mengkompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah mengumpulkan keduanya; dan Tasaquth al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan.
3.      Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih dalil yang mana yang kuat diantara dalil-dalil yang tampaknya berlawanan.
4.      Cara-cara mentarjih hadis yang berlawanan itu dapat ditinjau dari segi sanad, matan, hadits, makna/isi hadis, dan hal-hal diluar tiga tersebut, yaitu: Tarjih ditinjau dari segi sanad, Tarjih ditinjau dari segi matan hadits, Tarjih ditinjau dari segi isi hadits madlul, Tarjih ditinjau dari sesi-segi yang diluar hadits.
5.      Qawaidul Fiqhiyyah dapat diartikan sebagai dasar-dasar/asas yang dapat digunakan untuk mengistinbat suatu hukum syara (fiqh).
6.      Al-Qawa’id  al-Khamsah adalah lima buah kaidah yang oleh para ulama fiqih dijadikan sebagai induk (dasar) untuk menetapkan kaidah-kaidah fiqih lainnya. Kelima kaidah ini mencakup ruang lingkup yang sangat luas terhadap hukum-hukum fiqh, sehingga kalau digabung dapat mencakup seluruh kaidah-kaidah fikih yang ada.
7.      Qawaidul fiqhiyyah yang umum adalah kaidah-kaidah fikih yang yang cakupannnya meliputi berbagai cabang ilmu fikih.





                                                  DAFTAR PUSTAKA                       

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. 2013. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
Bakry, Nazar. Fiqh & Ushul Fiqh. 2003. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. 2010. Bandung: Pustaka Setia.
Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta:  Kencana.

Rifa’i, Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.